Jogja -
Dari sekian bangunan cagar budaya di Jogja, tak banyak yang mengetahui soal Babon ANIEM. Bangunan berbentuk balok ini merupakan bekas gardu listrik yang dibangun pemerintah kolonial Belanda.
Babon ANIEM menjadi saksi bisu sejarah adanya listrik di Jogja pertama kali pada abad ke-20 atau sekitar tahun 1914.
Dikutip dari laman resmi Dinas Kebudayaan Kota Jogja, ANIEM merupakan singkatan dari Algemene Nederlandsch Indische Electrisch Maatscapij, yaitu perusahaan swasta yang menyediakan listrik di Hindia Belanda pada masanya. Pamong Budaya Dinas Kebudayaan Kota Jogja, Yunanto Eka Prabowo, menuturkan Babon ANIEM tersebar di seluruh wilayah di Indonesia dengan bentuk bangunan yang berbeda-beda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu kan perusahaan listrik pada zaman itu, di setiap kota ada. Dari bangunannya ada beberapa tipe. Tipe yang hanya satu, kemudian ada yang kotak memanjang seperti di ABA (Abu Bakar Ali,red). Itu tergantung muatan atau seberapa besar kebutuhan listrik di setiap daerah," ujar Yunanto saat diwawancara detikJogja, di Kantor Dinas Kebudayaan Kota Jogja, Selasa (17/10/2023).
3 Babon ANIEM di Jogja Jadi Cagar Budaya
Ada tiga babon ANIEM di Jogja yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Ketiga babon ANIEM itu yakni di Kotabaru, Jalan Abu Bakar Ali, dan dekat Pasar Legi Kotagede. Saat ini, perawatan dan pengelolaan ketiganya dilakukan oleh PLN dengan dibantu Disbud Kota Jogja.
"Sebenarnya asetnya kan juga aset PLN. Yang memelihara PLN, tapi kita juga memberikan arahan. Mungkin ada kayu-kayu yang rusak atau dalamnya seperti apa, Itu kita memberikan arahan seperti apa warnanya, atapnya yang di Kotabaru itu pakai kayu apa, catnya cat apa," kata Yunanto.
Jika diperhatikan, bangunan Babon ANIEM yang ada di Kotagede terlihat kurang terawat apabila dibandingkan dengan yang ada di Kotabaru dan Jalan Abu Bakar Ali. Yunanto mengakuinya dan memaparkan sulitnya perawatan Babon ANIEM Kotagede lantaran lokasinya yang berada di dekat pasar.
"Perlakuannya jelas mungkin sedikit berbeda karena yang di Kotagede itu berdekatan dengan pasar, jadi pengendaliannya agak sedikit susah. Untuk yang di ABA sama Kotabaru itu kita sudah memberikan sedikit perlakuan di situ," jelasnya.
Disbud Kota Jogja juga telah menyediakan papan deskripsi mengenai Babon ANIEM di Kotabaru dan Abu Bakar Ali, serta melakukan pemeliharaan di kedua bangunan tersebut.
"Itu diberikan papan informasi Babon ANIEM. Kemudian taman juga dipercantik, pengecatan juga. Yang di Kotabaru paling baru itu bulan Agustus, kita memberikan permohonan kepada PLN untuk melakukan pengecatan karena sebelumnya ada vandalisme di situ," jelas dia.
Babon ANIEM ini merupakan cagar budaya yang menyimpan kisah pemasangan jaringan listrik era Kolonial. Foto diunggah Senin (23/10/2023) Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja |
Dibangun di Kawasan Elite-Pusat Kota
Budayawan sekaligus Ketua Dewan Penasihat BPKCB Kotagede, Achmad Charris Zubair (71), menyebut pembangunan Babon ANIEM di Kotagede, Kotabaru, dan Abu Bakar Ali karena dulunya kawasan itu merupakan permukiman elite dan pusat pemerintahan di masa itu.
"Disebut Babon ANIEM karena di situ pusat instalasi listrik masa itu, untuk mendistribusikan (listrik). Dan yang tiga itu di tempat-tempat masa lalu yang merupakan wilayah-wilayah elite. Kotabaru nggone londo-londo (orang kulit putih), Kotagede nggone sing sugih-sugih (kaya). Kemudian Abu Bakar Ali tempat-tempat kayak kepatihan kan di situ, di Malioboro yang sekarang jadi Hotel (Inna) Garuda," jelas Zubair.
Selengkapnya di halaman berikut.
Zubair menyebut listrik pun sempat menjadi barang mewah dan langka karena hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmatinya. Pada zaman itu, Kotagede menjadi kawasan terkaya di Jawa Tengah sehingga banyak rumah-rumah yang sudah teraliri oleh listrik.
"Waktu itu yang jelas kalau dari lokasinya orang-orang yang punya uang buat bayar (listrik). Sebab tahun itu listrik masih barang langka, tahun 1914 itu masih barang langka. Voltasenya aja masih 110," kata Zubair.
"Kenapa di Kotagede? Karena di tahun-tahun itu wilayah terkaya di Jawa Tengah dibuktikan dengan rumah-rumah besar, rumah-rumah mewah terbangun. Rumah-rumah besar di Tegal Gendu dan beberapa tempat lain itu kan 1930 (dibangun) yang menunjukkan rumah itu dibangun oleh wong sugih, makanya ada listrik," lanjutnya.
Lain halnya dengan kawasan Abu Bakar Ali yang berada di dekat Jalan Malioboro. Di sana banyak berdiri bangunan-bangunan penting seperti Gedung Marlborough, Loji Gede, Benteng Vredeburg, dan stasiun yang membutuhkan listrik.
"(Babon ANIEM) Abu Bakar Ali kan ada gedung-gedung penting, mulai dari jalur Malioboro, Margo Mulyo, gedung-gedung penting ada di situ. Stasiun, Gedung Marlborough yang jadi DPRD DIY, Gedung Agung dulu Loji Gede tempat residen, Benteng Vredeburg, tapi ya sekarang ya sudah berubah," ucapnya.
Sementara itu, kawasan Kotabaru merupakan kawasan elite permukiman Belanda pada masa itu. Oleh karenanya tata kota mulai dari arsitektur, tata ruang kental dengan nuansa Eropa.
"Kalau Kotabaru kan kawasan elite, memang dibangun oleh Belanda, tata ruang sangat Eropa kan," ujar Zubair.
Rumah pribadi Zubair sendiri merupakan salah satu rumah yang mendapat fasilitas listrik paling awal di kawasan Kotagede. Pada waktu itu, beberapa rumah lainnya juga sudah terdapat listrik.
"Ya saya denger dari ayah saya dari (tahun) 1920 listrik sudah masuk rumah saya, instalasinya masih ada kok. Ada beberapa rumah (yang terdapat listrik), tapi (rumah) ini termasuk yang paling awal, ya saya pikir karena punya uang (dapat memiliki fasilitas listrik)," ujar Zubair.
Namun, penggunaan listrik pada waktu itu hanya digunakan untuk penerangan saja. Alat komunikasi seperti radio masih jarang digunakan pada periode waktu tersebut.
"Dan listrik waktu pertama (muncul) untuk penerangan, lampunya cuma 5-10 watt. Radio paling jarang, (penggunaan) gramofon paling tahun 30-an," kata budayawan tersebut.
Total ada tiga Babon ANIEM di Jogja yakni di Abu Bakar Ali, Kotagede, dan Kotabaru. Ketiga kawasan ini dulunya merupakan permukiman elite dan pusat kota sehingga menjadi daerah teraliri listrik pertama pada 1914 silam. Foto diunggah Senin (23/10/2023). Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja |
Sementara bagi rumah yang tidak terdapat listrik, sistem penerangannya menggunakan lampu minyak atau lampu teplok.
"Yo lampu minyak, teplok," ucapnya menambahkan.
Penggunaan Listrik Masif di Era 1980
Dia mengenang penggunaan listrik secara masif terjadi di tahun 1980-an. Saat itu sudah ada televisi dan perabot rumah tangga yang menggunakan listrik. Voltase 110 peninggalan Belanda juga telah berganti menjadi 220 watt untuk semua rumah.
"Listrik masih yo akhir-akhir ini, pokoknya zaman kemerdekaan, tahun '45 pun masih pake listrik tinggalan Belanda. Saya kecil masih inget pake voltase yang 110-an kok. Baru tahun 80-an listrik jadi 220, semua instalasi diganti. Tahun 80-an TV ada, setrika listrik udah ada, radio udah di mana-mana," ujar dia.
Ketika daerah-daerah lain masih menggunakan lampu minyak, ketiga wilayah Babon ANIEM tersebut telah mendapatkan aliran listrik untuk kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu, Zubair berharap agar Babon ANIEM dapat terus dirawat, terutama sebagai ikon penanda perkembangan teknologi di Jogja.
"Babon ANIEM kan salah satu penanda zaman, bangunan yang bisa jadi tanda ada dinamika teknologi yang di masa lalu yang canggih. Apalagi kita tahu persis dari tiga posisi Babon ANIEM kan posisi yang elite. Wilayah-wilayah lain di Jogja paling dhuwur itu petromaks. Saya kira bangunan Babon ANIEM harus kita rawat dalam rangka ada dinamika teknologi, ada perkembangan, sekarang paling kuno, jaman mbiyen yo ampuh," harapnya.
Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Jihan Nisrina Khairani Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.
Komentar Terbanyak
Amerika Minta Indonesia Tak Balas Tarif Trump, Ini Ancamannya
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa
Catut Nama Bupati Gunungkidul untuk Tipu-tipu, Intel Gadungan Jadi Tersangka