Pengamat Tata Ruang Bali Universitas Udayana (Unud) Putu Rumawan Salain buka suara soal kasus pemerasan yang dilakukan oleh Kadek Eka, sopir mobil pangkalan di Canggu, Kuta Utara, Badung, Bali, beberapa waktu lalu. Rumawan menilai ada beberapa solusi untuk mencegah konflik tersebut kembali terulang.
Pertama, adanya regulasi atau aturan yang jelas. Aturan tersebut hendaknya bertujuan mengatur wilayah kerja atau operasional antara ojek/taksi online dan ojek/mobil sewaan pangkalan.
"Kalau sudah dilihat (konflik) itu, tinggal mengatur regulasinya. Karena memang saya ada beberapa tempat yang wilayahnya dimasuki oleh taksi online. Pengaturan itu yang diperlukan," kata Rumawan Salain kepada detikBali, Rabu (28/6/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan adanya aturan tentang wilayah operasional, maka persaingan antara ojek/taksi online dan ojek/mobil sewaan pangkalan akan lebih sehat dan teratur. Baik pengemudi taksi online dan pangkalan adalah orang-orang yang sebagian besar butuh penghasilan.
Dengan adanya dua jenis transportasi umum khusus tersebut, maka konsumen pun mendapat pilihan. Karenanya, persaingan bebas antara online dan pangkalan tak dapat dihindari.
"Karena memang persaingan tidak bisa dihindari. Beberapa di antaranya (pengemudi ojek) ada keluarga kita yang butuh kerja. Masing-masing (pihak) punya aturan," jelas Rumawan.
Solusi kedua yang ditawarkan Rumawan adalah dengan musyawarah antara pengemudi online dan pangkalan. Pembicaraannya dapat mencakup soal aturan batas wilayah operasi dan lainnya.
Masih soal wilayah operasional, ojol dan opang juga dapat membicarakan dan menyepakati satu hal. Yakni, sama-sama sepakat untuk tidak menentukan wilayah tertentu dalam hal operasional sehari-hari.
Meski begitu, perlu kesadaran dari ojol untuk tidak menjaring pelanggan di dekat wilayah operasional opang. Mengingat, mobilitas ojol dalam menjaring penumpang, lebih luas ketimbang opang yang terbatas di lokasi tertentu saja.
"Karena, namanya kan transportasi publik. Semestinya, tidak boleh diatur, ini (ojol) boleh ke sana, yang ini (opang) boleh ke situ. Sebab, mereka (ojol dan opang) punya regulasi masing-masing," kata pria yang juga dosen Teknik Arsitektur itu.
Kemudian, dia juga memandang bahwa perlu ada sosialisasi dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali terkait persaingan antara ojol dan opang. Bukan tanpa alasan, Rumawan memprediksi banyak ojol dan opang yang akan mati kutu ketika proyek LRT di Bali dirampungkan.
Termasuk transportasi publik semacam taksi, juga dapat terkena imbas sepinya penumpang. Lagi-lagi, karena konsumen atau masyarakat semakin memiliki banyak pilihan angkutan umum saat LRT sudah diselesaikan dan dioperasikan.
"Nah, kalau kereta api kan tidak ke semua titik (tujuan). Dia hanya bisa berhenti di titik stasiun-stasiun yang ada. Sehingga, dengan demikian penyebaran taksi itu ada di sekitar terminal di stasiunnya. Ini harus segera disosialisasi. Kalau nggak, bisa lebih besar konfliknya," tegasnya.
Terakhir, Rumawan menyarankan agar opang melegalkan keberadaannya. Menurutnya, opang yang resmi dapat dikenai pajak mulai dari Rp 10 hingga Rp 100 per pengemudi opang.
Sementara pajaknya sendiri, dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan desa adat para opang yang mangkal tak jauh dari desanya. Pada akhirnya, lanjut Rumawan, legalisasi opang akan menimbulkan dampak yang positif juga.
"Bayangkan kalau sekarang (opang) dibuat resmi. Dibuat pajak per orang, misalnya Rp 10 atau Rp 100. Itukan bagus ya. Untuk disumbangkan untuk desa adatnya," ujarnya.
Rumawan menuturkan konflik yang terjadi antara ojol dan opang sebenarnya sudah ada sejak era taksi tanpa argometer. Taksi konvensional itu mulai terganggu dengan adanya transportasi publik sejenis yang menggunakan argometer.
Banyak konsumen yang beralih menggunakan taksi berargometer karena kepastian perhitungan tarifnya. Selain itu, taksi yang menggunakan argometer juga memiliki armada dan layanan yang berkualitas.
(nor/hsa)