Geliat Kota Pelajar Jadi Pemicu Menjamurnya Bioskop di Jogja

Bioskop Lawas di Jogja

Geliat Kota Pelajar Jadi Pemicu Menjamurnya Bioskop di Jogja

Mahendra Lavidavayastama, Jihan Nisrina Khairani - detikJogja
Jumat, 27 Okt 2023 06:40 WIB
Cinema theater with Red Seats. Red and empty theater seats in a row
Geliat Kota Pelajar Jadi Alasan Menjamurnya Bioskop Lawas di Jogja (Foto Ilustrasi bioskop: Getty Images/iStockphoto/pidjoe)
Jogja -

Kota Jogja pernah menjadi surganya layar lebar atau bioskop pada era 1980-an silam. Sejumlah bioskop mulai menjamur seiring wajah baru sebagai Ibu Kota RI dan Kota Pelajar.

Jejak bioskop pertama di Kota Jogja ditandai dengan berdirinya Bioskop Indra yang dulu bernama Al Hambra pada tahun 1917. Bioskop ini dulunya dibangun pengusaha Belanda bernama Helland Muller sebagai pusat hiburan para kaum elite atau sosialita Eropa.

"Ketika listrik masuk ke Jogja tahun 1917, ada pengusaha Belanda namanya Helland Muller, membuka bioskop pertama namanya Al Hambra. Itu memang tidak terlepas dari perkembangan kota Jogja karena banyaknya orang-orang Eropa yang tinggal di Jogja," jelas Dosen Departemen Sejarah UGM, Baha Uddin, saat diwawancarai detikJogja di FIB UGM, Senin (16/10/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kala itu, bioskop ini pun menjadi ikon rekreasi modern bagi masyarakat di Jogja. Khususnya para sosialita Eropa yang berduit.

"Jadi mereka (orang-orang Eropa) adalah para administratur. Pada waktu itu ada sekitar 19 pabrik gula di Jogja dan itu banyak sekali karyawannya yang terdiri dari orang Eropa. Mereka membutuhkan hiburan yang modern dan masuk dalam masyarakat kalangan mereka. Karena itu sebenarnya di Jogja banyak sekali Societeit, tempat untuk biliar, tempat untuk dansa, dan sebagainya. Nah salah satunya bioskop itu," terang Baha.

ADVERTISEMENT

Sempat mati di era penjajahan Jepang, bisnis bioskop mulai bangkit di era 1948. Kala itu Jogja menjadi Ibu Kota Indonesia sementara. Di sisi lain, mulai ada lembaga yang mengatur tentang impor film ke Indonesia.

Geliat Bisnis Bioskop di Jogja

Lambat laun, bioskop-bioskop mulai menjamur di Kota Jogja pada era 1950-an. Wajah baru Jogja yang menjadi Kota Pelajar turut andil dalam perkembangan bioskop di Jogja.

"Tahun 1950-an mulai banyak berdiri bioskop-bioskop baru. Mulai muncul bioskop-bioskop yang dimiliki oleh pribumi, kayak (bioskop) Permata, Indra, Pathuk. Plus karena di Jogja pada saat itu sebagai Kota Pelajar. UGM didirikan, universitas-universitas lain didirikan, itu mereka butuh hiburan. Kemudian berkembang pesat bioskop-bioskop di Jogja," jelasnya.

Selain faktor Jogja sebagai Kota Pelajar, diturunkannya pajak hiburan oleh pemerintah serta pembebasan impor film turut menyumbang pesatnya perkembangan industri bioskop di Jogja pada tahun 1950-1960-an.

"Mulai membebaskan impor film dan juga menurunkan pajak hiburan, sehingga mulai berkembang (bioskop) waktu itu tahun 1950-1960-an di Jogja," kata dosen sejarah UGM tersebut.

Sejak saat itu, bioskop makin digemari oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi favorit adalah pemutaran film midnight yang tayang pukul 00.00 WIB. Format film seperti ini mulai digalakkan di era 90-an.

"Tahun 90-an mulai ada (film midnight). Tahun 70-an itu ada jadwal pagi untuk para pekerja, sore untuk pelajar, nah malam ini bebas. Baru tahun 90-an ada midnight show setelah Cineplex. Filmnya sama," tutur Baha.

Selengkapnya di halaman berikut.

Senja Kala Bioskop Lawas Jogja

Industri bioskop di Jogja mulai meredup ketika hadirnya televisi dan kaset CD. Kemajuan teknologi tersebut membuat bioskop-bioskop di Jogja kewalahan untuk mengikuti perkembangan itu. Alhasil, satu per satu bioskop di Jogja mulai ditinggalkan pengunjungnya dan beralih ke hiburan televisi.

"Tahun 90-an ke sini, televisi swasta terutama mulai berkembang di Indonesia, nah mereka di hari-hari tertentu punya program layar perak, layar emas yang memutar film-film barat box office. Itu awalnya yang mengalihkan hiburan dari outdoor ke domestik. Tiap Rabu ada layar perak, nah itu film-film Rambo itu diputer di situ, orang menunggu itu dan gratis. Secara perlahan-lahan bioskop-bioskop mulai pada mati," ucap Baha.

"Puncaknya CD akhir tahun 90-an, ketika kemudian film bisa dikopi, dimiliki sendiri dalam bentuk CD dan di situ CD player menjadi barang yang sangat laris. Itu menghadirkan bioskop di rumah sendiri," katanya menambahkan.

Tak hanya karena perkembangan teknologi, bioskop seperti Indra tidak mampu bersaing dengan bioskop jenis Cineplex dengan layar dan juga fasilitas yang lebih bagus. Kehadiran jejaring sinema XXI pun menyebabkan masyarakat beralih.

"Yang Cineplex bisa (bertahan), yang non nggak bisa. Sekarang yang bertahan yang Cineplex dan mereka modal besar, bukan bioskop lokal. Mereka kan berjejaring. Nah sekarang yang hidup yang itu," ujar Baha.

Ia pun menyoroti matinya dunia perbioskopan di Jogja yang menyebabkan hilangnya wadah interaksi antarwarga. Ramainya pengunjung bioskop tidak hanya menghidupkan lingkungan sekitar, tetapi juga menjadi sarana bersosialisasi masyarakat.

"Memang kemudian jadi hilang forum sosial di Jogja. Dulu sekitar bioskop, orang nongkrong, ngemil, interaksi sosial ada di situ. Kalau nonton di Cineplex nggak ada. Itu konsekuensi logis dari kemajuan teknologi, mungkin ya digantikan dengan angkringan-angkringan, dan (dulu) itu kan nontonnya bareng-bareng, nggak hanya sendiri. Ada nuansa kebersamaan, istilahnya egaliter ada di situ. Suasana itu yang terus terang hilang," katanya.

Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Jihan Nisrina Khairani Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Cantiknya Permainan Seni Video Mapping di Cagar Budaya Jogja"
[Gambas:Video 20detik]
(ams/ams)

Hide Ads