Hedi Ludiman (49), guru honorer di salah satu SMK swasta di Sleman dan Evi Fatimah (38) jadi korban mafia tanah. Hari ini keduanya bertemu Bupati Sleman Harda Kiswaya untuk mengadu dan meminta bantuan mengatasi permasalahannya.
"Yang disampaikan keluh kesah saya sebagai warga Sleman untuk dibantu masalah yang menimpa istri saya terkait mafia tanah," kata Hedi ditemui wartawan di kantor Bupati Sleman, Rabu (14/5/2025).
Hedi bilang, dari pertemuan dengan Bupati, dia sedikit lega karena pihak pemerintah daerah bersedia mendampingi. Selanjutnya, Hedi akan bertemu dengan anggota DPRD Sleman dan ke BPN Sleman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya mengucapkan terima kasih kepada Bupati yang merespons dan membantu kami sebagai warga," ujarnya.
Sementara itu, Bupati Sleman, Harda Kiswaya, mengaku prihatin dengan kejadian yang menimpa Hedi dan keluarganya.
"Yang pertama prihatin saya mudah-mudahan jangan banyak yang mengalami kayak Mbak Evi ini mudah-mudahan," kata Harda kepada wartawan, Rabu (14/5).
Herda menyatakan, pemerintah daerah siap mendampingi penanganan kasus Hedi hingga benar-benar tuntas.
"Kemudian saya selaku pemerintahan Kabupaten Sleman ya, saya akan mendampingi beliau. Berjuang untuk memperoleh kembali haknya," tegasnya.
Untuk itu, langkah pertama nantinya akan melakukan klarifikasi ke BPN untuk mengurai akar masalah berubahnya sertifikat milik Evi meski sudah diblokir.
"Iya, karena bagi saya yang bisa mengurai awal ini perjalanannya kenapa ganti nama di sertifikat kan yang BPN. Ya, tentu nanti BPN akan mengurai. Nah, dari uraian itu perjalanan itu kan bisa, siapa ini yang melakukan. Nah, biar nanti bisa ketemu kemudian dimintai penjelasan dan pertanggungjawabannya," jelasnya.
Di sisi lain, Harda mengingatkan kepada masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan tanda tangan perjanjian. Agar kasus seperti yang dialami Hedi dan Evi tak terulang lagi.
"Makanya bagi masyarakat pembelajaran yang pertama harus hati-hati pada saat ya punya kerja sama dengan orang atau badan usaha betul-betul harus hati-hati," katanya.
"Kemudian pada saat transaksi-transaksi harus dibaca nek nggak ya jangan mau ini, kan kejadiannya bisa seperti ini. Mudah-mudahan tidak terulang," pungkasnya.
Berawal dari Dalih Kontrak Rumah
Diberitakan sebelumnya, Hedi Ludiman (49), guru honorer di salah satu SMK swasta di Sleman, mengaku sudah belasan tahun berjuang agar sertifikat tanah milik istrinya, Evi Fatimah (38) bisa kembali.
Yang jadi objek adalah tanah seluas 1.475 meter persegi beserta bangunan rumah di Pedukuhan Paten, Kalurahan Tridadi, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman.
Hedi menceritakan, peristiwa ini bermula pada tahun 2011. Kala itu ada dua orang yang mengaku ibu dan anak, perempuan berinisial SH dan laki-laki berinisial SJ hendak mengontrak rumahnya untuk usaha konveksi.
"Ada dua orang SJ dan SH, mau mengontrak. Ketemu istri saya tahun 2011. Mau ngontrak rumah selama 5 tahun. Setahunnya Rp 5 juta. Selama 5 tahun, Rp 25 juta," kata Hedi kepada wartawan saat ditemui di rumahnya, Senin (12/5/2025).
Dari percakapan dengan Evi, kemudian muncul kesepakatan harga. Selain itu, keduanya mengaku baru akan menempati rumah tersebut di tahun 2012 atau satu tahun kemudian. Uang tersebut kemudian ditransfer secara bertahap dari Agustus hingga lunas di Desember 2011.
Dalam proses tersebut, pengontrak meminta kepada Evi untuk memberikan sertifikat sebagai jaminan. Alasannya, agar Evi sebagai pemilik kontrakan tidak kabur. Padahal, sebelum-sebelumnya, rumah tersebut sudah sering dikontrakkan. Selain itu, SH menurut Evi adalah ibu-ibu yang sudah tua sekitar usia 60-an tahun pada waktu itu. Sehingga dirinya tak menaruh curiga.
"Sertifikat sudah saya serahkan ke SJ dan SH karena kan dia ngasih uang ke saya. Ibaratnya sebagai untuk kepercayaan karena dia takut saya lari. Jadi buat jaminan karena mau menyerahkan uang Rp 25 juta," kata Evi menambahkan.
Hedi lalu melanjutkan, pada proses mengontrak, istrinya kemudian diajak ke salah satu kantor notaris di Kalasan oleh SH dan SJ. Alasannya, untuk tanda tangan notaris terkait perjanjian mengontrak rumah.
Di situ, terdapat kejanggalan saat Evi tak boleh membaca dan tidak dikasih salinan perjanjian. Akan tetapi dia tidak menaruh curiga sama sekali.
"Tidak boleh membaca, cuma dibacakan, tidak dikasih salinan. Sama SH sudah tanda tangan di sini. Yang ditandatangani itu saat itu tidak tahu (apa). Katanya perjanjian kontrak mengontrak. Setengah kaya digendam atau dipaksa," jelasnya.
Petaka baru muncul di medio Mei 2012. Saat itu tiba-tiba ada pihak bank datang mencari pemilik rumah. Dari informasi pihak bank, tanah dan rumah tersebut telah diagunkan untuk hutang sebesar Rp 300 juta dan mengalami kredit macet.
Dari pihak bank juga didapat informasi bahwa sertifikat tersebut dalam proses balik nama tanpa sepengetahuan istrinya.
(apl/dil)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang
PDIP Bawa Koin 'Bumi Mataram' ke Sidang Hasto: Kasus Receh, Bismillah Bebas