Di tengah gempuran zaman yang semakin maju, becak Jogja masih cukup eksis dan mewarnai beberapa titik Kota Jogja. Namun, eksisnya becak Jogja tak seindah kesejahteraan para penariknya.
Becak Jogja baru-baru ini ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) RI. Sertifikat penetapan ini diserahkan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Senin, 26 Mei 2025 lalu.
Pelestarian becak Jogja bukan sekadar menjaga tradisi, tapi juga nilai, makna, dan fungsi sosial budaya agar tetap eksis di tengah masyarakat yang makin modern. Namun, nyatanya, kesejahteraan pengayuh becak Jogja masih cukup sulit di tengah zaman yang makin modern.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya Lilik (35), pengayuh becak kayu asal Tamansiswa, Kota Jogja. Lilik sering mangkal di kawasan Stasiun Tugu ini menjadi penarik becak sejak 2014 lalu.
"Saya sudah dari 2014 narik becak kayu. Ini becaknya punya saya sendiri dulu beli harganya Rp 1,5 juta, bayarnya nyicil tiga kali," ujar Lilik kepada detikJogja, Rabu (4/6) malam.
![]() |
Lilik mengaku awal mula dia menjadi pengayuh becak karena himpitan ekonomi. Hingga saat ini, Lilik masih bertahan dengan becak kayunya di tengah banyaknya pesaing seperti becak montor (bentor), dan ojol karena tak mampu untuk membeli motor.
"Awal mula saya ya dulu karena becak ini kan ringan, perawatannya juga murah nggak kayak motor pakai mesin. Terus untuk membantu perekonomian keluarga waktu itu," terangnya.
"Kalau sekarang ya penginnya berubah ke motor, tapi saya, dan keluarga saya nggak mampu. Kalau saya mampu, saya udah beli motor," lanjut Lilik.
Adapun soal pelanggan yang menggunakan jasanya, Lilik mengaku saat ini memang didominasi oleh wisatawan. Dia pun mengaku penghasilannya tak menentu tiap harinya.
"Tergantung pintar-pintaran kita cari tamu, sekarang ya paling banyak mungkin lima kali. Paling banyak memang wisatawan. Kadang ada yang ngasih Rp 20 ribu, Rp 30 ribu, macam-macam," tuturnya.
"Kalau saya, rezeki udah diatur sama yang Maha Kuasa. Karena tiap harinya juga nggak nentu bisa dapat berapa," kata Lilik.
Penarik becak lainnya, Yono Miyardo (68) warga Gedangsari, Gunungkidul, juga mengungkap kisah senada. Yono menarik becak kayu selama 40 tahun di kawasan Malioboro, Kota Jogja.
"Saya sudah 40 tahunan di sini dan memang suka saja mengayuh sepeda. Dulu becak saya pemberian dari orang, tiap hari saya ngayuh dari pagi sampai malam," ucap Yono.
Yono mengaku saat ini cukup sulit mencari pelanggan dibandingkan dulu. Meski begitu, dia mengaku enggan berpindah ke moda transportasi yang lebih modern.
"Kalau dulu banyak, sekarang udah jarang, paling-paling satu sampai dua tarikan. Kadang malah nggak ada sama sekali. Tapi saya nggak papa, karena rezeki udah diatur sama Gusti Allah." ungkap Yono.
"Saya nggak mau kalau disuruh pindah ke bentor, saya lebih suka ngayuh karena lebih sehat. Alhamdulillah sampai umur sekarang saya narik becak saya sehat, kalau ngayuh kan keringetan sekalian olahraga," sambungnya.
Lebih lanjut, Yono membeberkan pendapatannya sebagai penarik becak kayuh di tengah banyaknya pesaing transportasi di Kota Gudeg ini.
"Kalau sekali tarik nggak mesti, biasanya dikasih Rp 50 ribu ada juga yang kasih Rp 30 ribu. Kalau pas liburan itu sehari kadang-kadang bisa sampai Rp 100 ribuan. Soalnya saya juga nggak ngasih (matok) harga," jelasnya.
"Penghasilan memang tidak pasti, tapi saya nggak gimana-gimana, nrima, kalau tidak dapat rezeki ya biasa, pasrah sama Gusti," tutup Yono.
(afn/ams)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Bawa Koin 'Bumi Mataram' ke Sidang Hasto: Kasus Receh, Bismillah Bebas
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang