Riwayat Diponegoro Jadikan Selarong Markas Besar Perang Jawa

Riwayat Diponegoro Jadikan Selarong Markas Besar Perang Jawa

Pradito Rida Pertana - detikJogja
Minggu, 20 Jul 2025 19:00 WIB
Gua Selarong, Kembang Putihan, Guwosari, Pajangan, Bantul, Kamis (17/7/2025).
Gua Selarong, Kembang Putihan, Guwosari, Pajangan, Bantul, Kamis (17/7/2025). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja
Bantul -

Tokoh adat Selarong, Ikhwan Pribadi (52) menceritakan alasan Pangeran Diponegoro sangat dekat bahkan menjadikan Selarong sebagai markas besar saat perang Jawa tahun 1825. Semua itu karena Selarong strategis dan terdapat banyak orang Islam.

Ikhwan menjelaskan, Selarong sudah menjadi tempat yang sangat akrab bagi Pangeran Diponegoro sedari remaja. Kedekatan tersebut, kata Ikhwan, dapat dilihat dalam Babad Dipanegara Manadho tatkala beliau menceritakan saat terjadi konflik antara antara RM. Surojo (ayah) dengan Sultan Hamengkubuwono II (kakek) antara tahun 1811-1812.

Saat itu RM. Surojo diturunkan dari jabatannya sebagai Sultan Wali, bahkan kemudian kedudukannya sebagai Putra Mahkota pun dicabut dan digantikan Pangeran Mangkudiningrat pada Juni 1811. Hal yang membuat RM. Surojo dan kerabat dekatnya sangat sedih dan berniat melawan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Konflik tersebut membuat Pangeran Diponegoro prihatin. Mengkhawatirkan ayahnya dan masyarakat Jogja yang terancam perang saudara, Pangeran Diponegoro memilih menyepi di Gua Secang (Selarong)," katanya kepada detikJogja, Jumat (18/7/2025).

Ikhwan mengungkapkan, bahwa Pangeran Diponegoro menilai Selarong adalah tempat yang sangat istimewa. Pasalnya Selarong merupakan tempat bekas berdirinya Candi Pertapaan Hindu Syiwa.

ADVERTISEMENT

"Dan secara politik Selarong sangat diperhitungkan dengan masyarakat muslimnya yang kuat di bawah kekuasaan keturunan Pangeran Aryo Selarong," ujarnya.

Selain itu, di Selarong terdapat tempat persemedian yang khas, yakni Gua Secang. Di mana letaknya berdekatan dengan masjid yang besar.

"Karena itu, Pangeran Diponegoro sangat ingin bisa menjadi pemilik Desa Selarong," ucapnya.

Kesempatan itu akhirnya datang. Minggu, 21 Juni 1812, RM. Surojo dilantik menduduki tahta Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono III. RM. Ambyah, anak laki-laki dari Istri Permaisuri, dilantik menjadi Putra Mahkota.

Dua hari kemudian, 23 Juni 1812 dilantik empat putra Sultan menjadi Pangeran. Keempatnya adalah Pangeran Diponegoro, Pangeran Suryowijoyo, Pangeran Adinegoro, dan Pangeran Suryongbroto.

"Juga pejabat-pejabat baru dengan gelar dan nama baru disertai pembagian tugas dan tanah jabatan," ujarnya.

Lebih lanjut, Pangeran Diponegoro saat itu mendapatkan tugas sebagai penasihat ayahandanya dengan tanah jabatan seluas 700 jung atau sekitar 2500 hektare tanah produktif yang tersebar di Banyumas, Kedhu (Temanggung/Parakan), Bagelen (Purworejo selatan), Sukowati (Sragen), dan Selatan Yogyakarta (Samen, Bambanglipuro). Karena sangat menginginkan Selarong, secara khusus pada kesempatan tersebut Pangeran Diponegoro meminta Desa Selarong menjadi tanah jabatan beliau bertukar dengan P. Adinegoro.

"Selarong seharusnya menjadi tanah jabatan P. Adinegoro sebagai warisan dari mendiang ayah angkatnya RT. Sumodiningrat. Akan tetapi P. Adinegoro sangat menghormati dan tahu apa yang Pangeran Diponegoro inginkan dari Selarong," katanya.

"Karena itu, dengan senang hati P. Adinegoro menyerahkan Selarong, bertukar tanah jabatan. Maka terhitung semenjak 23 Juni 1812 itulah Selarong menjadi milik Pangeran Diponegoro," lanjut Ikhwan.

Keinginan Pangeran Diponegoro memiliki Selarong, lanjut Ikhwan, kemungkinan tidak lepas dari pesan agung Sultan Hamengku Buwono I. Adapun pesan itu adalah bahwa suatu saat Pangeran Diponegoro akan memimpin peperangan besar melawan Belanda.

"Selain itu, wangsit yang Pangeran Diponegoro terima di Parangkusumo menyebut bahwa dirinya kelak akan menjadi raja. Dengan demikian beliau butuh modal awal dan utama berupa wilayah atau tanah dengan masyarakatnya yang mendukung berjuang melawan Belanda," ujarnya.

Selanjutnya, Pangeran Diponegoro membutuhkan tempat atau wilayah yang layak untuk pendirian Keraton baru. Semua itu untuk menggantikan Keraton di Yogyakarta yang sudah diinjak-injak Inggris sehingga hilang wibawa dan kesakralannya.

Apalagi tanah Selarong memiliki kekuatan supranatural lebih. Sedangkan di bawah keturunan P. Aryo Selarong masyarakatnya agamis, terdapat tempat persemedian yang sangat khas dan sekaligus bersanding dengan masjid besar sangatlah selaras dan ideal untuk mendukung pesan agung tersebut dan tempat berdirinya Keraton baru.

"Setelah berhasil memiliki Selarong, Pangeran Diponegoro kemudian memperlakukan Selarong secara istimewa," ucapnya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Salah satunya Pangeran Diponegoro tidak mengangkat Demang sebagai wakil atau petugas untuk mengelolanya. Namun, keturunan P. Aryo Selarong yang menjadi tetua adat senantiasa beliau populerkan di hadapan masyarakat sebagai mitra sejajar.

Saat musim tanam dan panen padi, Pangeran Diponegoro senantiasa mengerahkan pasukan berkuda dalam jumlah besar untuk membantu petani. Bahkan Pangeran Diponegoro turun langsung ke sawah dan merayakan panen bersama masyarakat Selarong.

"Di Selarong Pangeran Diponegoro juga membangun pesanggrahan besar. Jadilah Selarong rumah kedua beliau. Atau rumah pertama yang beliau miliki sendiri karena Dalem Tegalrejo merupakan warisan eyang buyutnya," katanya.

Dua hari dalam seminggu, yakni pada hari Kamis dan Jumat, Pangeran Diponegoro tinggal di Selarong untuk mengaji, mengajar ngaji, dan salat Jumat. Bahkan, pada bulan puasa Pangeran Diponegoro sebulan penuh berada di Selarong.

"Pangeran Diponegoro juga membangun dan menata Desa Selarong. Sampai sekarang masih terlihat bukit-bukit yang diratakan, dibuat terasering, saluran irigasi untuk pengairan, dan jalan penghubung," ucapnya.

Sehingga, bagi masyarakat Selarong, keberadaan dan kepemilikan Pangeran Diponegoro atas Selarong merupakan anugerah tersendiri. Di mana Desa Selarong menjadi makmur dan tertata.

"Secara psikologis, merupakan kebanggaan dan sesuatu yang luar biasa bagi masyarakat Selarong karena bisa duduk bersanding tanpa jarak, salat bersama, dan bercengkerama santai dengan seorang pangeran paling terhormat di Kasultanan Yogyakarta," ucapnya.

"Bahkan seorang raja, karena Pangeran Diponegoro yang sebenarnya diberi hak atas takhta Kasultanan oleh Sultan Hamengkubuwono III dan Inggris. Apalagi di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V yang masih balita, Pangeran Diponegoro adalah Wali Sultan atau pejabat raja," imbuh Ikhwan.

Halaman 2 dari 2
(dil/apu)

Hide Ads