Kobarkan Perang Jawa, Dari Mana Pasukan Diponegoro Dapat Biaya?

Kobarkan Perang Jawa, Dari Mana Pasukan Diponegoro Dapat Biaya?

Anindya Milagsita - detikJogja
Minggu, 20 Jul 2025 13:00 WIB
Pangeran Diponegoro
Ilustrasi Pangeran Diponegoro. (Foto: (dok. istimewa))
Jogja -

Peristiwa bersejarah Perang Jawa yang pernah terjadi di era tahun 1825-1830 tak hanya memakan korban dalam jumlah yang besar, tapi juga dana yang luar biasa. Tidak terkecuali pasukan Pangeran Diponegoro yang berjuang keras melawan Belanda. Namun, dari mana sumber dana Pangeran Diponegoro selama terlibat dalam Perang Jawa?

Untuk diketahui, Perang Jawa atau Perang Diponegoro adalah salah satu perang terbesar yang pernah terjadi di Nusantara. Perang tersebut menunjukkan gejolak luar biasa rakyat Jawa dalam melawan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda.

Menurut buku 'H.O.S Tjokroaminoto: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia' karya Nur Rokhim, Perang Jawa dimulai pada tahun 1825. Pada saat itu Perang Jawa dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro karena berbagai alasan. Dalam perang yang berlangsung selama 5 tahun ini ada begitu banyak korban yang gugur, baik itu pasukan Diponegoro maupun Belanda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setidaknya ada sekitar 8.000 pasukan Eropa dan 7.000 pasukan Hindia-Belanda yang gugur. Tak hanya itu saja, pasukan Pangeran Diponegoro yang gugur justru berkali-kali lipat jumlahnya. Diperkirakan ada setidaknya 200.000 orang yang gugur, baik itu dari rakyat Jawa maupun orang-orang kepercayaan sang pangeran.

Selain memakan korban jiwa yang jumlahnya bisa dibilang sangat besar, Perang Jawa juga melibatkan dana yang tak kalah fantastis pada saat itu. Meskipun pasukan Pangeran Diponegoro mengalami kekalahan atas Belanda, tapi perjuangannya begitu bermakna dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah upaya bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.

ADVERTISEMENT

Lantas, seberapa besar dana yang dihabiskan dalam Perang Jawa ini? Sebagai gambaran, berikut rangkuman informasinya.

Dari Mana Pasukan Diponegoro Mendapatkan Dana untuk Perang Jawa?

Sebagai perang yang cukup besar pada masanya, Perang Jawa menghabiskan dana yang tidak sedikit. Termasuk di pihak Pangeran Diponegoro. Menurut buku 'Kronik Perang Jawa 1825-1830' karya Abdul Rohim, awalnya Pangeran Diponegoro berusaha mengumpulkan massa yang berasal dari petani kecil. Petani-petani tersebut adalah orang-orang yang menggarap lahan sawah miliknya.

Tidak hanya itu saja, berbagai upaya juga dilakukan oleh Pangeran Diponegoro agar dapat menghimpun dana untuk memperkuat perlawanannya terhadap Belanda. Salah satunya dengan mengumpulkan barang-barang berharga dan juga uang yang dimiliki.

Dijelaskan dalam buku 'Konflik dan Taktik Perang Jawa 1825-1830 Menelusuri Jejak Jihad dan Pengorbanan Pangeran Diponegoro' karya Muhammad Muhibbuddin, setelah pertanda perang telah ditunjukkan oleh Pangeran Diponegoro, dirinya mengungsikan istri, anak-anak dan orang tuanya. Kemudian sang pangeran juga turut membawa serta uang dan barang-barang berharga sebagai biaya perang tentaranya.

Uang dan sejumlah barang berharga tersebut dikirimkan dari Tegalrejo ke Selarong. Bahkan Pangeran Diponegoro telah mempersenjatai dirinya dengan keris andalannya, yaitu Kiai Abijoyo.

Seiring berjalannya waktu selama lima tahun perang berlangsung, Pangeran Diponegoro memimpin masyarakat Jawa. Tidak hanya kalangan petani saja, tapi juga golongan priyayi yang menyatakan dukungan terhadap sang pangeran. Salah satu dukungan yang diberikan oleh para priyayi diwujudkan dengan cara menyumbangkan uang dan juga barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang.

Ada sebuah semboyan yang ditanamkan di dalam diri pasukan Diponegoro. Semboyan tersebut berbunyi, "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati," yang artinya, "Sejari kepala sejengkal tanah dibeli sampai mati".

Dikatakan juga ada sederet pangeran lain yang turut bergabung sebagai pasukan Diponegoro. Diperkirakan 15 dari 19 pangeran yang ada menyatakan kesetiaannya pada Pangeran Diponegoro.

Siasat Pasukan Diponegoro Selama Perang Jawa

Selama lima tahun berlangsungnya Perang Jawa, berbagai persiapan telah dilakukan oleh Pangeran Diponegoro. Dikutip dari buku 'Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Jawa Tengah' oleh Drs Muljono Dojojomardowo, dkk., salah satu siasat cerdik yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro adalah perang gerilya. Dikatakan pasukan Diponegoro memiliki prinsip mereka cukup menghindari perang yang dilakukan secara terbuka atau cenderung frontal.

Oleh karena itu, mereka melakukan perang gerilya dengan cara diam-diam menyerang musuh secara mendadak. Kemudian tiba-tiba lenyap menghilang di dalam hutan atau kampung dengan menyamar sebagai penduduk setempat.

Tak hanya menerapkannya di satu wilayah saja, perang gerilya yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro tersebar di wilayah-wilayah lain. Bahkan rakyat setempat yang menyatakan diri turut terlibat, membuat pasukan Diponegoro sangat terbantu.

Kemudian Monica Hartanti dan Christine Claudia Lukman dalam bukunya 'Memori Heroik dalam Selembar Batik', turut menjelaskan siasat perang yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro telah dipersiapkan dalam waktu bertahun-tahun lamanya. Tidak hanya mengumpulkan para petani, tapi juga berusaha menarik hati kalangan santri, ulam hingga priyayi.

Sistem gerilya yang diterapkan oleh pasukan Diponegoro, membuat ada begitu banyak rakyat Jawa yang pandai menguasai medan pertempuran. Salah satu kelebihan yang dimiliki adalah mereka mampu bertahan di keadaan alam sekitar lokasi pertempuran. Ini jauh berbeda dengan pihak Belanda yang tidak terbiasa dengan situasi alam tersebut.

Bahkan pasukan Diponegoro juga dikenal memiliki pengetahuan wilayah yang sangat cerdas. Mereka menyusun strategi yang mampu mendukung perang gerilya agar tidak ketahuan. Misalnya saja dengan memberi garam pada lidah kuda agar tidak bersuara saat ditunggangi.

Sistem gerilya pasukan Diponegoro juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja saat petani sedang berada di sawah, mereka tetap menyelipkan keris guna berjaga-jaga atau saat tengah menata ikan asin, para pasukan Diponegoro akan menyelipkan bahan-bahan yang digunakan untuk mendukung persenjataan. Langkah inilah yang membuat pasukan Belanda sering kali tidak menyadarinya.

Besaran Kerugian Belanda Selama Perang Jawa

Tak hanya pihak Pangeran Diponegoro yang rela menggelontorkan dana tidak sedikit, Belanda juga mengalami kerugian selama terlibat dalam perang ini. Masih mengacu dari buku yang sama, yaitu 'H.O.S Tjokroaminoto: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia', selain belasan ribu pasukannya gugur dalam perang, Belanda juga mengalami kerugian yang begitu besar.

Diperkirakan uang sebesar 20 juta golden melayang begitu saja yang digunakan untuk mendukung sistem pertahanan mereka. Pada saat itu, uang tersebut bernilai fantastis. Kerugian yang dialami oleh Belanda membuat mereka melakukan berbagai macam upaya agar dapat memperkuat kondisi keuangan. Salah satunya menerapkan sistem tanam paksa.

Untuk diketahui, sistem tanam paksa adalah sebuah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia. Mereka mewajibkan setiap rakyat menanam tanaman tertentu. Beberapa di antaranya adalah kapas, kayu manis, tembakau, teh, hingga tebu.

Tanaman-tanaman tersebut pada saat itu menjadi primadona tersendiri bagi orang-orang Eropa. Ini dikarenakan hasil dari tanaman tersebut laku keras dibeli oleh orang-orang sana. Namun demikian, dengan adanya sistem tanam paksa ini, pihak Belanda mendapatkan keuntungan yang melimpah ruah. Sebaliknya, rakyat yang menanamnya justru merugi.

Serupa dengan apa yang dijelaskan dalam 'Buku Ajar Pembelajaran IPS di SD' oleh Oktiana Handini, Belanda cukup kewalahan dalam melawan pasukan Diponegoro. Bahkan saking besarnya Perang Jawa ini, Belanda menjulukinya sebagai 'The Great War'. Alasannya karena pasukan Diponegoro membuat Belanda cukup kelimpungan hingga mendorong pihak mereka mengerahkan puluhan ribu tentaranya.

Meskipun begitu, pihak Belanda mengalami kerugian yang bisa dibilang sangat besar. Demi mengganti kerugian akibat Perang Jawa, Belanda membuat kebijakan bernama cultuurstelsel. Apa itu cultuurstelsel?

Mengacu dari buku 'Kreatif Tematik Tema 7 Peristiwa dalam Kehidupan Kelas V untuk SD/MI' oleh Rumiyati, MPd dan Tatang, MPd, cultuurstelsel adalah sistem tanam paksa. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sistem tanam paksa ini membuat rakyat pada saat itu dipaksa untuk menanam tanaman tertentu.

Sayangnya, sistem tanam paksa ini wajib dilakukan oleh rakyat tanpa mendapatkan imbalan tertentu. Awalnya cultuurstelsel dilakukan di area Pulau Jawa, tapi seiring berjalannya waktu dikembangkan di daerah-daerah lainnya. Tujuan cultuurstelsel ini guna mengisi kembali kas keuangan pemerintah kolonial Belanda yang berkurang banyak selama terlibat dalam perang sebelumnya.

Itulah tadi ringkasan mengenai sumber dana pasukan Diponegoro dalam melawan Belanda selama Perang Jawa berlangsung lengkap dengan siasatnya dan kerugian yang dialami oleh pihak lawan. Semoga informasi tadi dapat menambah wawasan baru bagi detikers, ya.




(anm/afn)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikjogja

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads