Kisah Babon ANIEM, Saksi Bisu Masuknya Jaringan Listrik di Jogja

Kisah Babon ANIEM, Saksi Bisu Masuknya Jaringan Listrik di Jogja

Mahendra Lavidavayastama, Jihan Nisrina Khairani - detikJogja
Senin, 23 Okt 2023 18:34 WIB
Total ada tiga Babon ANIEM di Jogja yakni di Abu Bakar Ali, Kotagede, dan Kotabaru. Ketiga kawasan ini dulunya merupakan permukiman elite dan pusat kota sehingga menjadi daerah teraliri listrik pertama pada 1914 silam. 

Foto diunggah Senin (23/10/2023).
Babon ANIEM di Abu Bakar Ali Jogja (Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja)

Zubair menyebut listrik pun sempat menjadi barang mewah dan langka karena hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmatinya. Pada zaman itu, Kotagede menjadi kawasan terkaya di Jawa Tengah sehingga banyak rumah-rumah yang sudah teraliri oleh listrik.

"Waktu itu yang jelas kalau dari lokasinya orang-orang yang punya uang buat bayar (listrik). Sebab tahun itu listrik masih barang langka, tahun 1914 itu masih barang langka. Voltasenya aja masih 110," kata Zubair.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kenapa di Kotagede? Karena di tahun-tahun itu wilayah terkaya di Jawa Tengah dibuktikan dengan rumah-rumah besar, rumah-rumah mewah terbangun. Rumah-rumah besar di Tegal Gendu dan beberapa tempat lain itu kan 1930 (dibangun) yang menunjukkan rumah itu dibangun oleh wong sugih, makanya ada listrik," lanjutnya.

Lain halnya dengan kawasan Abu Bakar Ali yang berada di dekat Jalan Malioboro. Di sana banyak berdiri bangunan-bangunan penting seperti Gedung Marlborough, Loji Gede, Benteng Vredeburg, dan stasiun yang membutuhkan listrik.

ADVERTISEMENT

"(Babon ANIEM) Abu Bakar Ali kan ada gedung-gedung penting, mulai dari jalur Malioboro, Margo Mulyo, gedung-gedung penting ada di situ. Stasiun, Gedung Marlborough yang jadi DPRD DIY, Gedung Agung dulu Loji Gede tempat residen, Benteng Vredeburg, tapi ya sekarang ya sudah berubah," ucapnya.

Sementara itu, kawasan Kotabaru merupakan kawasan elite permukiman Belanda pada masa itu. Oleh karenanya tata kota mulai dari arsitektur, tata ruang kental dengan nuansa Eropa.

"Kalau Kotabaru kan kawasan elite, memang dibangun oleh Belanda, tata ruang sangat Eropa kan," ujar Zubair.

Rumah pribadi Zubair sendiri merupakan salah satu rumah yang mendapat fasilitas listrik paling awal di kawasan Kotagede. Pada waktu itu, beberapa rumah lainnya juga sudah terdapat listrik.

"Ya saya denger dari ayah saya dari (tahun) 1920 listrik sudah masuk rumah saya, instalasinya masih ada kok. Ada beberapa rumah (yang terdapat listrik), tapi (rumah) ini termasuk yang paling awal, ya saya pikir karena punya uang (dapat memiliki fasilitas listrik)," ujar Zubair.

Namun, penggunaan listrik pada waktu itu hanya digunakan untuk penerangan saja. Alat komunikasi seperti radio masih jarang digunakan pada periode waktu tersebut.

"Dan listrik waktu pertama (muncul) untuk penerangan, lampunya cuma 5-10 watt. Radio paling jarang, (penggunaan) gramofon paling tahun 30-an," kata budayawan tersebut.

Total ada tiga Babon ANIEM di Jogja yakni di Abu Bakar Ali, Kotagede, dan Kotabaru. Ketiga kawasan ini dulunya merupakan permukiman elite dan pusat kota sehingga menjadi daerah teraliri listrik pertama pada 1914 silam. Foto diunggah Senin (23/10/2023).Total ada tiga Babon ANIEM di Jogja yakni di Abu Bakar Ali, Kotagede, dan Kotabaru. Ketiga kawasan ini dulunya merupakan permukiman elite dan pusat kota sehingga menjadi daerah teraliri listrik pertama pada 1914 silam. Foto diunggah Senin (23/10/2023). Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja

Sementara bagi rumah yang tidak terdapat listrik, sistem penerangannya menggunakan lampu minyak atau lampu teplok.

"Yo lampu minyak, teplok," ucapnya menambahkan.

Penggunaan Listrik Masif di Era 1980

Dia mengenang penggunaan listrik secara masif terjadi di tahun 1980-an. Saat itu sudah ada televisi dan perabot rumah tangga yang menggunakan listrik. Voltase 110 peninggalan Belanda juga telah berganti menjadi 220 watt untuk semua rumah.

"Listrik masih yo akhir-akhir ini, pokoknya zaman kemerdekaan, tahun '45 pun masih pake listrik tinggalan Belanda. Saya kecil masih inget pake voltase yang 110-an kok. Baru tahun 80-an listrik jadi 220, semua instalasi diganti. Tahun 80-an TV ada, setrika listrik udah ada, radio udah di mana-mana," ujar dia.

Ketika daerah-daerah lain masih menggunakan lampu minyak, ketiga wilayah Babon ANIEM tersebut telah mendapatkan aliran listrik untuk kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu, Zubair berharap agar Babon ANIEM dapat terus dirawat, terutama sebagai ikon penanda perkembangan teknologi di Jogja.

"Babon ANIEM kan salah satu penanda zaman, bangunan yang bisa jadi tanda ada dinamika teknologi yang di masa lalu yang canggih. Apalagi kita tahu persis dari tiga posisi Babon ANIEM kan posisi yang elite. Wilayah-wilayah lain di Jogja paling dhuwur itu petromaks. Saya kira bangunan Babon ANIEM harus kita rawat dalam rangka ada dinamika teknologi, ada perkembangan, sekarang paling kuno, jaman mbiyen yo ampuh," harapnya.

Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Jihan Nisrina Khairani Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.


(ams/ahr)

Hide Ads