Nasib Sentra Perajin Wayang di Pucung Bantul yang Regenerasinya Kian Tergerus

Nasib Sentra Perajin Wayang di Pucung Bantul yang Regenerasinya Kian Tergerus

Pradito Rida Pertana - detikJogja
Selasa, 07 Nov 2023 17:09 WIB
Suyono ketika fokus mengerjakan wayang kulit di Kampung Pucung, Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, Selasa (7/11/2023).
Sentra Perajin Wayang di Pucung Bantul yang Regenerasinya Kian Tergerus. Sentra perajin wayang kulit di Kampung Pucung Bantul, Selasa (7/11/2023) (Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja)
Bantul -

Kabupaten Bantul memiliki sentra pembuatan wayang kulit di Kampung Pucung, Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Imogiri. Namun siapa sangka, jumlah perajin wayang di kampung tersebut kian merosot akibat kurang minatnya generasi muda.

Adalah Suyono (58) yang kini masih bertahan menjadi perajin pembuat wayang kulit. Suyono yang juga sebagai Ketua Paguyuban Perajin Wayang di Pucung ini menjelaskan, bahwa wayang kulit masuk ke Kampung Pucung Wukirsari sejak 1917. Semua itu berawal oleh salah satu tokoh masyarakat yang bernama Mbah Glemboh.

"Mbah Glemboh ini dulu menjadi Lurah di Pucung. Nah, kebetulan Mbah Glemboh ini menjadi abdi dalem di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat saat kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VII, dan beliau dipercaya untuk mengurusi wayang yang ada di Keraton," katanya kepada detikJogja di kediamannya, Pucung, Imogiri, Bantul, Selasa (7/11/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena setiap hari mengurusi wayang di Keraton, Mbah Glemboh memiliki ketertarikan dan rasa ingin untuk membuat wayang. Hal itu berlanjut dengan permohonan izin Mbah Glemboh kepada HB VII.

"Karena itu beliau izin kepada Ngarsa Dalem HB Ketujuh dan diperbolehkan untuk belajar membuat wayang," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Setelah pulang dari Keraton, Mbah Glemboh lalu belajar membuat wayang di rumah. Ternyata tetangganya yang bernama Mbah Reso, Mbah Karso, Mbah Cermo dan Mbah Karyo mengamati dan merasa tertarik hingga akhirnya ingin ikut belajar membuat wayang kulit.

Akhirnya Mbah Glemboh pun mampu membuat wayang dan hendak memperlihatkannya kepada HB VII. Namun, di tengah perjalanan ada orang Belanda yang melihat wayang milik Mbah Glemboh dan membelinya.

Tidak hanya di situ saja, salah satu pemilik toko batik tertarik membeli wayang Mbah Glemboh. Hingga akhirnya pada 1970 ada salah satu perusahaan BUMN saat itu tertarik membeli wayang karya warga Pucung dan akhirnya orang-orang mulai mendatangi Pucung untuk membeli wayang.

Hal itu membuat Pucung menjadi sentra pembuatan wayang kulit hingga saat ini. Terkait cara pembuatannya, Suyono menjelaskan bahwa pertama adalah mengupas kulit hewan baik itu kerbau, sapi, dan kambing.

"Habis pengupasan hewan kulit dikeringkan, normalnya dua hari tapi tergantung cuaca juga. Lalu kulit dikerok dan dibasahi lagi, lalu selesai semua itu kita buat pola tokoh pewayangannya dengan digambar dan ditatah sesuai pola," ujarnya.

Selesai membuat pola wayang kulit lalu berlanjut ke proses pewarnaan dengan cat air. Apabila sudah rampung, mulailah proses perangkaian dan pemasangan gagang wayang dari tanduk kerbau.

"Untuk wayang di Pucung menggunakan kulit, ada 3 jenis kulit hewan yakni kulit kerbau, sapi, dan kambing. Misalnya wayang kulit kerbau itu untuk dalang, kulit sapi untuk hiasan dinding dan kulit kambing untuk suvenir yang kecil seperti pembatas buku," katanya.

Terkait lama pengerjaan wayang kulit, pemilik Oemah Wayang Maju Karya ini mengaku memakan waktu puluhan hari. Mengingat dia sangat mengutamakan kualitas dari wayang buatannya.

"Untuk membuat satu gunungan itu bisa memakan waktu sekitar 20 hari, karena itu masuk kualitas halus. Karena kita memiliki 3 kategori kualitas, mulai kasar, sedang dan halus," ucapnya.

Apabila ada pesanan dengan jumlah banyak, maka Suyono membaginya dengan anggota kelompok perajin wayang Pucung. Menurutnya, untuk menyelesaikan satu set wayang dengan jumlah 200 tokoh pewayangan memakan waktu sekitar tiga bulan.

"Kalau berbicara masalah sulit kepada ahli wayang sebenarnya tidak ada yang sulit karena sudah menjiwai betul. Tapi yang paling nganu (sulit) ya gunungan itu," katanya.

Menyoal harga wayang di Pucung, pria yang sudah membuat wayang sejak 1990 ini mengaku bervariasi. Menurutnya, wayang yang paling mahal adalah yang menggunakan kulit kerbau dengan kualitas halus.

"Jadi untuk satu wayang gunungan dari kulit kerbau bisa mencapai Rp 3-4 juta, kalau kulit sapi sekitar Rp 2 juta. Kalau pakai kulit kambing untuk wayang gunungan kurang bagus karena tipis kulitnya," ucapnya.

"Nah, satu set isi 200 wayang yang biasa Rp 700 juta, itu kulit kerbau yang halus tapi bukan prodo emas,. Kalau pakai prodo emas lebih mahal lagi. Kalau untuk satu set wayang kualitas sedang Rp 500 juta," lanjut Suyono.

Meski terbilang mahal, Suyono mengaku wayang kulit produksi Pucung tetap laku di pasaran. Bahkan, Suyono mengklaim jika 40% pembeli wayang kulit buatannya berasal dari luar negeri.

"Penjualan wayang di Pucung sudah sampai luar negeri. Jadi mungkin bisa dikatakan 40 persen luar negeri dan 60 persen dalam negeri. Sistem jualannya kebanyakan offline, karena biar pembeli bisa tahu langsung kualitasnya, kalau online biasanya hanya untuk wayang kualitas yang kasar-kasar itu," katanya.

Seperti apa keluhan perajin mengenai sulitnya regenerasi, bisa dibaca di halaman berikut

Minimnya Regenerasi Perajin Wayang di Pucung Bantul

Di balik nama besar Pucung sebagai sentra wayang kulit di Bantul, Suyono mengaku ada kendala dalam regenerasi perajin wayang. Suyono menceritakan, bahwa sebelum 1998 di Pucung sempat memunculkan 1.370 pengrajin wayang kulit.

Selanjutnya, pada 1998 negara diguncang krisis moneter, demo-demo lengsernya almarhum Soeharto dan kejadian bom Bali. Sehingga berpengaruh terhadap produksi wayang, bahkan hingga harus vakum sekitar 4 tahun.

"Akhirnya hingga saat ini tinggal menyisakan sekitar 400 perajin wayang kulit," ucapnya.

Menurutnya, dari 400 perajin tersebut kebanyakan merupakan keturunan dari kelima tokoh yang awalnya memproduksi wayang di Pucung.

"Karena yang bisa sampai sekarang itu faktor turun temurun dari kelima pendahulu. Saya saja sudah generasi ketiga. Jadi sekarang ini yang masih eksis adalah turunan trah dari kelima tokoh tadi," katanya.

Soal penyebab menyusutnya jumlah perajin wayang di Pucung, Suyono mengaku akibat banyak generasi muda yang kurang tertarik. Apabila tertarik, generasi muda saat ini hanya bersifat sementara dan ingin semuanya serba instan.

"Jadi begini, memang ini merupakan salah satu kendala kami yang sangat berat untuk regenerasi. Jadi sekarang ini anak-anak muda maunya instan. Padahal kalau tidak dilandasi turun temurun kalau pemula mau usaha wayang paling 1-2 bulan sudah bosan," ucapnya.

Belum lagi, untuk mendulang uang dari wayang kulit tidak bisa mendadak. Dalam artian, untuk menjual wayang kulit bisa memakan waktu seminggu, sebulan bahkan setahun.

"Dan anak-anak sekarang kembali lagi, maunya instan. Padahal perajin wayang itu orangnya harus benar-benar sabar, apalagi wayang ini tidak dikonsumsi semua orang. Beda dengan batik kan setiap hari orang bisa pakai baju batik. Kalau wayang kan kebutuhan yang lain sudah tercukupi baru ke wayang," ucapnya.

"Kemudian yang juga jadi hambatan, sekarang era digitalisasi banyak ini itu membuat saya sangat prihatin dan membuat regenerasi pengrajin wayang agak berat," imbuh Suyono.

Oleh sebab itu, untuk meningkatkan minat generasi muda terhadap wayang pihaknya bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Bantul. Kerja sama itu terkait memasukkan pembuatan wayang dalam ekstrakulikuler sekolah.

"Langkah-langkah yang kita lakukan, alhamdulillah kami bekerjasama dengan Disdikpora untuk anak-anak SD di Kampung saya untuk muatan lokal yakni ekstrakurikuler kita isi pembuatan wayang. Semua itu agar warga kami sejak muda bisa mengenal wayang," katanya.

Menurutnya, dengan upaya tersebut sudah ada beberapa generasi muda yang tertarik dengan pembuatan wayang kulit. Sebagai perbandingan, saat ini regenerasi generasi muda 40% muda dan 60% orang-orang tua.

"Tapi saya yakin karena wayang ini merupakan salah satu warisan nenek moyang kita. Jadi saya yakin wayang akan berlanjut sampai akhir nanti. Karena itu mohon dengan sangat kepada pemerintah memberikan satu dorongan agar wayang ini bisa terus eksis," ucapnya.

Berharap Pemerintah Tidak Hanya Beri Bantuan Gamelan

Dalam obrolan tersebut, Suyono juga berharap agar Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengurangi bantuan berupa gamelan kepada perajin wayang kulit. Menurutnya, hal tersebut kurang efektif.

"Harapan kami mohon dari pemerintah bisa memberikan support atau dorongan untuk melestarikan wayang. Sekarang kan banyak bantuan-bantuan berwujud gamelan dari Danais, yang berwujud wayang hanya kecil," katanya.

Suyono menilai, jika Pemerintah mau mengalokasikan Danais untuk pengadaan satu set wayang untuk setiap Kapanewon di DIY akan lebih membantu perajin wayang kulit. Pasalnya secara tidak langsung para perajin akan mendapatkan pemesanan wayang kulit dan menggerakkan perekonomian masyarakat, khususnya di Pucung.

"Harapan kami mungkin kalau bisa diusulkan minimal per-Kapanewon harus punya satu kotak wayang (satu set isi 200 wayang), atau per-Kalurahan kalau bisa," ujarnya.

"Artinya kalau itu bisa dialokasikan, dianggarkan untuk satu Kapanewon punya wayang satu kotak otomatis pekerja di kampung ini akan bangkit lagi," lanjut Suyono.


Hide Ads