Cerita Warga Jogja Korban TPPO di Kamboja, Dipaksa Tipu WNI Rp 300 Juta/Bulan

Round-Up

Cerita Warga Jogja Korban TPPO di Kamboja, Dipaksa Tipu WNI Rp 300 Juta/Bulan

Tim detikJogja - detikJogja
Sabtu, 19 Jul 2025 06:17 WIB
A woman who is terribly tired and depressed.
Depressed, exhausted.
Sadness, resignation, weakness, loneliness, anxiety.
Ilustrasi korban TPPO. Foto: Getty Images/iStockphoto/Kayoko Hayashi
Jogja -

Seorang wanita warga Jogja bernama Puspa (bukan nama sebenarnya) menceritakan kisahnya setelah menjadi korban perdagangan manusia di Kamboja. Selama di Kamboja, Puspa dipekerjakan sebagai penipu online atau online scammer yang menargetkan warga Indonesia.

Ditawari Kerja di Thailand

Dia bisa terjerat menjadi korban tindak pidana perdagangan manusia (TPPO) karena tertipu lowongan pekerjaan. Awalnya, dia mencari lowongan pekerjaan di media sosial yang bisa menerima pekerja tanpa pengalaman.

"Saya cari pekerjaan di sosial media Facebook. Saya memposting saya bisa kerja, apa pengalaman saya. Lalu ada seorang wanita yang inbox ke Facebook saya," jelas Puspa melalui keterangan tertulis yang dibagikan Pemda DIY, Jumat (18/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dia menawarkan pekerjaan awalnya di Macau. Lalu saya tukeran nomor WhatsApp. Kita hubungannya lewat WhatsApp, telepon-teleponan, WhatsApp-an, dan sempat video call juga. Kita intens satu bulan penuh kita berhubungan," paparnya.

Wanita yang menawarinya pekerjaan itu mengaku punya restoran di Thailand. Puspa ditawari kerja sebagai staf dapur dengan gaji 900 dolar.

ADVERTISEMENT

Dokumen dan visa kerja pun dijanjikan akan diurus di negara tersebut. Namun tiket yang diberikan bukan ke Thailand.

Diselundupkan ke Kamboja Lewat Vietnam

"Saya bertanya, kenapa saya dibelikan tiket ke Ho Chi Minh (Vietnam), kenapa tidak ke Thailand langsung. Tapi ia bilang untuk tenang dan percaya saja. Dari Ho Chi Minh, saya dijemput seorang pria menggunakan motor untuk menuju ke Kamboja. Tapi itu saya belum tahu kalau mau dibawa ke Kamboja," ujarnya.

Sampai di Kamboja, Puspa tak lagi bisa menghubungi wanita yang mengaku bos restoran itu. Dia justru dibawa ke pasar oleh orang yang berbeda. Ia melihat seorang pria memberikan uang ke orang yang membawanya.

Kemudian Puspa dibawa ke sebuah gedung apartemen lalu dimasukkan ke ruangan berisi sekitar 45 pria yang bekerja menggunakan komputer. Ia yang kebingungan kemudian bertanya pada salah satu orang di sana.

Dipekerjakan Jadi Scammer

Puspa akhirnya dipekerjakan sebagai scammer atau penipuan online. Kata Puspa, pemilik tempat scammer itu orang Tiongkok yang berkantor di Kamboja, dan sengaja mempekerjakan orang Indonesia untuk menargetkan korban orang Indonesia.

"Kamu tipulah banyak-banyak orang Indonesia. Kamu tidak akan bisa dipenjara. Dan jika kamu tidak bisa menipu, kamu akan merasakan denda atau hukuman. Begitu yang mereka katakan," ujarnya.

Puspa menceritakan, di sana bekerja dalam sistem tim yang terdiri dari CS, resepsionis, dan mentor. Leader akan membagi link ke resepsionis dan CS. CS akan mengolah, menawarkan iklan dan segala hal, serta memberikan komisi awal sebesar Rp 18 ribu atau Rp 22 ribu.

Para korban diarahkan untuk mengunduh aplikasi dari Google bukan Play Store, lalu diminta top up secara bertahap, Rp 110 ribu, Rp 160 ribu, Rp 180 ribu, dan seterusnya. Korban dijanjikan bisa menarik dana dengan bimbingan dari admin yang tampak profesional.

Ditarget Ratusan Juta Sebulan

Dalam sebulan, Puspa ditargetkan menipu hingga Rp 300 juta. Jika hanya mendapat separuh, ia hanya menerima 50% gaji. Jika hanya Rp 100 juta, ia tidak digaji.

Ia awalnya memang mendapat gaji USD 800. Namun, uang itu harus dipotong denda dan ia tidak tahu pasti berapa yang ia terima. Puspa juga harus menerima hukuman bila tak memenuhi target.

"Risiko yang kita alami, kita bisa disetrum, atau dilempar dari lantai tiga, dan itu sudah teman saya alami. Kita bisa dipukuli satu kantor. Setiap kita masuk ke ruangan bos, di situ sudah ada setrum, pistol, dan tongkat panjang," ungkapnya.

Selain itu, kata Puspa, jam kerja juga tak masuk akal, yakni dimulai dari pukul 9 pagi sampai 12 malam. Jika terlambat, tentu akan didenda USD 10.

"Denda yang kita alami itu seperti ke toilet lebih dari 6 kali, didenda USD 10. Melebihi batas maksimal di toilet 10 menit, didenda USD 10. Tidur atau memejamkan mata sebentar, didenda USD 50 atau Rp750.000. Telat kerja juga kena denda. Tidak boleh buka YouTube atau aplikasi lain, komputer hanya untuk kerja," jelasnya.

Menurutnya, pekerja di sana juga bisa dijual ke perusahaan lain bila dianggap tak berguna. Skema inilah yang menurutnya menjadi ketakutan terbesar para korban TPPO. Tidak hanya soal gaji, untuk makan pun tidak manusiawi.

"Kita diberi makan, tapi yang harus dimakan itu saren, babi, katak. Dan kita tidak punya pilihan lain," ungkapnya.

Puspa mengaku sudah berusaha menghubungi KBRI untuk minta dievakuasi, namun statusnya sebagai PMI ilegal menyulitkannya. Ia ditahan selama satu bulan di imigrasi Kamboja sambil menunggu deportasi.

Puspa kini telah kembali ke Indonesia. Meski sempat tertekan, ia tetap berupaya mencari bantuan. Dari BP3MI, Puspa diarahkan ke Dinas Sosial DIY.

"Saya dibantu semuanya dari mental, kebutuhan hidup, kebutuhan pangan pun saya dibantu sampai saat ini. Di situ saya mendapatkan bantuan pendampingan psikiater, pengobatan untuk biaya perobatan saya, makan, dan lainnya," ungkapnya.

"Saya ingin membahagiakan keluarga tanpa harus bekerja di luar negeri, tapi berkarya di sini," pungkas Puspa.




(afn/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads