Sumber air Tuk Dungsono di Padukuhan Plumbungan, Kalurahan Putat, Kapanewon Patuk, Kabupaten Gunungkidul dipercaya pernah menjadi tempat salah satu Wali Songo, Sunan Kalijaga mengambil wudu.
Dari pantauan detikJogja di lokasi pada Minggu (4/2/2024), mata air itu terletak di pinggir sungai Kedung Sono. Airnya mengalir dari sepotong bambu yang tertancap di batu tebing yang tingginya sekitar 2,5 meter.
Terdapat atap dari seng yang menaungi sumber itu. Air dari sumber tersebut tampak bening, kontras dengan air di sungai yang berwarna nyaris seputih susu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di bawah aliran air itu terdapat sebuah ember biru berukuran kurang lebih 50 liter. Dari permukaan ember hingga ke atas tebing terdapat dua ruas paralon.
Dua ruas paralon itu tersambung melalui sebuah mesin pompa air. Saat detikJogja mencoba meminum air tersebut terasa segar dan tidak berbau
Tampak seorang warga sekitar dengan anaknya sedang mengambil air dari sumber tersebut menggunakan galon berkapasitas 15 liter.
Warga itu bernama Gunawan (41). Ia menuturkan jika mata air itu dipercaya pernah menjadi tempat wudu Sunan Kalijaga.
"Katanya sumber di sini dulunya tempat wudunya Sunan Kalijaga. Tapi saya tidak paham betul bagaimana ceritanya," ungkap Gunawan kepada detikJogja saat ditemui di lokasi, Minggu (4/2/2024).
Ia mengatakan biasa mengambil air bersih untuk dikonsumsi di sumber tersebut. "Sehari-harinya biasa ambil air di sini buat minum sama memasak," katanya.
![]() |
Muncul Saat Sunan Kalijaga Hendak Tunaikan Salat
Dukuh Plumbungan, Sulistyo, menuturkan sumber air tersebut dipercaya muncul ketika Sunan Kalijaga hendak menunaikan salat saat berada di wilayah tersebut. Saat itu, kata Sulistyo, cuaca sedang kemarau.
"Dulu kan gini cerita yang kami yakni, Sunan Kalijaga sama muridnya nyari air untuk wudu pas musim kemarau tapi tidak ada air. Akhirnya Sunan Kalijaga nyari di sana. Dia memasukkan telunjuknya di batu itu (lalu muncullah mata air tersebut)," jelas Sulistyo saat ditemui di Padukuhan Plumbungan, Minggu (4/2/2024).
Mata air itu, jelas Sulistyo, dikenal sebagai Tuk Dungsono karena dulunya sungai tersebut dipenuhi oleh pohon Sonokeling.
"Karena di tempat itu banyak Sonokeling dulunya akhirnya akhirnya dikasih nama sama warga Kedung Sono atau Tuk Dungsono," terangnya.
Usai muncul mata air itu, kata Sulistyo, Sunan Kalijaga bersama muridnya menunaikan salat di sungai tidak jauh dari sumber air yang saat itu sedang kering. Sulistyo menjelaskan posisi sungai tempat Sunan Kalijaga salat berada di atas sumber dan tepat menghadap ke kiblat.
"(Sungai) Di atas itu ada batu yang rata menghadap ke kiblat. Pas menghadap kiblat bener," katanya.
Pada awalnya, Sulistyo mengungkapkan sumber air itu tidak diberi bambu. Diameter lubangnya, tutur Sulistyo, dulunya hanya sebesar telunjuk orang dewasa.
"Awalnya nggak dikasih bambu, sekarang dikasih untuk ambil air. Dulu besarnya setelunjuk jari. Besar mungkin faktor air," terangnya.
Pada saat gempa di Jogja tahun 2006 silam, Sulistyo menceritakan banyak sumber air di wilayahnya yang mati. Namun tidak dengan sumber air Tuk Dungsono.
"Dulu gempa tahun 2006 itu banyak yang mati sumber di sini. Dan itu (Tuk Dungsono) yang belum berubah sampai sekarang," terangnya.
"Sekarang dimanfaatkan untuk air minum yang deket sini. Tidak pernah macet, airnya stabil meskipun kemarau," lanjutnya.
Kini, jelas Sulistyo, banyak masyarakat yang tidak paham akan cerita yang dipercaya tersebut. Ia mendapat cerita tersebut sewaktu kecil dari kakeknya.
"Kalau sekarang masyarakat sudah hampir nggak paham. Dulu mbah yang cerita sebelum tidur. Mbah saya dulu dukuh kedua yang pertama itu bapaknya si mbah," ungkapnya.
Di Tuk Dungsono, terdapat tradisi yang kini sudah hilang di masyarakat setempat. Apa itu? Silakan baca di halaman berikut
Tradisi yang Hilang di Tuk Dungsono
Sulistyo melanjutkan, terdapat tradisi di mana masyarakat banyak menaruh barang berupa pisang hingga uang di mata air itu. Hal itu dilakukan saat masyarakat usai menunaikan hajatnya.
"Dulu pas punya hajat biasanya masyarakat meletakkan barang-barang di sana seperti pisang, uang, sama hasil bumi lainnya. Tetapi sekarang sudah tidak," katanya.
Mata air itu, jelas Sulistyo, dulu dipercaya bisa mengobati berbagai macam penyakit. "Dulu juga dipercaya bisa dibuat ngobati penyakit pas saya masih kecil," jelasnya.
![]() |
Cerita Mbah Santri, Murid Sunan Kalijaga
Saat Sunan Kalijaga ke wilayah Padukuhan Plumbungan, kata Sulistyo, seorang muridnya tinggal untuk menyebarkan ajaran Islam. Murid Sunan Kalijaga tersebut, kata Sulistyo, dikenal sebagai Mbah Santri.
"Akhirnya muridnya itu tinggal di sini untuk mengajar ilmu agama. Kami kenal dengan Mbah Santri dan orang-orang mendalami ilmu agama (dari Mbah Santri)," katanya.
Waktu itu, jelas Sulistyo, agama Islam masih belum tersiar di wilayahnya. "Waktu itu Islam belum ada. Pengajar islam pertama di sini itu Mbah Santri," jelasnya.
Mbah Santri, ungkap Sulistyo, meninggalkan sehelai sorban dan sebuah tongkat. Dua benda tersebut, kata Sulistyo, kini dikubur di tempatnya mengajar.
"Sampai sekarang masih ada jejaknya. Isinya sorban sama tongkat dikubur. Nggak ngerti kalau (Mbah Santri) kapan tidak di sini lagi," tuturnya.
Pantauan detikJogja di lokasi, petilasan Mbah Santri tidak jauh dari mata air Tuk Dungsono, sekitar 500 meter. Tempat itu terletak di samping permukiman warga.
Petilasan itu berbentuk sebuah gubuk kecil berukuran sekitar 2 meter persegi. Di dalamnya terdapat empat helai kain putih yang tergantung di bawah atap dan gundukan tanah dikelilingi tembok setinggi 10 cm berbentuk U.
Gundukan itu tertutup sehelai kain putih. Terlihat teras yang menutupi gundukan pecah.
Komentar Terbanyak
Ternyata Ini Sumber Suara Tak Senonoh yang Viral Keluar dari Speaker di GBK
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa