Warga Mangiran, Trimurti, Srandakan, Bantul memiliki tradisi unik saat Idulfitri yaitu Bakda Mangiran. Tradisi tersebut ternyata bermula dari wujud syukur seorang tetua yang sembuh usai memindahkan makam Ki Mangirono dan Nyai Mangirono.
Pendamping Desa Budaya Trimurti, Srandakan, Bantul, Purwantono menjelaskan, bahwa tradisi Bakda Mangiran sudah berlangsung sejak tahun 1930. Semua itu bermula saat tetua di Mangiran yakni, Atmorejo mengidap sakit yang tidak kunjung sembuh.
"Bahkan, sudah diupayakan obat-obatan dan sebagainya tapi tetua di sini tidak kunjung sembuh," katanya kepada detikJogja di Mangiran, Bantul, Kamis (3/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seiring berjalannya waktu, Atmorejo mendapatkan mimpi. Di mana dalam mimpi itu Atmorejo bertemu dengan orang tua dan memintanya untuk memindahkan makam jika ingin sembuh.
![]() |
"Dalam mimpi itu dikatakan kalau mau sembuh harus memindah makam yang ada di pinggir Sungai Progo, makam itu makam Ki Mangirono dan Nyi Mangirono," ujarnya.
Mendapat mimpi tersebut, Atmorejo lantas meminta tolong kepada warga Mangiran untuk memindahkan makam tersebut. Akhirnya, warga memindahkan makam tersebut ke tempat pemakaman yang sekarang bernama Caturloyo.
"Setelah dipindah, tetua di sini itu sembuh. Nah, sebagai ungkapan syukur mengadakan syukuran berupa gunungan hasil bumi dan menanggap ledek," ucapnya.
Berawal dari syukuran itu, setiap tahun warga memperingatinya setiap bulan Syawal atau Lebaran. Adapun dalam bahasa Jawa Lebaran disebut bakda sehingga akhirnya disebut Bakda Mangiran.
"Dan lambat laun tradisi Bakda Mangiran menjadi besar," katanya.
Purwantono mengungkapkan, bahwa rangkaian Bakda Mangiran sebenarnya berlangsung sejak malam takbir berupa tahlilan di makam Caturloyo. Sedangkan puncaknya pada hari ini.
"Makanya Bakdo Mangiran itu rata-rata 2-4 hari. Mulai malam takbir, pas Idulfitri dan sampai setelah Idulfitri," ujarnya.
Selanjutnya, bregada nantinya mengarak dua gunungan berupa hasil bumi dan hasil produksi khas dari Mangiran berupa mi letek dan wingko.
"Setelah mengarak gunungan ke makam terus berdoa bersama, lalu menanggap ledek dan gunungan dikeluarkan untuk diperebutkan masyarakat sekitar," ucapnya.
Terkait makna dari tradisi tersebut, Purwantono menyebut sebagai wujud syukur masyarakat. Selain itu untuk merekatkan masyarakat Mangiran khususnya yang pulang dari perantauan.
"Tujuannya ya ucapan syukur karena Ki Atmorejo itu sudah disembuhkan dari sakitnya. Tapi seiring berjalannya waktu saat ini maknanya syukuran bersama, karena banyak pemudik juga," katanya.
Terlepas dari hal tersebut, Purwantono menyebut jika tradisi Bakda Mangiran sudah tercatat sebagai warisan budaya tak benda.
"Alhamdulillah tahun 2024 upacara bakda mangiran sudah menjadi warisan budaya tak benda," ujarnya.
(afn/afn)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Bikin Aksi Saweran Koin Bela Hasto Kristiyanto
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi