Blangkon merupakan penutup kepala yang terbuat dari kain batik dan digunakan oleh kalangan pria sebagai kelengkapan dari pakaian tradisional Jawa. Selain sebagai penutup kepala, blangkon yang dipakai juga menunjukkan strata sosial pemakainya di kalangan masyarakat.
Konon, blangkon digunakan sebagai simbol untuk membedakan antara kaum bangsawan keraton dan masyarakat biasa yang umumnya hanya menggunakan iket sebagai penutup kepala. Orang Jawa beranggapan jika kaum laki-laki memiliki arti penting, sehingga pelindung kepala pria menjadi yang diutamakan.
Lantas apa makna filosofi dari blangkon dalam penggunaan sehari-hari? Simak penjabarannya berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Blangkon
Mengutip dari jurnal berjudul 'Blangkon dan Kaum Pria Jawa' karya Anugrah Cisara, pada zaman dahulu blangkon bernama Iket yang fungsinya sama dengan Blangkon, yakni digunakan di kepala. Iket terdiri atas motif batik tertentu dan cara menggunakannya dililit dan dibentuk sedemikian rupa.
Blangkon menjadi simbol tersendiri bagi kaum pria yang hidup di Jawa. Di balik bentuknya yang sederhana, blangkon memiliki makna yang tinggi. Makna keindahan dari blangkon itu sendiri, makna etika yang dapat dilihat dari kepribadian masyarakat Jawa pada masa itu.
Asal-usul nama blangkon berasal dari kata blangko yang berarti mencetak kosong, suatu nama yang diberikan pada berbagai jenis yang telah dicetak. Tidak ada catatan sejarah pasti kapan asal muasal dari keberadaan blangkon.
Iket blangkon telah digunakan dalam legenda Aji Saka, pencipta tahun Saka atau tahun Jawa 20 abad yang lalu ketika ia berhasil mengalahkan Dewata Cengkar hanya dengan menggelar penutup kepalanya yang kemudian dapat menutupi seluruh tanah Jawa.
Wujud Blangkon
Bentuk dari blangkon sendiri adalah berupa kain yang dibentuk rapi sebagai kopiah, ketu, udeng, bendo, destar. Kain yang digunakan sendiri berupa kain iket berbentuk persegi empat bujur sangkar berukuran 105 X 105 cm. Kain ini kemudian dilipat menjadi dua lalu menjadi segitiga dan kemudian dililitkan di kepala dan dibentuk sedemikian rupa.
Blangkon yang baik memiliki 14 hingga 17 wiru (lipatan) yang rapi di kanan dan kiri. Tanpa kesabaran dan ketelitian, mustahil blangkon dapat diselesaikan dengan pakem-pakem yang telah ada tentunya.
Tujuan Dibuatnya Blangkon
Baik blangkon dengan gaya Solo dan Jogja sama-sama memiliki tujuan sebagai pelindung kepala agar terhindar dari sinar matahari dan hujan, selain itu juga sebagai kelengkapan pakaian tradisional Jawa. Terakhir, blangkon digunakan sebagai wujud dari keindahan, bentuk dan motifnya merupakan satu kesatuan yang dikeluarkan oleh orang Jawa.
Filosofi Blangkon
Orang Jawa menilai jika blangkon yang awalnya digunakan untuk melindungi kepala memiliki nilai filosofi tinggi bagi mereka. Kepala, rambut, dan wajah adalah mahkota yang merupakan bagian terpenting dan terhormat bagi tubuh manusia.
Pada zaman dulu, kaum pria di Jawa memiliki kebiasaan berupa memanjangkan rambut. Namun tidak membiarkannya tergerai tidak beraturan melainkan digulung dan diikat dengan kain yang ujung kain itu diikatkan ke belakang. Rambut yang diikat dengan ikatan kain kemudian diikatkan ke belakang memiliki makna filosofis berupa peringatan untuk mengendalikan diri.
Kaum pria jawa dulu hanya menggerai rambutnya ketika berada di rumah atau dalam sebuah konflik, misal perang atau berkelahi. Dibukanya ikatan rambut yang berada di belakang kepala membuat rambutnya tergerai merupakan bentuk terakhir dari luapan emosi yang tak tertahan, sehingga iket atau blangkon menjadi bentuk pengendalian diri.
Demikian penjelasan singkat mengenai filosofi dan sejarah blangkon. Semoga bermanfaat Lur!
Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(dil/apl)
Komentar Terbanyak
Jokowi Berkelakar soal Ijazah di Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Blak-blakan Jokowi Ngaku Paksakan Ikut Reuni buat Redam Isu Ijazah Palsu
Tiba di Reuni Fakultas Kehutanan, Jokowi Disambut Sekretaris UGM