Kabupaten Bantul memiliki sentra pembuatan wayang kulit di Kampung Pucung, Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Imogiri. Namun siapa sangka, jumlah perajin wayang di kampung tersebut kian merosot akibat kurang minatnya generasi muda.
Adalah Suyono (58) yang kini masih bertahan menjadi perajin pembuat wayang kulit. Suyono yang juga sebagai Ketua Paguyuban Perajin Wayang di Pucung ini menjelaskan, bahwa wayang kulit masuk ke Kampung Pucung Wukirsari sejak 1917. Semua itu berawal oleh salah satu tokoh masyarakat yang bernama Mbah Glemboh.
"Mbah Glemboh ini dulu menjadi Lurah di Pucung. Nah, kebetulan Mbah Glemboh ini menjadi abdi dalem di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat saat kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VII, dan beliau dipercaya untuk mengurusi wayang yang ada di Keraton," katanya kepada detikJogja di kediamannya, Pucung, Imogiri, Bantul, Selasa (7/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena setiap hari mengurusi wayang di Keraton, Mbah Glemboh memiliki ketertarikan dan rasa ingin untuk membuat wayang. Hal itu berlanjut dengan permohonan izin Mbah Glemboh kepada HB VII.
"Karena itu beliau izin kepada Ngarsa Dalem HB Ketujuh dan diperbolehkan untuk belajar membuat wayang," ujarnya.
Setelah pulang dari Keraton, Mbah Glemboh lalu belajar membuat wayang di rumah. Ternyata tetangganya yang bernama Mbah Reso, Mbah Karso, Mbah Cermo dan Mbah Karyo mengamati dan merasa tertarik hingga akhirnya ingin ikut belajar membuat wayang kulit.
Akhirnya Mbah Glemboh pun mampu membuat wayang dan hendak memperlihatkannya kepada HB VII. Namun, di tengah perjalanan ada orang Belanda yang melihat wayang milik Mbah Glemboh dan membelinya.
Tidak hanya di situ saja, salah satu pemilik toko batik tertarik membeli wayang Mbah Glemboh. Hingga akhirnya pada 1970 ada salah satu perusahaan BUMN saat itu tertarik membeli wayang karya warga Pucung dan akhirnya orang-orang mulai mendatangi Pucung untuk membeli wayang.
Hal itu membuat Pucung menjadi sentra pembuatan wayang kulit hingga saat ini. Terkait cara pembuatannya, Suyono menjelaskan bahwa pertama adalah mengupas kulit hewan baik itu kerbau, sapi, dan kambing.
"Habis pengupasan hewan kulit dikeringkan, normalnya dua hari tapi tergantung cuaca juga. Lalu kulit dikerok dan dibasahi lagi, lalu selesai semua itu kita buat pola tokoh pewayangannya dengan digambar dan ditatah sesuai pola," ujarnya.
Selesai membuat pola wayang kulit lalu berlanjut ke proses pewarnaan dengan cat air. Apabila sudah rampung, mulailah proses perangkaian dan pemasangan gagang wayang dari tanduk kerbau.
"Untuk wayang di Pucung menggunakan kulit, ada 3 jenis kulit hewan yakni kulit kerbau, sapi, dan kambing. Misalnya wayang kulit kerbau itu untuk dalang, kulit sapi untuk hiasan dinding dan kulit kambing untuk suvenir yang kecil seperti pembatas buku," katanya.
Terkait lama pengerjaan wayang kulit, pemilik Oemah Wayang Maju Karya ini mengaku memakan waktu puluhan hari. Mengingat dia sangat mengutamakan kualitas dari wayang buatannya.
"Untuk membuat satu gunungan itu bisa memakan waktu sekitar 20 hari, karena itu masuk kualitas halus. Karena kita memiliki 3 kategori kualitas, mulai kasar, sedang dan halus," ucapnya.
Apabila ada pesanan dengan jumlah banyak, maka Suyono membaginya dengan anggota kelompok perajin wayang Pucung. Menurutnya, untuk menyelesaikan satu set wayang dengan jumlah 200 tokoh pewayangan memakan waktu sekitar tiga bulan.
"Kalau berbicara masalah sulit kepada ahli wayang sebenarnya tidak ada yang sulit karena sudah menjiwai betul. Tapi yang paling nganu (sulit) ya gunungan itu," katanya.
Menyoal harga wayang di Pucung, pria yang sudah membuat wayang sejak 1990 ini mengaku bervariasi. Menurutnya, wayang yang paling mahal adalah yang menggunakan kulit kerbau dengan kualitas halus.
"Jadi untuk satu wayang gunungan dari kulit kerbau bisa mencapai Rp 3-4 juta, kalau kulit sapi sekitar Rp 2 juta. Kalau pakai kulit kambing untuk wayang gunungan kurang bagus karena tipis kulitnya," ucapnya.
"Nah, satu set isi 200 wayang yang biasa Rp 700 juta, itu kulit kerbau yang halus tapi bukan prodo emas,. Kalau pakai prodo emas lebih mahal lagi. Kalau untuk satu set wayang kualitas sedang Rp 500 juta," lanjut Suyono.
Meski terbilang mahal, Suyono mengaku wayang kulit produksi Pucung tetap laku di pasaran. Bahkan, Suyono mengklaim jika 40% pembeli wayang kulit buatannya berasal dari luar negeri.
"Penjualan wayang di Pucung sudah sampai luar negeri. Jadi mungkin bisa dikatakan 40 persen luar negeri dan 60 persen dalam negeri. Sistem jualannya kebanyakan offline, karena biar pembeli bisa tahu langsung kualitasnya, kalau online biasanya hanya untuk wayang kualitas yang kasar-kasar itu," katanya.
Seperti apa keluhan perajin mengenai sulitnya regenerasi, bisa dibaca di halaman berikut
Komentar Terbanyak
Forum Ojol Yogyakarta Buka Suara soal Ricuh Massa Driver di Godean
Roy Suryo Usai Diperiksa soal Ijazah Jokowi: Cuma Identitas yang Saya Jawab
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa