Perjalanan Panjang Sejarah Sultan Ground di Jogja

Perjalanan Panjang Sejarah Sultan Ground di Jogja

Rheina Meuthia Ashari, Najma Alya Jasmine, Rhesa Azhar Pratama - detikJogja
Minggu, 24 Nov 2024 07:00 WIB
Land plot in aerial view. Identify registration symbol of vacant area for map. Property or real estate for business of home, house or residential i.e. construction, development, sale, rent, buy, purchase, mortgage or investment.
Ilustrasi Sultan Ground. Foto: Getty Images/iStockphoto/RonFullHD
Jogja -

Beberapa tanah di Jogja merupakan tanah berstatus Sultan Ground (SG) atau Tanah Sultan. Hal ini terkait dengan sejarah panjang berdirinya Kraton Jogja. Seperti apa kisahnya?

Perjalanan tanah Sultan ini dimulai dari Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Khusus Jogja, hak pengelolaan tanah diberikan pada Kraton Jogja.

Seiring dengan perkembangan kota dan meningkatnya kebutuhan pembangunan, tanah-tanah ini tidak hanya menjadi aset Kraton Jogja. Ada pertimbangan kepentingan masyarakat dan pihak ketiga seperti pemerintah pusat dan investor, sehingga tanah-tanah itu mulai disewakan. Simak selengkapnya tentang serba-serbi tanah Kasultanan di Jogja, di bawah ini ya gaes!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah dan Asal-Usul Tanah Sultan

Sejarah tanah Kasultanan Ngayogyakarta ditampilkan secara ringkas dan jelas pada Pameran Tanah Kasultanan 2024 yang sempat digelar pada 14-16 November 2024 di Sasono Hinggil. Dalam pameran itu dijelaskan awal mula tanah Sultan berawal dari Perjanjian Giyanti pada 1755 silam.
Simak perjalanannya di bawah ini:

Perjanjian Giyanti 1755

Pada tahun 1755, Perjanjian Giyanti membagi Kerajaan Mataram menjadi dua: Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Melalui perjanjian ini, Kraton Jogja diberi hak untuk mengelola tanah di wilayahnya, yang dikenal sebagai Sultan Ground yang dikelola dan diwariskan oleh keluarga kerajaan.

ADVERTISEMENT

"Kan sejarahnya dulu itu dari Perjanjian Giyanti ya pada tahun 1755 dibagi dua jadi yang Solo dan Jogja," jelas Perwakilan KHP Datu Dana Suyasa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Agus Langgeng Basuki saat ditemui detikJogja di Sasono Hinggil Dwi Abad, Jumat (15/11/2024).

Masa Pendudukan Inggris dan Awal Geger Sapehi 1811

Pada masa pendudukan Inggris pada 1811, Kraton Jogja masih mempertahankan hak tanahnya. Tak hanya itu, pada masa Geger Sapehi 1812, upaya Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk melindungi hak-hak Kasultanan justru berujung pada penindasan Belanda.

"Lalu di Geger Sapehi itu juga tanahnya coba dipertahankan. Bahkan, sampai HB II diasingkan ke Penang," ujar Langgeng

Kembali ke Pemerintahan Belanda (1816)

Setelah Inggris pergi pada tahun 1816, Belanda kembali berkuasa dan memberlakukan sistem administrasi baru yang menyesuaikan dengan kekuasaan mereka. Namun tanah-tanah kerajaan tetap dipertahankan.

Reformasi Agraria 1870

Tahun 1870 adalah periode penting di mana Kraton Jogja melakukan reformasi untuk meningkatkan produktivitas tanah. Reformasi ini memastikan tanah Sultan Ground dapat dikelola secara lebih efektif, termasuk dengan memperkenalkan aturan baru terkait hak sewa tanah.

Pembentukan Sultan Ground dan Pakualaman Ground 1918

Pada reorganisasi agraria tahun 1918, Belanda secara resmi melalui Rijksblad Kasultanan tahun 1918 No. AC mengakui Sultan Ground sebagai tanah milik Kraton Jogja dan Rijksblad Pakualaman tahun 1918 No. 18 mengakui Pakualaman Ground sebagai tanah milik Kadipaten Pakualaman. Kedua jenis tanah ini tidak boleh dijual, tetapi bisa disewakan kepada masyarakat sesuai kebutuhan.

Masa Pendudukan Jepang 1942

Dalam masa pendudukan Jepang, hak atas tanah Kraton Jogja tetap diakui, meski banyak tanah digunakan untuk kepentingan perang dan produksi pangan oleh pemerintah Jepang. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjaga hubungan baik dengan Jepang, sehingga kontrol atas tanah-tanah kerajaan tetap dipertahankan.

Bergabungnya Jogja dengan Republik Indonesia 1945

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan Yogyakarta bergabung dengan NKRI melalui Amanat S 5 September. Sehari kemudian, pemerintah pusat memberikan Piagam 19 Agustus sebagai penghargaan atas keputusan ini. Meski begitu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tetap mempertahankan hak atas tanah kerajaan sebagai bagian dari kekayaan Kraton Jogja.

"Pada tahun 1945 kan DIY menyatakan bergabung dengan NKRI, tapi kan institusi dari Kasultanan masih eksis. Hal itu Dalam arti bahwa kerajaan di wilayah Yogyakarta itu masih ada, Kasultanan Ngayogyakarta yang memiliki wilayah," ujar Kepala Bidang Penatausahaan dan Pengendalian Pertanahan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (DPTR) DIY, Qayyim Autad saat ditemui detikJogja di Sasono Hinggil Dwi Abad, Kamis (14/11).

Pengakuan Status Istimewa Yogyakarta 1950

Pada tahun 1950, Pemerintah Indonesia secara resmi mengakui Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Pengakuan ini mempertegas kedudukan Kraton Jogja sebagai entitas yang berwenang mengatur tanah di wilayahnya, sekaligus mengukuhkan hubungan khusus antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Republik Indonesia.

Undang-Undang Pokok Agraria 1960

Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang memberikan hak milik tanah kepada warga, tetapi tanah-tanah Kasultanan, termasuk Sultan Ground, tetap diperlakukan tidak termasuk dalam aturan umum.

Pengaturan Pengelolaan Sultan Ground 1984

Pada tahun 1984, Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mulai diperkenalkan ke publik. Peraturan ini mencakup hak sewa dan hak pakai yang diberikan kepada masyarakat atau institusi yang ingin menggunakan tanah tersebut serta sistem pengelolaan yang berdasarkan pada kepentingan umum dan pembangunan ekonomi.

"Seperti sekarang itu Sultan Ground itu banyak yang dipakai oleh masyarakat juga kan, buat kepentingan umum juga. Tidak hanya kasultanan saja, namun tentu dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi," kata Langgeng

Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta 2012

Pada tahun 2012, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) disahkan, memperkuat hak atas pengelolaan tanah di wilayah Kraton Jogja. Undang-undang ini memastikan bahwa tanah-tanah milik kerajaan tetap diakui secara hukum.

Pada saat ini, pengelolaan tanah Sultan Ground menghadapi tantangan baru, termasuk konflik penggunaan lahan oleh masyarakat, kebutuhan pembangunan kota, dan keterlibatan investor. Kraton Jogja pun mulai memperkenalkan pendekatan pengelolaan tanah yang lebih modern dan terorganisir, untuk memastikan tanah kerajaan tetap menjadi aset strategis di tengah perkembangan zaman dan digunakan seluas-luasnya untuk kemaslahatan masyarakat.

"Kan sekarang di DIY juga sudah mulai banyak pembangunan, nah itu juga menjadi tantangan dalam mengelola SG ini. Bagaimana bahwa tata pengelolaan tanah harus tetap mengikuti jaman, namun tetap bermanfaat bagi masyarakat dan juga kasultanan," ujar Langgeng.

Ada Tanah Ondermaning Ground. Simak di halaman berikutnya:

Ada Tanah Berstatus Ondernaming Ground (OG), Apa Itu?

Di sisi lain, ada juga tanah di Jogja yang berstatus Onderneming Ground (OG). Status tanah ini merupakan bagian tanah kasultanan yang dulu saat zaman penjajahan dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk pembangunan pabrik-pabrik juga perkebunan.

"OG itu sebenarnya adalah singkatan dari bahasa Belanda. Dulu digunakan untuk perkebunan dan pabrik zaman Belanda," ujar Langgeng.

Status OG sebagai tanah kasultanan itu diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) No.1 Tahun 2017 serta Peraturan Gubernur (Pergub) DIY No.33 Tahun 2017.

"OG itu tanah Kasultanan. Ada dalam Perdais No.1 Tahun 2017 dan Pergub DIY No.33 Tahun 2017," ujar Langgeng.

Lokasi tanah OG di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebar hampir di semua kabupaten, namun paling banyak berada di Sleman dan Bantul. Sebab, kawasan itu dulunya banyak dibangun pabrik serta perkebunan.

"Paling banyak itu Kalau sleman itu sekitar daerah Seyegan, dulu ada pabrik gula. Kemudian daerah bantul yang dulu dipakai untuk perkebunan tebu, ya lebih banyak di situ," pungkas Qayyim.

Artikel ini ditulis oleh Rhesa Azhar Pratama, Najma Alya Jasmine, dan Rheina Meuthia Ashari peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Pemanfaatan Terhalang Oleh Ormas Yang Belum Termediasi"
[Gambas:Video 20detik]
(ams/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads