Kelompok Penambang Progo (KPP) mengeluhkan rencana penertiban tambang pasir di Kali Progo. Mereka juga mengaku keberatan jika harus mengajukan izin penambangan rakyat (IPR), karena terkendala larangan menggunakan alat penyedot yang dinilai kurang manusiawi.
Ketua KPP, Yunianto, mengakui bila sebagian anggotanya memang tak memiliki izin untuk menambang pasir di Kali Progo. Dia mengeluhkan prosedur pengajuan IPR yang saat ini terbilang sulit karena regulasi dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) berubah-ubah.
Padahal, sebagai penambang rakyat pihaknya memerlukan IPR sebagai legalitas penambangan pasir di Sungai Progo. Saat ini, hanya 32 dari 98 kelompok yang memiliki IPR.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anggota KPP yang mempunyai IPR resmi ada 32 izin, itu keluar 2019 dan 2020, tapi karena IPR hanya berlaku 5 tahun Februari IPR sudah mati. Tapi teman-teman tidak mau memperpanjang, karena rekomtek penggunaan pompa mekanik dihapus," ucapnya kepada wartawan di Sedayu, Bantul, Kamis (13/3/2025).
"Jadi kalau mau memperpanjang IPR kami harus menambang pasir secara manual pakai serok dan pacul itu. Menurut kami penambangan pasir secara manual tidak manusiawi," lanjut Yunianto.
![]() |
Oleh sebab itu, KPP menuntut Pemda DIY mempermudah IPR dan memberikan rekomtek penggunaan alat mekanik. Bahkan, jika tuntutan tidak terpenuhi KPP akan melakukan aksi setelah lebaran.
"Kalau pemerintah provinsi tidak mengabulkan permintaan rekomtek alat mekanik dalam IPR kita akan gerudug kantor Gubernur DIY, kita mau membuktikan apakah tahta untuk rakyat itu masih ada. Terus kalau masih tidak menemukan titik terang kita akan menggugat ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)," katanya.
"Jadi 98 itu dikalikan saja lima orang, hampir 500 orang yang terdampak dan itu meliputi Bantul sampai Kulon Progo," ujarnya.
Sementara ini, Yunianto mengaku sudah tak lagi melakukan aktivitas penambangan imbas adanya rencana penertiban. Dia menyebut sejak Menteri PU bilang akan melakukan penertiban, para penambang sudah menghentikan aktivitas.
"Saat ini kita nganggur, nganggur massal. Kita mulai off (berhenti) sejak satu hari setelah ada statment Menteri PU, padahal ini mau lebaran," katanya.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, menyebut salah satu penyebab rusaknya groundsill seperti di Srandakan, Bantul, akibat masifnya penambangan pasir. Karena itu, Dody ingin mengkaji peruntukan penambangan pasir untuk rakyat, bukan pengusaha besar.
"Kita lagi mengkaji apakah perlu, tapi rasanya harus perlu penambangan itu rakyat aja, tidak boleh pengusaha besar. Sehingga efek ke lingkungannya itu masih bisa terkendali, tidak seperti sekarang ini," kata Dody kepada wartawan di Srandakan, Bantul, Senin (27/1).
Pasalnya, penambangan pasir yang berlebihan, khususnya menggunakan mesin sedot, mengakibatkan aliran sungai semakin kencang dari hulu menuju hilir. Apalagi jika di hilir juga terjadi penambangan pasir.
"Ini kan karena akibat penambangan terlalu berlebihan kemudian mengakibatkan kerusakan masif ke sungai. Ujung-ujungnya menghantam semua bangunan di samping sungai," ucapnya.
Karena itu, Dody menyebut perlu ada penertiban penambangan pasir khususnya di hilir. "Di hilir. Airnya kan makin kencang kalau sana turun, ya harus ditertibkan lah," ujarnya.
(afn/ahr)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang
PDIP Bawa Koin 'Bumi Mataram' ke Sidang Hasto: Kasus Receh, Bismillah Bebas