Mengenal Petruk, Tokoh Wayang di Spanduk yang Marak di Solo-Semarang

Mengenal Petruk, Tokoh Wayang di Spanduk yang Marak di Solo-Semarang

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Senin, 30 Okt 2023 19:15 WIB
Spanduk bergambar Petruk itu disertai tulisan β€˜Dadi Wong Jowo Ojo Lali Jowone’ dan terpasang di samping spanduk Prabowo-Jokowi di Solo, Kamis (26/10/2023).
Spanduk bergambar Petruk itu disertai tulisan 'Dadi Wong Jowo Ojo Lali Jowone' dan terpasang di samping spanduk Prabowo-Jokowi di Solo, Kamis (26/10/2023). Foto: Tara Wahyu NV/detikJateng
Jogja -

Sosok Petruk belakangan tengah naik daun. Tokoh Petruk menjadi perhatian usai pencalonan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto. Lalu siapa sebenarnya Petruk?

Petruk termasuk Punakawan dalam jagad pewayangan, bersama Gareng, Bagong, dan Semar.

Pakar wayang dari UGM, Rudy Wiratama menyebut Petruk merupakan salah satu Punakawan yang populer dalam pewayangan Jawa pada saat ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mengapa saya katakan pada saat ini? Saat ini itu artinya tahun 1.600-an ke sini, era Jawa Islam. Sebab sebelum era Islam, era Hindu Budha di Jatim Punakawan Petruk itu tidak dikenal," kata Rudy saat dihubungi detikJogja, Senin (30/10/2023).

Dia melanjutkan, kemunculan Punakawan ini tidak bersamaan. Dia menyebut di Jawa Timur hanya ada Semar dan Bagong, kemudian era Surakarta kasepuhan ada Semar, Gareng, Petruk.

ADVERTISEMENT

Kemudian era Surakarta modern ada Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Jogja juga mengenal ada empat tokoh Punakawan itu.

"Jadi tidak harus selamanya harus ditampilkan sebagai empat serangkai. Bisa dua, bisa tiga," bebernya.

Khusus tokoh Petruk, lanjut Rudy, oleh masyarakat banyak dimaknai berbagai hal. Ada yang mempercayai Petruk adalah Gandarwa atau makhluk halus yang usianya lebih tua dari Semar.

Konon ceritanya, Petruk telah ditaklukkan oleh Semar, maka Petruk menjadi pengikut dan anak angkat Semar.

Rudy juga bilang, ada yang menyatakan Petruk merupakan gambaran dari orang Eropa.

"Terus ada yang menyatakan Petruk itu sebenarnya adalah karikatur dari orang-orang Eropa yang saat itu mengabdi ke raja-raja Mataram," urainya.

"Makanya badannya tinggi besar, hidungnya panjang, matanya seperti almond, lonjong, dan lain sebagainya. Kemudian suaranya lantang. Itu kan karakteristik orang Eropa sekali," sambungnya.

Watak Petruk

Dosen Sastra Jawa FIB UGM itu melanjutkan, Petruk banyak digambarkan sebagai sosok yang suka bercanda. Tapi di satu sisi, dia punya watak giat bekerja.

"Karena dikaruniai kelebihan di badannya. Hidungnya panjang, tangannya panjang, kakinya panjang, dibandingkan saudaranya-saudaranya," jelasnya.

"Jadi dia dianggap mewakili sosok yang serius tapi santai. Satu sisi dianggap sosok pengayom dan penasihat di samping Semar dan lain-lain memberikan nasihat ke Pandawa," sambungnya.

Sosok Petruk yang berasal dari rakyat biasa kemudian menjadi pejabat tertuang dalam lakon 'Petruk Jadi Ratu'. Dalam lakon itu garis besarnya, Petruk menemukan jimat Kalimasada dari tangan Pandawa dan menjadi raja. Petruk kemudian memanfaatkan itu untuk mengubah tatanan dalam rangka memperingatkan para Pandawa.

"Sebenarnya perilaku Petruk yang seperti itu untuk mengingatkan para Pandawa kok sampai kehilangan jimat Kalimasada itu kan kebangetan," ucapnya.

"Petruk muncul dengan sosok seorang raja yang kontroversial itu tidak lebih hanya untuk mengingatkan para Pandawa," sambungnya.

Selengkapnya di halaman berikutnya....

Perwujudan Petruk Masa Kini

Dalam politik hari ini, sosok Petruk kembali muncul dan dikaitkan dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tapi Rudy menilai tidak ada tokoh Petruk dalam politik Indonesia saat ini.

"Punakawan itu bukan figur, Punakawan empat itu adalah komponen dari diri kita sendiri," kata Rudy.

"Jadi kalau ditarik sekarang, Petruk itu siapa? Apakah Pak Ganjar, apakah Gibran, apakah siapa, nggak ada," tegasnya.

Dia mengingatkan kepada masyarakat agar tidak membiasakan cocoklogi dengan menggunakan karakter wayang.

"Jadi jangan membiasakan cocoklogi antara wayang dengan sekarang. Sebab wayang itu bayangan untuk kehidupan, bayangan yang dipakai untuk kita bercermin. Bukan kok wayang itu kita pakai sebagai memproyeksikan kehendak kita terhadap diri sendiri," urainya.

"Jangan dipaksakan itu untuk mewakili kehendak kita, 'O Petruk e itu Pak Jokowi, Pak Anies. Kalau sampai di situ kan wayang jadi kehilangan nilai luhurnya untuk bisa berefleksi," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(rih/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads