Hedi Ludiman (49), guru honorer di salah satu SMK swasta di Sleman tampak emosional saat menceritakan kasus mafia tanah yang menimpanya. Belasan tahun, dia berjuang agar sertifikat tanah milik istrinya, Evi Fatimah (38) bisa kembali.
Yang jadi objek adalah tanah seluas 1.475 meter persegi beserta bangunan rumah di Pedukuhan Paten, Kalurahan Tridadi, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman.
Hedi menceritakan, peristiwa ini bermula pada tahun 2011. Kala itu ada dua orang yang mengaku ibu dan anak, perempuan berinisial SH dan laki-laki berinisial SJ hendak mengontrak rumahnya untuk usaha konveksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada dua orang SJ dan SH, mau mengontrak. Ketemu istri saya tahun 2011. Mau ngontrak rumah selama 5 tahun. Setahunnya Rp 5 juta. Selama 5 tahun, Rp 25 juta," kata Hedi kepada wartawan saat ditemui di rumahnya, Senin (12/5/2025).
Dari percakapan dengan Evi, kemudian muncul kesepakatan harga. Selain itu, keduanya mengaku baru akan menempati rumah tersebut di tahun 2012 atau satu tahun kemudian. Uang tersebut kemudian ditransfer secara bertahap dari Agustus hingga lunas di Desember 2011.
Dalam proses tersebut, pengontrak meminta kepada Evi untuk memberikan sertifikat sebagai jaminan. Alasannya, agar Evi sebagai pemilik kontrakan tidak kabur. Padahal, sebelum-sebelumnya, rumah tersebut sudah sering dikontrakkan. Selain itu, SH menurut Evi adalah ibu-ibu yang sudah tua sekitar usia 60-an tahun pada waktu itu. Sehingga dirinya tak menaruh curiga.
"Sertifikat sudah saya serahkan ke SJ dan SH karena kan dia ngasih uang ke saya. Ibaratnya sebagai untuk kepercayaan karena dia takut saya lari. Jadi buat jaminan karena mau menyerahkan uang Rp 25 juta," kata Evi menambahkan.
Hedi lalu melanjutkan, pada proses mengontrak, istrinya kemudian diajak ke salah satu kantor notaris di Kalasan oleh SH dan SJ. Alasannya, untuk tanda tangan notaris terkait perjanjian mengontrak rumah.
Di situ, terdapat kejanggalan saat Evi tak boleh membaca dan tidak dikasih salinan perjanjian. Akan tetapi dia tidak menaruh curiga sama sekali.
"Tidak boleh membaca, cuma dibacakan, tidak dikasih salinan. Sama SH sudah tanda tangan di sini. Yang ditandatangani itu saat itu tidak tahu (apa). Katanya perjanjian kontrak mengontrak. Setengah kaya digendam atau dipaksa," jelasnya.
Petaka baru muncul di medio Mei 2012. Saat itu tiba-tiba ada pihak bank datang mencari pemilik rumah. Dari informasi pihak bank, tanah dan rumah tersebut telah diagunkan untuk hutang sebesar Rp 300 juta dan mengalami kredit macet.
Dari pihak bank juga didapat informasi bahwa sertifikat tersebut dalam proses balik nama tanpa sepengetahuan istrinya.
"Ada sekitar 4 orang itu mencari istri saya. Pas gadaikan itu sertifikat atas nama istri saya. Jadi posisi balik nama dengan menggandaikan itu bersamaan 26 Agustus 2011, bersamaan. Jadi digadaikan dan dibalik nama bersamaan," ujarnya.
Informasi itu, kemudian ditelusuri oleh Hedi ke BPN pada 1 Juni. Dia terkejut mendapati sertifikat yang tadinya atas nama istrinya berubah menjadi atas nama SJ. Tak terima, dia akhirnya lapor ke polisi.
"Terus saya lapor di Polres Sleman penipuan dan penggelapan. Akhirnya diproses, akhirnya yang ditangkap ini (SH) sekitar 2024. Terus jadi terpidana ini. Ya yang mau ngontrak. Kena 9 bulan," jelasnya.
Hedi melanjutkan, dalam persidangan itu kemudian dia mengetahui fakta ada kuasa jual hingga akta jual beli (AJB). Selain itu bukti pidana itu ada KTP milik istrinya yang ternyata dilegalisir notaris untuk proses balik nama.
"Istri saya tidak pernah menyerahkan KTP asli. Ternyata dilegalisir oleh notaris," ujarnya.
Notaris tersebut kemudian dilaporkan ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) notaris. Menurut Hedi di sana notaris tersebut dinyatakan bersalah melanggar kode etik.
Selengkapnya di halaman berikutnya...
Meski demikian, hal itu tak membuat Hedi serta merta mendapatkan kembali sertifikat milik istrinya. Dia lalu mengambil langkah menggugat perdata ke bank, SJ, dan SH. Hanya saja, putusannya Niet Ontvankelijk Verklaard (NO) atau putusan tidak dapat diterima karena gugatan mengandung cacat formil.
Dia lalu meminta salinan putusan yang hanya 10 lembar itu. Ternyata, terdapat keganjilan di mana ada perkara pihak lain masuk ke putusannya.
"10 lembar salah gugatan orang lain, itu saya ada bukti," tegasnya.
Pengacara istrinya kemudian menyarankan untuk mengajukan banding. Namun, dua minggu berselang dia dihubungi pihak pengadilan untuk mengganti putusan.
"Diminta putusan ini, mau diganti yang bagus. Saya nggak mau, karena putusan ini sudah ada cap pengadilan, saya nggak mau. Ini sudah ada capnya di pengadilan, resmi," jelasnya.
Akhirnya pengadilan kemudian menghubungi pengacara tersebut. Selanjutnya, pengacara itu menghubungi pihak Evi dan menyatakan akan mundur jika putusan asli tidak diberikan ke pengadilan.
"Saya tetap tidak mau mengasihkan," tegasnya.
Hedi juga melaporkan bank ke Ditreskrimsus Polda DIY namun SP3. Meski sudah ada terpidana dalam kasus ini, tetapi sertifikat milik Evi pun tak kembali ke tangannya. Pun juga secara perdata putusannya NO.
"Saya dikirimi surat SP3 secara mendadak. Jadi antara SP3 dengan putusan perdata yang salah itu hampir bersamaan. Hanya selisih satu minggu," bebernya.
Hedi yang hampir kehabisan cara kemudian mengejar SJ yang berstatus DPO agar kasus bisa klir. Namun, pada 2017, berkas perkara di kepolisian dinyatakan hilang.
"Katanya untuk laporan ke atasan dibawa ke Polda. Terus akhirnya saya tanyakan terus prosesnya, kok tahu-tahu berkasnya kata penyidik, hilang. Baru sekarang pemberkasan ulang," katanya.
Hedi sempat menunjukkan surat-surat BPN Sleman bahwa sertifikat tanahnya diblokir. Namun, ternyata tetap dilelang oleh bank. Padahal setahu dirinya ketika sertifikat diblokir tak bisa ada lelang.
"Kan diblokir di BPN, ternyata dalam prosesnya dibalik lagi. Dari SJ ke orang bernama RZA," katanya.
Awalnya Hedi tak tahu RZA ini siapa. Setelah dia menelusuri, RZA ini diduga adalah pegawai kejaksaan.
"RZA tak cek di Facebook orangnya penjual mobil. Ada tulisan pegawai kejaksaan. Ternyata pegawai kejaksaan. Ini ada bukti," tuturnya.
Hedi pernah bertemu dengan RZA. Saat itu RZA mengaku pada Hedi tak tahu kalau tanah ini bermasalah. Terakhir pada 2024 sertifikat masih atas nama RZA.
Kini, Hedi dan Evi berharap agar ada perhatian dari pemerintah pusat dan DPR RI atas kasus yang menimpanya. Dia hanya ingin sertifikat milik istrinya bisa segera kembali.
"Harapan saya untuk mengembalikan sertifikat atas nama istri saya. Saya ingin ke DPR Komisi III untuk mengadukan. Karena saya bertarung sendiri melawan mafia. Sangat berat," tegasnya.
Dihubungi terpisah, Kasat Reskrim Polresta Sleman, AKP Riski Adrian, dikonfirmasi mengatakan dalam kasus tersebut polisi sudah menetapkan 1 tersangka dan kasusnya sudah masuk persidangan. Sementara untuk SJ, masih berstatus buron.
"Untuk penanganan kasus penipuannya sudah inkrah 1 pelaku dan 1 pelaku lagi masih DPO. Untuk tim masih melakukan pencarian 1 terduga pelaku," kata Adrian.
Simak Video "Video: Geramnya Uya Kuya dengan Mafia Tanah di Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]
(afn/afn)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang
Sekjen PDIP Hasto Divonis 3,5 Tahun Bui