Yuk Mengenal Jemparingan, Seni Panahan Tradisional Sejak Era Sultan HB I

Yuk Mengenal Jemparingan, Seni Panahan Tradisional Sejak Era Sultan HB I

Fiesta Inka Purwoko, Iis Sulistiani - detikJogja
Senin, 11 Sep 2023 13:48 WIB
Warga Kampung Siliran sedang memainkan jemparing. Foto diunggah Senin (11/9/2023).
Warga Kampung Siliran, Jogja, sedang memainkan jemparing. (Foto: Iis Sulistiani/detikJogja)
Jogja -

Jemparingan merupakan seni panahan tradisional yang berasal dari Jogja. Salah satu lokasi latihan jemparingan bisa dilihat di Kampung Siliran yang berada di Kemantren Keraton Jogja.

Berbeda dengan panahan modern, jemparingan menggunakan alat dan target sasaran yang sederhana. Sebagai informasi, jemparingan merupakan olahraga panahan pada era Kerajaan Mataram.

Jemparingan yang sudah ada sejak zaman Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini pun dikenal dengan Jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir dari situs indonesia.go.id, olahraga jemparingan telah dikenal sejak zaman Sultan Hamengku Buwono I. Jemparingan mendorong pengikut Sultan HB I untuk memiliki watak ksatria.

Jemparingan mengajarkan memanah sebagai pegangan hidup karena menyiratkan makna sawiji, greget, sengguh, lan ora mingkuh yang bermakna berkonsentrasi, semangat, percaya diri, dan memiliki rasa tanggung jawab.

ADVERTISEMENT

Arti Kata Jemparingan

Jemparingan berasal dari kata jemparing yang bermakna anak panah. Jemparingan dimainkan dengan busur yang disebut gandewa dan sasaran yang disebut bandulan.

"Berasal dari kata jemparing itu artinya anak panah, kalau dimainkan dengan banyak itu jemparingan. Dimainkan dengan alat bantu busur atau gandewa, sasarannya namanya bandulan dari pelepah pisang dilapisi kasa lalu dicat warna merah dan putih," jelas salah seorang pegawai Kalurahan Panembahan sekaligus arkeolog, Dodo saat ditemui detikJogja, Rabu (6/9/2023).

Berbeda dengan olahraga panahan modern, jemparingan dilakukan sembari duduk bersila. Uniknya lagi, busur atau gandewa tiap peserta jemparingan memiliki ukuran yang berbeda satu sama lain. Hal tersebut dikarenakan gandewa dibuat sesuai ukuran badan yang memilikinya.

"Busurnya ukurannya beda-beda. Untuk memudahkan ukurannya setinggi tubuh manusia saja," ucap Dodo.

Dulunya jemparingan hanya dilakukan sebagai perlombaan prajurit kerajaan. Namun, kini jemparingan dapat dilakukan oleh siapa saja.

Artikel ini ditulis oleh Iis Sulistiani dan Fiesta Inka Purwoko peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(ams/rih)

Hide Ads