Kue Keranjang Lampion Jogja Jadi Idola Saat Imlek, Hanya Produksi 2 Minggu

Kue Keranjang Lampion Jogja Jadi Idola Saat Imlek, Hanya Produksi 2 Minggu

Agus Septiawan - detikJogja
Minggu, 04 Feb 2024 17:28 WIB
Proses produksi Kue Keranjang Lampion di rumah produksinya di Jalan Tukangan Nomor 43, Danurejan, Kota Jogja,Β MingguΒ (4/2).
Foto: Proses produksi Kue Keranjang Lampion di rumah produksinya di Jalan Tukangan Nomor 43, Danurejan, Kota Jogja,Β MingguΒ (4/2). (Agus Septiawan/detikJogja)
Jogja -

Kue Keranjang Lampion merupakan salah satu maestro kuliner khas Imlek di Jogja. Mulai produksi saat era Kemerdekaan Indonesia, Kue Keranjang Lampion menjadi suguhan wajib selama perayaan Imlek tersebut. Produksi berada di Jalan Tukangan Nomor 43, Danurejan, Kota Jogja, kue ini mempertahankan resep asli dan bahan alami.

Pelestarinya kini dua bersaudara, Sulistyowati (78) dan Sianiwati (75). Keduanya adalah generasi kedua dari Kue Keranjang Lampion. Imlek tahun ini, keduanya hanya memproduksi kue keranjang selama dua pekan. Tepatnya diawali 25 Januari 2024 hingga Senin, 5 Februari 2024.

"Enggak buka setiap hari, cuma pas Imlek saja. Produksinya nanti cuma sampai Senin, setelah itu tinggal jualan stok yang sudah dibuat sampai 10 Februari," jelas Sulistyowati ditemui di rumah produksinya di Jalan Tukangan Nomor 43, Danurejan, Kota Jogja, Minggu (4/2/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sulistyowati menuturkan, Kue Keranjang Lampion mempertahankan resep asli dan alami. Hanya berbahan baku tepung ketan dan gula. Setelahnya dimasak selama sembilan jam nonstop dengan api besar.

Proses awal adalah mengayak tepung ketan. Setelahnya dicampur atau uleni dengan gula. Tahapan selanjutnya adalah dimasak menggunakan tungku selama sembilan jam nonstop. Proses ini menggunakan 7 tungku dengan dandang berukuran besar.

ADVERTISEMENT

"Sehari itu bisa produksi sampai 200 kue keranjang. Dijualnya Rp 52 ribu per kilonya. Kalau yang kecil isi 5, ukuran tanggung isi 3 kalau yang besar 1. Jadi jualnya memang per kilo," katanya.

Sulistyowati melanjutkan, pembeli kue keranjang buatannya dan saudaranya ini berasal dari berbagai daerah. Selain mayoritas berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ada pula dari Magelang hingga Purworejo. Biasanya dibeli dalam jumlah banyak untuk dibagikan ke sanak saudara dan teman.

Sulistyowati lalu menceritakan makna kue keranjang. Menurutnya, kue keranjang tak ubahnya hidangan saat Lebaran. Disajikan atau dibagikan ke saudara atau orang terdekat. Momentumnya adalah saat Tahun Baru Imlek.

"Makna kue keranjang sepengetahuan saya untuk mengumpulkan saudara, bersatu lalu sembahyang. Sembahyang ini untuk yang meninggal atau leluhur dan orangtua," ujarnya.

Sulistyowati tak menampik harus berjibaku untuk mempertahankan produksi kue keranjang. Tak hanya berbicara tentang kuliner tapi sebuah tradisi. Itulah mengapa dia dan adiknya konsisten tetap produksi kue keranjang hingga saat ini.

Tak bekerja sendiri, dalam produksi Sulistyowati dan Sianiwati dibantu oleh enam orang pekerja. Semuanya berasal dari Wonosari, Gunungkidul. Seluruhnya adalah buruh tani yang beralih profesi selama dua pekan menjadi pembuat kue keranjang.

"Kalau tahun pasti berdiri saya kurang tahu, tapi waktu itu saya masih kecil sudah ada. Kalau sekarang ya sudah generasi kedua. Resepnya masih asli dan alami tidak ada perasa dan tidak pakai pewarna, terus selain kue keranjang juga ada bakcang dan kue mangkok," katanya.




(apu/apu)

Hide Ads