Tradisi Slametan Ariyaya menjelang Idul Fitri masih dilestarikan oleh masyarakat di Dusun Rejosari, Kapanewon Ngawis, Gunungkidul. Tradisi ini diyakini merupakan peninggalan wali sanga.
Tokoh agama di Dusun Rejosari, Sumanto, menjelaskan Slametan Ariyaya atau yang dalam Bahasa Indonesia berarti Selamatan Hari Raya. Ini merupakan tradisi yang rutin digelar di Dusun Rejosari sebelum berbuka puasa pada hari terakhir bulan Ramadan atau pada malam menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Pada zaman dahulu, Slametan Ariyaya dilakukan oleh sesepuh desa yang mendatangi warga dari rumah ke rumah. Setelah berganti zaman, tradisi ini dilakukan di musala desa setempat dan diiringi dengan doa-doa sebagai rasa syukur menutup bulan Ramadan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya dulu memang dari simbah-simbah dari rumah ke rumah. Ini modelnya kenduri pakai tumpeng, tapi sekarang lebih simpel karena mengikuti zaman dan rata-rata dilakukan di musala atau masjid saja sambil berdoa," ujar Sumanto saat ditemui detikJogja di lokasi, Sabtu (29/3/2025).
"Selalu rutin dilaksanakan, rata-rata banyak dusun di Kalurahan Ngawis yang masih melestarikan tradisi ini. Kalau di Rejosari sendiri, Slametan Ariyaya digelar di masjid atau musala, tapi beberapa dusun ada yang masih menggelar dari rumah ke rumah," tambahnya.
Sumanto turut menjelaskan sejarah Slametan Ariyaya yang sangat kental dengan penyebaran Islam, tepatnya pada zaman wali sanga. masyarakat Jawa pada masa itu sering menggunakan tumpeng sebagai sesajen. Agar bisa masuk ke kebudayaan Jawa, Slametan Ariyaya disisipi dengan nilai Islam, sehingga timbul akulturasi budaya.
"Slametan Ariyaya dimasuki nilai-nilai Islam, dibaur dengan doa-doa Islam dan dikaitkan dengan Ramadan," tuturnya.
"Akhirnya para Wali Songo membuat trik seperti itu dengan memasukkan nilai-nilai Islam agar bisa diterima oleh masyarakat Jawa," kata Sumanto.
Slametan Ariyaya pada dasarnya merupakan kenduri di mana warga setempat membawa nasi dengan sayur seperti gudangan atau urap, dan lauk pauk. Tak lupa juga ada kue apem yang menjadi simbol maaf dalam masyarakat Jawa.
"Setiap rumah tangga membawa macam-macam lauk pauk, umumnya pasti ada gudangan urap, sayur lombok, sama apem. Kalau gudangan urap itu simbolnya bersatu yaitu semua manusia itu bersatu dan sama di hadapan Allah. Kalau apem artinya maaf yaitu memohon maaf kepada Sang Pencipta," kata Sumanto.
"Namun, semua itu dalam artian umum saja. Apapun yang dibawa untuk kenduri itu semampunya saja," jelasnya.
Sumanto turut berharap, tradisi ini tidak terputus ke depannya. Di Dusun Rejosari sendiri, banyak anak muda yang ikut mempersiapkan kenduri dan ikut Slametan Ariyaya menjelang Idul Fitri.
"Yang jelas suatu saat generasi muda masih mungkin untuk melestarikan tradisi ini, hanya saja bakal mengikuti perkembangan zaman. Saat ini, di dusun sini anak muda masih membantu menyiapkan makanan dan kadang ada yang ikut kenduri," pungkas Sumanto.
(apl/ams)
Komentar Terbanyak
Kanal YouTube Masjid Jogokariyan Diblokir Usai Bahas Konflik Palestina
Israel Ternyata Luncurkan Serangan dari Dalam Wilayah Iran
BPN soal Kemungkinan Tanah Mbah Tupon Kembali: Tunggu Putusan Pengadilan