Sopir angkutan online sangat mudah menarik penumpang di mana saja. Termasuk di kawasan Canggu, tempat Wayan Sandi sehari-hari mangkal. Lalu, mengapa Sandi tidak bergabung menjadi pengemudi angkutan online?
Penghasilan menjadi alasan Sandi enggan menjadi sopir transportasi online. Harga yang dibayar murah dengan pembagian hasil yang banyak antara perusahaan, pemilik mobil, dan sopir bakal berdampak ke pendapatan.
"Apalagi pasar atau tarifnya kan masih pasar lokal. Turis juga kena tarif lokal, sedangkan tarif kami itu sudah khusus pasar turis. Ibarat harga makanan di restoran dengan warung yang jelas beda, dengan pembagian hasil yang banyak jelas jauh turun pendapatan kami," katanya, diwawancarai detikBali, Sabtu (24/6/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sandi mengaku soal tarif hanya disesuaikan atau diperkirakan sesuai jarak dan waktu tempuh serta kondisi di lapangan umpama macet. Seperti tarif menuju bandara, Kuta, Seminyak, Uluwatu dan kawasan Bali selatan lainnya rata-rata Rp 200-400 ribu.
"Paling jauh ya ke Buleleng, ke Lovina cuma Rp 600 ribu. Selisihnya tidak jauh ya karena kondisi tidak macet walaupun jauh. Kalau ke Badung selatan kan macetnya luar biasa. Sekarang satu hari tiga penumpang sudah maksimal, malah pernah tidak dapat sama sekali," bebernya.
Sementara itu, salah satu pengurus komunitas angkutan lokal di Canggu, Wayan Tono mengaku selama ini tidak pernah ada gesekan dengan angkutan online. Ia berpandangan siapapun berhak mencari pekerjaan di wilayah itu. Tidak ada batasan.
Hanya saja, sopir angkutan online masih terlihat mangkal di kawasan Canggu, sehingga hal itu dianggap mengganggu keberadaan angkutan lokal.
"Kami tidak melarang siapapun menarik penumpang di Canggu. Tapi kami ingin angkutan online jangan mangkal, dan itu yang sering terjadi," ungkap Tono.
"Jadi sopir lokal dapat kesempatan menarik penumpang. Silakan ambil penumpang kalau tamu order (online), tapi jangan mangkal. Supaya sopir lokal dapat kesempatan menarik penumpang langsung,"imbuhnya.
Kata Tono, ada empat komunitas layanan angkutan konvensional di Canggu, salah satunya Canggu Batu Bolong Transport (CBBT), di mana Tono bergabung di dalamnya. "Kami sering arahkan kawan-kawan memberi tahu baik-baik ke sopir online, jangan kasar dan anarkistis kalau kami ada pangkalan," ungkap Tono.
Merujuk Peraturan Gubernur Nomor 2/2020 tentang Pelayanan Angkutan pada Pangkalan di Kawasan Tertentu, layanan angkutan pangkalan bergerak di bawah pengelolaan otorita seperti bandara dan pelabuhan, badan usaha, PT, hingga badan usaha desa adat.
Wayan Sandi menyebut komunitasnya tidak bergerak di bawah tata kelola lembaga adat, badan usaha atau pengelola kawasan wisata. Namun mereka sudah menerapkan pengelolaan melalui petugas admin, dan sudah memenuhi kriteria ketersediaan parkir, sirkulasi kendaraan dan lainnya.
"Cuma kami bergerak di komunitas, bukan di desa adat atau lembaga. Jadi belum pernah urus izin seperti itu dikeluarkan pemerintah resmi," ungkap dia.
Begitu pula dengan Wayan Tono yang mengakui komunitasnya sudah punya satu pangkalan di pusat Canggu dengan tersedianya lahan parkir, identitas komunitas berupa stiker maupun seragam yang dipakai para sopir.
"Itu pun yang aktif berada di posko ada sekitar 15 atau 20 orang. Kalau yang ikut komunitas bisa 172 orang termasuk pemilik mobil dan sopir. Pangkalan kami ada," pungkasnya.
(hsa/nor)