Agus Ridiyanto (55) menceritakan lika-likunya selama enam tahun menjadi sopir angkutan berbasis aplikasi. Salah satunya ketika mendapat orderan mengantar penumpang dengan jarak yang jauh. Selama ini, orderan terjauh adalah dari Jalani Dewi Sri, Kuta menuju Pantai Amed di Karangasem.
"Itu ditempuh perjalanan tiga jam lebih. Dari Dewi Sri ke Pantai Amed. Tiga jam perjalanan," kata Agus, diwawancarai detikBali, Minggu (25/6/2003).
Entah berapa kilometer jaraknya, dengan perjalanan sejauh itu, Agus mengaku memperoleh ongkos sekira Rp 550 ribuan, kotor. Dia masih ingat, empat orang asing yang memesan ojol mobilnya waktu itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski jauh, Agus justru merasa senang. Menurutnya, selain ongkosnya yang tinggi, konsumsi bahan bakar juga lebih hemat ketimbang harus wara-wiri di Denpasar.
"Saya malah senang. Nggak masalah. Saya malah senang yang long trip. Kalau long trip, pemakaian pada BBM itu biasanya agak lebih hemat sebenarnya. Daripada muter-muter di kota," katanya.
Selain dapat pelanggan yang ingin diantar ke tempat yang jauh, ada juga hal-hal menyenangkan lain yang dialami Agus selama melakoni pekerjaan sebagai pengemudi Grab.
Misalnya, Agus mengaku pernah beberapa kali mendapat tip. Pernah juga ada pelanggannya yang sengaja meninggalkan barang belanjaan untuk Agus.
"Ya, tipping sih ada. Kalau saya mobil ya paling tipping uang. Bisa melalui aplikasi. Ya, kebaikan orang itu beda-beda. Saya pernah sampai dibelanjain. Saya pikir belanja untuk dirinya sendiri," tuturnya.
Berbeda dengan, Sumbogo Eko Prayitno, rekan Agus sesama pengemudi Grab menuturkan ada juga beberapa penumpang yang justru sangat perhitungan dengan biaya layanan Grab mobil. Yang paling sering, adalah pelanggan warga negara asing (WNA) asal India.
Sumbogo mengaku kerepotan ketika tidak sedang memiliki uang pecahan kecil sebagai kembalian. Sebab, turis India biasanya sangat perhitungan. Mereka tak segan menerima uang kembalian lebih banyak ketimbang kehilangan uang receh.
"Sering sekali terjadi terutama tamu-tamu dari India. (Biayanya) kurang seribu rupiah, tetep (jendela mobil kami) digedor kalau nggak mau ngembalikan (memberi kembalian dengan nominal yang pas). Padahal kami sudah mau jalan," kata Sumbogo.
Karena tak ingin ribut dengan penumpang, Sumbogo terpaksa memberi uang kembalian yang justru lebih besar nominalnya.
"Kami yang tekor malah," ujarnya.
(hsa/nor)