Duduk Perkara Guru Honorer Sleman Jadi Korban Dugaan Mafia Tanah Versi BPN

Duduk Perkara Guru Honorer Sleman Jadi Korban Dugaan Mafia Tanah Versi BPN

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Rabu, 14 Mei 2025 17:56 WIB
Kepala Kantor Pertanahan (Kantah)Β Sleman Imam Nawawi saat memberikan keterangan kepada wartawan di kantornya, Rabu (14/5/2025).
Kepala Kantor Pertanahan (Kantah)Β Sleman Imam Nawawi saat memberikan keterangan kepada wartawan di kantornya, Rabu (14/5/2025). Foto: Jauh Hari Wawan S/detikJogja
Daftar Isi
Sleman -

Kantor Pertanahan (Kantah) atau BPN Sleman angkat bicara soal kasus dugaan mafia tanah yang menimpa guru honorer di Sleman Hedi Ludiman (49) dan istrinya, Evi Fatimah (38). Dalam kasus itu, Hedi dan Evi mempertanyakan soal proses balik nama padahal sertifikat masih diblokir yang mengakibatkan hak atas tanah dan bangunan hilang.

Terkait hal itu, Kepala Kantah Sleman Imam Nawawi, menyampaikan pihaknya telah mengirimkan surat penjelasan kepada Evi terkait mekanisme pemblokiran hingga proses balik nama pada 28 Mei 2024. Dalam surat itu dijelaskan proses administrasi yang dilakukan sejak 2011.

Imam menjelaskan, permintaan pemblokiran sertifikat dilakukan oleh Polres Sleman. Sebab, waktu itu sedang ada proses pidana kasus penipuan yang dilaporkan oleh Evi terhadap perempuan berinisial SH dan laki-laki berinisial SJ hendak mengontrak rumahnya untuk usaha konfeksi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sepertinya teman-teman pun sudah tahu, ada indikasi kemungkinan ada penipuan dari yang minjam sertifikat, yang dulu infonya mengontrak tanah, itulah awal asal muasalnya, sehingga jadi masalah," kata Imam saat ditemui di kantornya, Rabu (14/5/2025).

Dalam perjalanan kasusnya, sesuai aturan, pemblokiran sertifikat itu hanya berlaku 30 hari. Berbeda dengan penyitaan yang baru akan dilepas statusnya setelah sita berakhir. Dasar itulah yang kemudian membuat bank berani melelang sertifikat tersebut. Selain itu, dalam kasus ini bank maju karena sertifikat telah diagunkan dan ada kredit macet.

ADVERTISEMENT

"Nah kemudian karena itu diagunkan, akhirnya ada lelang, dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) lelang atas permohonan dari bank (menyebut nama). Kemudian dilelang, saat lelang pun itu karena tadi sudah tidak ada tercatat blokir, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) itu sudah terbit," jelasnya.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya ada pemenang lelang yakni pria inisial RZA. Sertifikat tersebut kemudian kembali berubah dan menjadi atas nama RZA. BPN, kata Imam, selama proses dan syarat administrasi terpenuhi tidak bisa menolak permintaan balik nama tersebut.

"Catatan di BPN, kami sebagai lembaga pencatat administrasi, ini sepanjang administrasi terpenuhi, syarat formilnya terpenuhi, kita proses. Kalau ada peralihan jual beli, misalnya peralihan jual beli, berdasarkan akta jual beli. Tadi yang waris karena ada pewarisan. Nah ini ada lelang, ada risalah lelang yang dibuat oleh pejabat resmi, pejabat dari KPKNL," ujarnya.

"Jadi administrasi sudah terpenuhi, sehingga pencatatan kami tidak ada alasan untuk menolak, untuk mencatat atas lelang tersebut," imbuh dia.

Di sisi lain, Imam menjelaskan meski dalam kasus pidana penipuan dan penggelapan yang dilakukan SH dan SJ sudah berstatus inkrah, sertifikat tanah milik Evi tak bisa kembali. Pasalnya, sertifikat itu telah berganti nama pemilik ke SJ. Oleh sebab itu, Hedi dan Evi harus mengajukan proses gugatan.

"Mestinya dulu mengajukan dari dasarkan pidana tadi, mengajukan gugatan perdata atau PTUN untuk membatalkan peralihan," katanya.

Untuk saat ini, BPN Sleman menyarankan agar ada upaya damai antara pihak Hedi dan Evi dengan pihak ketiga, yaitu pemilik sertifikat saat ini.

"Ya lebih baik damai. Kalau jalan pengadilan ini kan mungkin jalan sudah terakhirlah ya, kalau upaya damai sudah tidak bisa," kata Imam.

"Pemegang hak baru yang memperoleh dari lelang itu bisa diajak damai, karena sekali lagi melihat mungkin dari sisi kemanusiaan, ini Ibu Evi menjadi korban. Mungkin pihak yang sekarang memperoleh dari lelang itu ada hati untuk menyelesaikan, mungkin untuk musyawarah bisa jadi, itu menjadi satu kesepakatan antarpihak," imbuh dia.

Namun, jika dengan musyawarah tidak bisa menyelesaikan masalah, Imam menyarankan agar maju ke proses hukum baik itu melalui gugatan perdata atau sidang di PTUN.

"Tapi kalau tidak ya tentu karena negara kita negara hukum, ya proses hukumlah yang kita harus kedepankan. Ya, perdata atau PTUN," pungkasnya.

Cerita Korban

Diberitakan sebelumnya, Hedi Ludiman (49), guru honorer di salah satu SMK swasta di Sleman, mengaku sudah belasan tahun berjuang agar sertifikat tanah milik istrinya, Evi Fatimah (38) bisa kembali.

Yang jadi objek adalah tanah seluas 1.475 meter persegi beserta bangunan rumah di Pedukuhan Paten, Kalurahan Tridadi, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman.

Hedi menceritakan, peristiwa ini bermula pada tahun 2011. Kala itu ada dua orang yang mengaku ibu dan anak, perempuan berinisial SH dan laki-laki berinisial SJ hendak mengontrak rumahnya untuk usaha konfeksi.

"Ada dua orang SJ dan SH, mau mengontrak. Ketemu istri saya tahun 2011. Mau ngontrak rumah selama 5 tahun. Setahunnya Rp 5 juta. Selama 5 tahun, Rp 25 juta," kata Hedi kepada wartawan saat ditemui di rumahnya, Senin (12/5).

Dari percakapan dengan Evi, kemudian muncul kesepakatan harga. Selain itu, keduanya mengaku baru akan menempati rumah tersebut di tahun 2012 atau satu tahun kemudian. Uang tersebut kemudian ditransfer secara bertahap dari Agustus hingga lunas di Desember 2011.

Dalam proses tersebut, pengontrak meminta kepada Evi untuk memberikan sertifikat sebagai jaminan. Alasannya, agar Evi sebagai pemilik kontrakan tidak kabur. Padahal, sebelum-sebelumnya, rumah tersebut sudah sering dikontrakkan. Selain itu, SH menurut Evi adalah ibu-ibu yang sudah tua sekitar usia 60-an tahun pada waktu itu. Sehingga dirinya tak menaruh curiga.

"Sertifikat sudah saya serahkan ke SJ dan SH karena kan dia ngasih uang ke saya. Ibaratnya sebagai untuk kepercayaan karena dia takut saya lari. Jadi buat jaminan karena mau menyerahkan uang Rp 25 juta," kata Evi menambahkan.

Hedi lalu melanjutkan, pada proses mengontrak, istrinya kemudian diajak ke salah satu kantor notaris di Kalasan oleh SH dan SJ. Alasannya, untuk tanda tangan notaris terkait perjanjian mengontrak rumah.

Di situ, terdapat kejanggalan saat Evi tak boleh membaca dan tidak dikasih salinan perjanjian. Akan tetapi dia tidak menaruh curiga sama sekali.

"Tidak boleh membaca, cuma dibacakan, tidak dikasih salinan. Sama SH sudah tanda tangan di sini. Yang ditandatangani itu saat itu tidak tahu (apa). Katanya perjanjian kontrak mengontrak. Setengah kaya digendam atau dipaksa," jelasnya.

Petaka baru muncul di medio Mei 2012. Saat itu tiba-tiba ada pihak bank datang mencari pemilik rumah. Dari informasi pihak bank, tanah dan rumah tersebut telah diagunkan untuk hutang sebesar Rp 300 juta dan mengalami kredit macet.

Dari pihak bank juga didapat informasi bahwa sertifikat tersebut dalam proses balik nama tanpa sepengetahuan istrinya.




(rih/ams)

Hide Ads