Sosok Ki Ageng Mangir, Benarkah Pembangkang Kerajaan Mataram Islam?

Sosok Ki Ageng Mangir, Benarkah Pembangkang Kerajaan Mataram Islam?

Anandio Januar, Elisabeth Meisya, Jihan Nisrina Khairani - detikJogja
Kamis, 11 Jan 2024 16:21 WIB
Petilasan Ki Ageng Mangir di Bantul. Ada banyak ditemukan peninggalan berupa arca, lingga yoni, dan batu gilang.
Lingga dan Yoni di area Situs Petilasan Ki Ageng Mangir Bantul (Foto: Anandio Januar/detikJogja)
Bantul -

Ki Ageng Wanabaya, atau Ki Ageng Mangir merupakan legenda Kerajaan Mataram Islam. Ki Ageng Mangir digambarkan sebagai sosok pembangkang karena emoh tunduk kepada Panembahan Senopati, Raja Mataram Islam. Benarkah demikian?

Pemerhati sejarah dari Rumah Budaya Tembi Bantul, Albertus Sartono, menjelaskan Ki Ageng Mangir merupakan julukan untuk pemimpin wilayah Mangir saat itu.

"Istilahnya kalau zaman dulu itu kepala desa, yang kalau di dalam tradisi masa lalu disebut Ki Gede atau Ki Ageng. Kalau sekarang ya mungkin semacam Pak Dukuh atau Pak Lurah yang membawahi sebuah wilayah," kata Albertus saat ditemui detikJogja di Rumah Tembi, Bantul, Rabu (13/12/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Albertus menyebut tokoh Ki Ageng Mangir yang berkonflik dengan Panembahan Senopati adalah pemimpin Mangir generasi ketiga yang bernama asli Bagus Wanabaya. Jika ditarik dari garis keturunan, Ki Ageng Mangir diyakini masih trah Brawijaya V yang memiliki 117 anak.

"Dari babad itu kemudian bisa diketahui bahwa Mangir yang berselisih dengan Senopati itu adalah Mangir yang ketiga. Itu kalau diurutkan dari silsilah yang kita dapatkan di Babad Mangir. Mangir yang ketiga itu keturunan Brawijaya V yang juga sering disebut Prabu Kertabumi yang sering dianggap sebagai raja Majapahit terakhir," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Tanah Perdikan Mangir

Gesekan antara Mangir Wanabaya dengan Panembahan Senopati dikisahkan bermula dari penolakan untuk menyerahkan daerahnya kepada Mataram Islam. Mangir Wanabaya meyakini tanahnya adalah tanah perdikan yang bebas.

"Jadi dalam pengembangan wilayah atau teritorial itu biasanya kalau zaman dulu itu tidak boleh ada teritorial yang menyamai, wilayah yang menyamai, lokasi yang menyamai. Jadi mereka bersaing, kalau ada sesuatu pasti akan saling menaklukkan," tutur Albertus.

"Sementara kalau Mangir sebagai desa yang kecil, Mangir itu mengatakan, 'pokok e aku ra ganggu raja, ini itu hakku, wilayah Mangir itu hakku, dan raja juga tidak boleh mengganggu aku karena aku tidak mengganggu raja. Aku juga tidak bermaksud meluaskan wilayahku'," imbuh pria berusia 59 tahun tersebut.

Di sisi lain, Ki Ageng Mangir meyakini daerah kekuasaannya lebih tua daripada Mataram Islam. Mangir konon merupakan tanah perdikan yang merdeka sejak zaman Majapahit dan tidak boleh dikuasai pihak-pihak tertentu.

"Kalau dalam banyak cerita itu diduga dulunya tanah yang dimerdekakan ketika masih era Majapahit. Kenapa dimerdekakan? Karena wilayah itu dulunya dipercaya ada semacam vihara, tempat para pendeta, para brahmana mengajarkan agama di situ," ucap dia.

Pemerhati sejarah dari Rumah Budaya Tembi, Albertus SartonoPemerhati sejarah dari Rumah Budaya Tembi, Albertus Sartono Foto: Anandio Januar/detikJogja

Sikap Ki Ageng Mangir yang menolak tunduk ke Panembahan Senopati ini lantas dicap sebagai pemberontak dalam beberapa versi. Namun, Albertus berpendapat julukan tersebut kurang tepat untuk disematkan pada sosok Ki Ageng Mangir. Alasannya, Ki Ageng Mangir tidak berniat untuk memperluas daerah kekuasaannya.

"Dalam kisah itu sebetulnya tidak tepat kalau dikatakan dia memberontak, tapi bisa dikatakan dia tidak mau takluk dengan siapa pun. Kalau memberontak itu kan melakukan perlawanan. Kalau dia diam tapi moh, aku diapa-apake tapi moh. Jadi dia diam. 'Saya tidak mau meluaskan kekuasaan saya, saya tidak mau mengganggu siapa pun, tapi orang lain juga tidak boleh mengganggu saya'," ujar Albertus.

Sejarawan asal Bantul ini berpendapat Ki Ageng Mangir lebih tepat disebut sebagai pembangkang. Sebab, wilayah Mangir jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan wilayah kekuasaan Mataram Islam.

"Tapi bisa dikatakan itu lebih tepat mungkin membangkang ya. Artinya dia tidak mau takluk kepada siapa pun," jelasnya.

Upaya Mengubah Stigma Ki Ageng Mangir

Diwawancarai pada hari yang sama, Ketua Paguyuban Saka Mangir Baru, Muhammad Basri (72) mengaku berupaya untuk mengubah stigma negatif yang disematkan ke Ki Ageng Mangir. Dia menuliskan pendapatnya itu lewat sebuah buku.

"Untuk mengubah opini masyarakat yang beredar, saya membuat buku. Di buku saya yang pertama ada gambar Ki Ageng Mangir," kata Basri seraya menunjukkan bukunya saat ditemui di kediamannya.

Basri mengungkap versi lain dari kisah Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senopati, yakni adanya kekhawatiran Panembahan Senopati tentang banyaknya jumlah pengikut Ki Ageng Mangir.

"Ki Ageng Mangir dulu datang di sini berpihak pada rakyat kecil, orang Sudra yang jumlahnya lebih besar daripada orang Mataram. Jadi lebih besar sehingga khawatir kok Mangir banyak warganya karena orang Sudra banyak sekali. Hampir separuh Kota Jogja masuk ke Mangir," cerita Basri.

"Sebetulnya kami belum bisa mengatakan itu benar. Kalau saya dari keluarga Mangir, besar di Mangir, itu adalah pembunuhan karakter saja. Ini anakku mantu karena Pembayun (anak Panembahan Senopati) juga seneng-senengan sudah menjadi istri (Ki Ageng Mangir). Ya wajar itu. Dalam sebuah cerita untuk lebih rakyatnya membenci Mangir dibuat seperti itu," sambung dia.

Basri pun menegaskan jika Ki Ageng Mangir bukanlah seorang pemberontak ataupun pembangkang yang berniat mengalahkan Kerajaan Mataram Islam pimpinan Panembahan Senopati.

"Kalau dengar dari awal ya tidak pembangkang, dan Ki Ageng Mangir itu tidak ingin berkuasa artinya tidak akan bermusuhan dengan Senopati. 'Aku (Ki Ageng Mangir) rak kepengin dadi penguasa'," jelasnya.

Ketua Paguyuban Saka Mangir Baru, Muhammad Basri (72)Ketua Paguyuban Saka Mangir Baru, Muhammad Basri (72) Foto: Anandio Januar/detikJogja

Sejarawan Ungkap Alasan Ada Beda Versi Sosok Ki Ageng Mangir

Beda persepsi tentang sosok Ki Ageng Mangir di kalangan masyarakat ini dinilai sebagai hal yang wajar. Dosen Sejarah FIB UGM, Sri Margana menyebut hal itu tergantung dari perspektif untuk menilai sosok Ki Ageng Mangir.

"Kalau dari perspektif Mataram ya pembangkang, tapi kalau dari perspektifnya Mangir tentu saja Senopati itu yang mencari kekuasaan justru mau menaklukkan, ingin menjajah pada masa itu. Jadi dia dianggap pembangkang dari perspektif Mataram," tutur Sri Margana kepada detikJogja, Kamis (14/12).

"Saya kira Ki Ageng Mangir adalah tokoh yang sangat hebat yang mencoba mempertahankan wilayah kekuasaannya dari kekuasaan yang lain. Ia merasa memiliki legitimasi kekuasaan dari moyang mereka yang legitimate ditunjuk menjadi penguasa di situ. Soal kebenarannya harus dilakukan penelitian lebih lanjut," pungkas Margana.

Halaman 2 dari 2
(ams/apu)

Hide Ads