Driver Online Vs Konvensional: Kisah 'Berebut' Rupiah di Jalanan Bali

Lapsus Angkutan Online Vs Konvensional

Driver Online Vs Konvensional: Kisah 'Berebut' Rupiah di Jalanan Bali

Aryo Mahendro, Ronatal Siahaan - detikBali
Jumat, 30 Jun 2023 08:11 WIB
Agus R (55), salah satu pengemudi taksi berbasis aplikasi di Bali. (Aryo Mahendro/detikBali)
Foto: Agus R (batik hitam), salah satu pengemudi taksi berbasis aplikasi di Bali. (Aryo Mahendro/detikBali)
Denpasar -

Pemalakan oleh sopir angkutan pangkalan terhadap turis Singapura di Canggu yang viral di media sosial (medsos) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa konflik antara angkutan online dan konvensional di Bali belum benar-benar padam. Padahal, hampir satu dekade transportasi online hadir ikut memburu lezatnya kue pariwisata di Bali.

Tak terhitung cerita tentang konflik antara kedua jenis angkutan tersebut. Namun, seiring waktu, intensitas konflik tak lagi tinggi. Keduanya sama-sama mencoba berdamai. Demi perut yang sama-sama harus terisi.

Agus Ridiyanto (55), adalah satu dari sekian banyak pengemudi taksi berbasis aplikasi di Bali. Agus bekerja sampingan sebagai sopir online sejak April 2017. Awalnya, Agus adalah pengemudi Uber. Namun, sejak Uber menghilang dan bergabung dengan Grab sejak 2018 lalu, otomatis atribut Agus pun berganti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga kini, sudah enam tahun Agus mengantar jemput penumpang melalui panggilan dari aplikasi. Dia melakoni pekerjaan tersebut hanya sekadar mengisi waktu luang alias sampingan.

"Waktu itu saya masih sampingan. Karena saya masih ada ikatan kerja di tempat lain. Swasta. Sampai sekarang sih masih sampingan, karena belum lepas dari (pekerjaan utama)," kata Agus ditemui detikBali di Denpasar, Selasa (27/6/2023).

ADVERTISEMENT

Pernah juga Agus hanya mengandalkan pekerjaan penuh waktu sebagai sopir Grab. Hal itu terpaksa dilakukan saat pandemi COVID-19 mulai merebak di Indonesia pada awal 2020.

Tidak sampai memecat, perusahaan tempatnya bekerja terpaksa merumahkan Agus karena wabah penyakit tersebut. Perusahaan juga terpaksa memotong gajinya karena tidak bekerja seperti biasanya.

"On call saja sih. Jadi, kalau ada masalah, baru saya (dipanggil kerja oleh perusahaan)," kata pria asal Banyumas, Jawa Tengah, itu.

Ditanya kenapa memilih sampingan sebagai pengemudi taksi online, sederhana saja. Agus mengaku pekerjaan sebagai sopir online sangat mudah dilakukan.

Tentu, hanya bermodal mobil pribadi dan keterampilan mengemudi, Agus mampu melakoni pekerjaan itu. Kalau harus menjadi pengemudi ojek online (ojol) sepeda motor, Agus mengaku sudah terlalu tua untuk itu.

"Usia mungkin ya. Faktor usia, nggak kuatlah saya," ujarnya.

Selama melakoni melakoni pekerjaan di jalan raya, Agus mengaku pernah berkonflik dengan sopir konvensional atau pangkalan. Setidaknya, dua kali konflik yang Agus ingat.

Pertama, saat dirinya menerima pesanan antar jemput dari calon penumpang di Pelabuhan Padangbai, Karangasem. Dia mengaku pernah dihampiri dan ditegur oleh salah seorang sopir pangkalan. Adu argumen terjadi. Agus yang dikerubuti beberapa sopir lokal di wilayah tersebut akhirnya mengalah.

Kedua, pria yang tinggal di wilayah Sempidi, Badung, itu juga pernah berkonflik dengan sopir pangkalan saat menjemput penumpang di kawasan Ubung, Denpasar. Sopir di sana mengira Agus sengaja ngetem di kawasan tersebut yang notabene adalah 'zona merah' bagi angkutan online.

Tak ingin memperkeruh situasi, akhirnya Agus memilih untuk mengalah. Menurutnya, dia hanya memenuhi pesanan penumpang tanpa bermaksud menyerobot area operasional sopir setempat.

"Cuma saya ya (bersikap) lunak dahulu saja. Karena, istilahnya bukan saya yang nyari (penumpang). Saya dipanggil. Saya dapat pesanan ke sana. Tapi saya nekat saja. Namanya, sudah dapat (penumpang) ya sudah tak ambil saja," tutur Agus yang sudah menetap di Bali sejak 1987. Seiring waktu, konflik-konflik seperti itu sudah jauh berkurang.

Bagi Agus, sistem pada aplikasi yang menuntutnya untuk melayani tiap pesanan, di satu sisi cukup merepotkan dirinya sebagai pengemudi. Dua kali saja menolak pesanan pelanggan, maka dirinya akan terkena sanksi berupa sistem pada aplikasi yang tidak akan memberikan Agus pesanan pelanggan selama satu jam.

"Ya itu kelemahan kami di situ. Dalam arti, dalam arti, risikonya kami turun performanya. Kami batalin dua kali, sudah suspend satu jam. Jadi, (oleh sistem pada aplikasi) kami tidak diberi orderan," katanya.

Maka, Agus tetap nekat melayani pesanan pelanggan dari manapun dan ke manapun, kecuali wilayah yang sudah dipatok oleh Grab mobil khusus. Misalnya, di kawasan Nusa Dua dan Bandara Internasional Ngurah Rai.

Menurutnya, konflik semacam itu dapat saja dihindari. Sebab, sopir online umumnya tidak berhenti di satu tempat alias ngetem dalam waktu lama.

Berbeda dengan ojek online sepeda motor yang memang sering mangkal di sejumlah lokasi tertentu. "Kalau (ojol) sepeda motor kan fleksibel. Kalau mobil, di trotoar pun kami mikir. Jadi, kadang-kadang kami cuma berhenti sebentar, beberapa menit, 10 sampai 15 menit, nggak dapat orderan lalu jalan," ujarnya.

Menurut Agus, memang ada beberapa kawasan zona merah bagi taksi online. Misalnya, wilayah Canggu dan jalanan Pantai Kuta.

Konflik antara online dan konvensional juga diceritakan Kholilluloh, seorang driver ojol. Ada beberapa pengalaman pahit yang dirasakan. Salah satunya, Kholilulloh pernah diusir dari salah satu club di Canggu. Sebabnya, ia menunggu penumpang di wilayah opal.

"Malem-malem banget. Itu biasanya di sana (club) banyak ojek pangkalan. Saya pas kebetulan lewat sana, karena dapat dari aplikasi, ternyata sampai di sana dimarahin, disuruh pergi, 'Pergi sana, ngapain di sini?'" kisahnya.

Ia menuturkan ada beberapa daerah yang dikuasai opal. Walhasil, ini menjadi zona merah para ojol. "Terutama di Canggu (Pantai Berawa), Terminal Ubung, Mengwi, zona merah, ada opalnya. Di Seminyak itu ada beberapa bagian titik yang memang dilempar ojol tuh nggak boleh," jelas pria berusia 29 tahun yang menjadi driver Gojek merangkap Shoppee Food tersebut.

Berbeda dengan Moh Ari Anggri Saputra (22), driver ojol yang berasal Banyuwangi, Jawa Timur, yang mengaku belum pernah berkonflik dengan opal sejauh ini. Sebab, ia sudah mengetahui wilayah atau daerah tertentu yang sudah menjadi zona merah para ojol.

Selain itu, Anggri rajin bertanya kepada sesama driver ojol apakah titik yang ia jemput termasuk zona merah atau tidak. Ia mengambil contoh di daerah Pandawa, Pecatu, Kuta Selatan, merupakan zona merah untuk para ojol.

"Di Pandawa, daerah Pecatu, Kuta selatan (zona merah). Di pantai-pantai lah. Saya dibilangin (diingatkan) sesama driver. Saya (biasanya) tanya, 'Pak, ini kira-kira ngambil orderan di sini boleh nggak?'" kata Anggri yang menjadi driver Gojek pada pertengahan 2021 ini.

Anggri lebih memilih untuk mengalah dari pada terlibat perkelahian dengan opal. "Daripada nanti berantem sama opalnya mending ngalah gitu," ungkapnya.

Untuk diketahui, Anggri sering mangkal di daerah Pantai Berawa, Canggu, dan Kuta. Ia mangkal di daerah-daerah tersebut dari awal dia bekerja di ojol.




(hsa/nor)

Hide Ads