Cerita Watu Gilang Kotagede, Konon Singgasana Panembahan Senopati

Cerita Watu Gilang Kotagede, Konon Singgasana Panembahan Senopati

Mahendra Lavidavayastama, Jihan Nisrina Khairani - detikJogja
Senin, 30 Okt 2023 13:25 WIB
Lokasi Watu Gilang di dalam bangunan di tengan permukiman Kotagede, Jogja. Foto diunggah pada Senin (30/10/2023).
Lokasi Watu Gilang di dalam bangunan di tengah permukiman Kotagede, Jogja. Foto diunggah pada Senin (30/10/2023). Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja
Jogja -

Sebagai bekas ibu kota Kerajaan Mataram Islam, kawasan Kotagede memiliki berbagai benda peninggalan Panembahan Senopati atau sang pendiri kerajaan. Situs Watu Gilang merupakan salah satunya. Dulu, batu berbentuk segi empat ini dipercaya sebagai singgasana raja pertama Mataram Islam.

Berada di Gang Ayem, Purbayan, Kotagede, Watu Gilang ditempatkan di dalam sebuah rumah tertutup di tengah permukiman. Budayawan Jogja, Achmad Charris Zubair menceritakan Watu Gilang sebagai tempat duduk Panembahan Senopati sebelum akhirnya pusat kerajaan dipindahkan ke Pleret.

"Batu Gilang itu dulu diduga tempat singgasana Panembahan Senopati. Nah itu di pertengahan abad ke-17 kan Sultan Agung memindahkan Ibu Kota ke Pleret, tapi singgasana tetap di situ. Tapi kemudian Keraton runtuh jadi perkampungan, tapi tempat singgasana dirawat," kata Zubair saat ditemui detikJogja, Rabu (25/10/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tercatat dalam sejarah jika raja Mataram Islam yang bertakhta di Kotagede hanya sampai raja kedua. Periode Sultan Agung yang merupakan raja ketiga adalah masa transisi perpindahan kerajaan dari Kotagede menuju Pleret. Singgasana itu pun hanya digunakan hingga raja kedua saja, tetapi tetap dijaga dan dilestarikan.

"Ya itu tempat singgasana, selain raja nggak. Kalau tetap di situ sementara Sultan Agung pindah ya paling sampai Sultan Agung saja raja ketiga. Jadi Watu Gilang paling cuma diduduki tiga raja itu. Sultan Agung seterusnya bikin singgasana sendiri. Tapi saya kira lokasinya (Keraton Mataram) di situ karena toponimi Kotagede menunjukkan itu," kata mantan Ketua Dewan Kebudayaan Kota Jogja ini.

ADVERTISEMENT
Watu Gilang di Kotagede, Jogja. Foto diunggah pada Senin (30/10/2023).Watu Gilang di Kotagede, Jogja. Foto diunggah pada Senin (30/10/2023). Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja

Lanjutnya, Raja Mataram yang bersinggasana di Watu Gilang tidak serta-merta duduk di atas batu tersebut, melainkan terdapat kursi yang berada di atas batu tersebut sebagai singgasana raja.

"Ada kursi singgasana. Batu (jadi) alas terus di atasnya ada kursi kebesaran. (Raja bertakhta) Di atas kursi dan itu biasanya sebagaimana Keraton di Jogja untuk alas duduk raja di Siti Hinggil, satu lokasi di depan Keraton yang menghadap ke alun-alun dan itu memang dipakai untuk pisowanan," ucapnya.

Jika diperhatikan, ada lekukan pada Watu Gilang yang dipercaya sebagai tempat terbunuhnya Ki Ageng Mangir, musuh sekaligus menantu Panembahan Senopati. Namun, hal ini perlu dukungan empiris untuk mendukung cerita yang beredar tersebut.

"Watu Gilangnya itu Siti Hinggil tempat singgasana raja. Dikisahkan (Ki Ageng) Mangir itu dibunuhnya di situ, dijebleskan. Tapi, banyak temuan ilmiah yang mengatakan walau sesakti apa pun nggak mungkin legok seperti itu, mungkin sebagai penanda," ujar pria asli Kotagede ini.

Lebih lanjut, Zubair memaparkan jika terdapat tulisan di atas permukaan Watu Gilang. Ukiran tersebut dibuat dalam empat bahasa, yaitu Latin, Prancis, Belanda, dan Italia. Menurutnya, tulisan tersebut tidak seharusnya berada di atas peninggalan bersejarah.

"Di situ ada tulisan yang ditulis sama orang-orang Belanda. Ada empat bahasa, ada Italia, Prancis, Belanda, Latin, artinya dunia itu berputar dalam bahasa yang sama dan itu ditulis oleh orang Belanda. Itu sebetulnya bagian dari vandalisme juga, wong itu benda bersejarah kok," tuturnya.

Watu Gatheng, Konon Mainan Raden Rangga

Tak hanya Watu Gilang, peninggalan lain yang ada di tempat itu adalah Watu Gatheng yang dipercaya sebagai mainan dari Raden Rangga, putra dari Panembahan Senopati. Batu ini berwujud bulat dan memiliki berbagai variasi ukuran.

Watu Gatheng di kompleks situs Watu Gilang, Kotagede, Jogja. Foto diunggah pada Senin (30/10/2023).Watu Gatheng di kompleks situs Watu Gilang, Kotagede, Jogja. Foto diunggah pada Senin (30/10/2023). Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja

Meski begitu, ada penelitian yang menunjukkan jika batu ini bukan sebagai mainan seperti cerita yang beredar, melainkan peluru dari meriam raksasa Kyai Poncowuro milik Sultan Agung.

"Seperti Batu Gatheng yang bulet-bulet, kalau menurut abdi dalem dan mitos itu kan mainannya Raden Rangga, salah satu putra (Panembahan) Senopati. Tapi menurut Prof. Inayati itu bukan permainan Raden Rangga. Itu peluru Poncowuro meriam milik Sultan Agung yang meriamnya sekarang di depan pagelaran Keraton Surakarta. Jadi itu peluru meriam yang tadinya mau dibawa ke Batavia," jelas Zubair.

Kisah-kisah Peninggalan Perlu Penelitian Lebih Lanjut

Banyaknya kisah-kisah tentang peninggalan Kerajaan Mataram di masa lalu tidak diiringi dengan pembuktian ilmiah sehingga cerita tersebut menyebar dari mulut ke mulut tanpa bukti empiris yang kuat.

Kisah-kisah seperti ini sering kali dibuat untuk menunjukkan kesaktian tokoh pada masa tersebut atau memperkuat posisi seorang tokoh di zamannya.

"Ya kan kisah-kisah seperti itu biasa to untuk menunjukkan kesaktian (tokoh). Cerita seperti itu dibangun, narasi-narasi untuk meneguhkan itu. Seperti misalnya Raden Rangga itu sakti tapi nakal, matinya dikisahkan dikalahkan oleh naga, tapi naga nggak mungkin hidup karena dia hewan mitos. Ya realita sejarah digigit ular berbisa," kata Ketua Dewan Pengarah BPKCB Kotagede tersebut.

"Kita sering kali mendapatkan narasi-narasi seperti itu. Di Batu Gilang, Watu Gatheng (perlu) ada narasi-narasi faktual. Harus ada upaya penelitian lebih lanjut apakah betul alat mainannya Raden Rangga atau apa yang ditemukan sama Prof. Inayati. Kebanyakan dari historiografi di kita (sering) dimasuki kisah-kisah mitos. Orang menyebutnya kearifan lokal tapi fakta sejarah itu harus terungkap, fakta yang faktual yang real supaya kita tidak terbiasa mencerna kisah2-kisah mitologis sebagai bagian dari fakta," ujarnya menambahkan.

Watu Genthong Konon Buatan Raden Rangga

Peninggalan terakhir di situs tersebut yang tak kalah menarik adalah Watu Genthong. Batu ini berbentuk seperti tempayan besar dan dulu difungsikan sebagai tempat air untuk berwudu. Berdasar penuturan abdi dalem yang bertugas di sana, Muhammad Rahadi (67), batu ini dibuat oleh Raden Rangga atau anak dari Panembahan Senopati.

"Yang ini gentong. Yang bikin putranya Panembahan Senopati namanya Raden Ronggo. Cara bikinnya pakai jari-jari. Fungsinya untuk tempat wudu. Dulu kan belum ada keran. Kalau mau wudu itu biasanya di kolam. Gentongnya diisi air," kata Rahadi menjelaskan kepada detikJogja, Selasa (24/10/2023).

Gentong di kompleks situs Watu Gilang, Kotagede, Jogja. Foto diunggah pada Senin (30/10/2023).Gentong di kompleks situs Watu Gilang, Kotagede, Jogja. Foto diunggah pada Senin (30/10/2023). Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja

Pada beberapa kesempatan, pengunjung yang datang kerap memasukkan kepalanya ke dalam gentong tersebut. Rahadi menerangkan jika suara yang didengar dapat berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya.

"Terus kadang kalau tamu datang, kepalanya dimasukkan ke sini. Satu sama lain itu beda-beda dengarnya apa yang ada di sini. Kadang suara air. Kadang lain lagi suara apa," ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Jihan Nisrina Khairani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

Halaman 2 dari 2
(rih/rih)

Hide Ads