Hubungan antara angkutan konvensional dan online di Bali masih tak berjalan harmonis. Padahal, hampir satu dekade transportasi online hadir di Bali.
Lahan mencari sesuap nasi terancam berkurang lantaran keberadaan angkutan online, membuat angkutan konvensional masih belum sepenuhnya rela berbagi aspal. Rebutan pangkalan, pengusiran, pemukulan, hingga pemalakan terhadap turis yang menumpangi taksi online terjadi di Canggu, Kuta Utara, Badung, Bali.
Kadek Eka P, sopir mobil pangkalan tersebut melakukan pemalakan terhadap penumpang taksi online lantaran ingin cepat dapat penumpang, Selasa (20/6/2023). Pria asal Desa Satra, Kecamatan Kintamani, Bangli, itu ditangkap polisi dan dijerat Pasal 368 dan 335 KUHP tentang pemerasan dan perbuatan tidak menyenangkan. Ia terancam 9 tahun penjara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, seiring berjalannya waktu, intensitas konflik tak lagi tinggi. Keduanya sama-sama mencoba berdamai demi perut yang sama-sama harus terisi.
Agus Ridiyanto (55), adalah satu dari sekian banyak pengemudi taksi berbasis aplikasi di Bali. Agus bekerja sampingan sebagai sopir online sejak April 2017. Awalnya, Agus adalah pengemudi Uber.
Namun, sejak Uber menghilang dan bergabung dengan Grab sejak 2018, otomatis atribut Agus pun berganti. Selama melakoni pekerjaan di jalan raya, Agus mengaku pernah berkonflik dengan sopir konvensional atau pangkalan. Setidaknya, dua kali konflik yang Agus ingat.
Pertama, saat dirinya menerima pesanan antar jemput dari calon penumpang di Pelabuhan Padangbai, Karangasem. Dia mengaku pernah dihampiri dan ditegur oleh salah seorang sopir pangkalan. Adu argumen terjadi. Agus yang dikerubuti beberapa sopir lokal di wilayah tersebut akhirnya mengalah.
Kedua, pria yang tinggal di wilayah Sempidi, Badung, itu juga pernah berkonflik dengan sopir pangkalan saat menjemput penumpang di kawasan Ubung, Denpasar. Sopir di sana mengira Agus sengaja ngetem di kawasan tersebut yang notabene adalah 'zona merah' bagi angkutan online.
Konflik antara online dan konvensional juga diceritakan Kholilluloh, seorang driver ojol. Ada beberapa pengalaman pahit yang dirasakan. Salah satunya, Kholilulloh pernah diusir dari salah satu club di Canggu. Sebabnya, ia menunggu penumpang di wilayah ojek pangkalan (opang).
"Malem-malem banget. Itu biasanya di sana (club) banyak ojek pangkalan. Saya pas kebetulan lewat sana, karena dapat dari aplikasi, ternyata sampai di sana dimarahin, disuruh pergi, 'Pergi sana, ngapain di sini?'" kisahnya.
Ia menuturkan ada beberapa daerah yang dikuasai opang. Walhasil, ini menjadi zona merah para ojol. "Terutama di Canggu (Pantai Berawa), Terminal Ubung, Mengwi, zona merah, ada opangnya. Di Seminyak itu ada beberapa bagian titik yang memang dilempar ojol tuh nggak boleh," jelas pria berusia 29 tahun yang menjadi driver Gojek merangkap Shoppee Food tersebut.
Bagaimana cerita versi sopir angkutan pangkalan? Klik halaman selanjutnya
Cerita berbeda datang dari sopir transportasi pangkalan di Canggu. Wayan Sandi mencicipi manisnya jasa transportasi lokal selama lebih dari 5 tahun. Seiring waktu, potensi pendapatan sopir lokal terampas dengan hadirnya angkutan berbasis online.
Maklum, tamu bisa mendapat angkutan berikut tarifnya hanya dengan sekali klik di aplikasi. Para sopir pangkalan keberatan dan mulai memperhitungkan radius atau zona tarik penumpang.
"Kalau keberatan, kami sebagai pelaku pariwisata tentu keberatan. Jelas pengaruhnya ke penghasilan, jauh merosot. Penurunan pendapatan sekitar 50 persen," ungkap Sandi.
Dia menuturkan sopir pangkalan rata-rata bisa menarik penumpang maksimal dua kali sehari ke berbagai rute. Peningkatan terjadi saat musim liburan antara Juli-Agustus dan Desember-Januari, yaitu maksimal lima penumpang sehari. Jika dihitung per bulan, Sandi sebetulnya bisa mengantar tamu maksimal 20 kali sebulan.
Meski tergerus transportasi online, penghasilan menjadi alasan Sandi enggan menjadi sopir transportasi online. Harga yang dibayar murah dengan pembagian hasil yang banyak antara perusahaan, pemilik mobil, dan sopir bakal berdampak ke pendapatan.
"Apalagi pasar atau tarifnya kan masih pasar lokal. Turis juga kena tarif lokal, sedangkan tarif kami itu sudah khusus pasar turis. Ibarat harga makanan di restoran dengan warung yang jelas beda, dengan pembagian hasil yang banyak jelas jauh turun pendapatan kami," katanya, Sabtu (24/6/2023).
Sandi mengaku soal tarif hanya disesuaikan atau diperkirakan sesuai jarak dan waktu tempuh serta kondisi di lapangan umpama macet. Seperti tarif menuju bandara, Kuta, Seminyak, Uluwatu dan kawasan Bali selatan lainnya rata-rata Rp 200-400 ribu.
Sementara itu, salah satu pengurus komunitas angkutan lokal di Canggu, Wayan Tono mengaku selama ini tidak pernah ada gesekan dengan angkutan online. Ia berpandangan siapapun berhak mencari pekerjaan di wilayah itu. Tidak ada batasan.
Hanya saja, sopir angkutan online masih terlihat mangkal di kawasan Canggu, sehingga hal itu dianggap mengganggu keberadaan angkutan lokal.
"Kami tidak melarang siapapun menarik penumpang di Canggu. Tapi kami ingin angkutan online jangan mangkal, dan itu yang sering terjadi," ungkap Tono.
"Jadi sopir lokal dapat kesempatan menarik penumpang. Silakan ambil penumpang kalau tamu order (online), tapi jangan mangkal. Supaya sopir lokal dapat kesempatan menarik penumpang langsung," imbuhnya.
Kata Tono, ada empat komunitas layanan angkutan konvensional di Canggu, salah satunya Canggu Batu Bolong Transport (CBBT), di mana Tono bergabung di dalamnya. "Kami sering arahkan kawan-kawan memberi tahu baik-baik ke sopir online, jangan kasar dan anarkistis kalau kita ada pangkalan," ungkap Tono.
Pengamat Tata Ruang Bali Universitas Udayana (Unud) Putu Rumawan Salain memberikan beberapa solusi untuk mencegah konflik antara transportasi online dan konvensional terulang. Pertama, adanya regulasi atau aturan yang jelas. Aturan tersebut hendaknya bertujuan mengatur wilayah kerja atau operasional antara ojek/taksi online dan ojek/mobil sewaan pangkalan.
"Kalau sudah dilihat (konflik) itu, tinggal mengatur regulasinya. Karena memang saya ada beberapa tempat yang wilayahnya dimasuki oleh taksi online. Pengaturan itu yang diperlukan," kata Rumawan, Rabu (28/6/2023).
Solusi kedua yang ditawarkan Rumawan adalah dengan musyawarah antara pengemudi online dan pangkalan. Pembicaraannya dapat mencakup soal aturan batas wilayah operasi dan lainnya.
Terakhir, Rumawan menyarankan agar opang melegalkan keberadaannya. Menurutnya, opang yang resmi dapat dikenai pajak mulai dari Rp 10 hingga Rp 100 per pengemudi opang.
Sementara pajaknya sendiri, dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan desa adat para opang yang mangkal tak jauh dari desanya. Pada akhirnya, lanjut Rumawan, legalisasi opang akan menimbulkan dampak yang positif juga.
Gubernur Bali Wayan Koster berencana membuat aturan khusus terkait wilayah operasi ojek/taksi online dengan ojek/mobil sewaan pangkalan atau konvensional di tempat wisata. Namun, dia belum mau membeberkan seperti apa garis besar regulasi operasi angkutan berbasis aplikasi dan angkutan konvensional itu.
"Saya akan atur dulu dan mau mempelajari aturannya," tutur politikus PDI Perjuangan itu di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, Kamis (22/6/2023).
Pembaca detikBali, kami merangkum cerita rebutan penumpang sopir angkutan online dan konvensional yang dibagi menjadi lika-liku pekerjaan dan penghasilan driver transportasi online, keluh kesah driver transportasi pangkalan, konflik antara online vs konvensional, hingga solusi yang ditawarkan pengamat. Selamat membaca!
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Baca juga: Polemik Angkutan Online Vs Pangkalan di Bali |
7.
8.
9.
10.
11.