Ki Ageng Wanabaya atau Ki Ageng Mangir konon merupakan salah satu keturunan Brawijaya V sekaligus penguasa tanah perdikan Mangir yang berada di Bantul. Sosoknya berkaitan erat dengan tokoh Panembahan Senopati atau raja pertama Mataram Islam. Seperti apa kisahnya?
Tidak banyak data kesejarahan yang beredar tentang kisah hidup Ki Ageng Mangir. Oleh karena itu mayoritas cerita tentang Ki Ageng Mangir bersumber pada babad.
"Yang saya ketahui itu sumbernya Babad Mangir. Babad Mangir itu terdiri dari dua jilid, tapi kisahan tentang Mangir hanya beberapa halaman di dalam babad itu. Yang lainnya menceritakan tentang Panembahan Senopati, juga tentang beberapa tokoh yang sezaman dengan Panembahan Senopati," jelas sejarawan asal Bantul, Albertus Sartono (59) saat ditemui detikJogja, Rabu (13/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat silsilahnya, Ki Ageng Mangir Wanabaya III yang bernama asli Bagus Wanabaya adalah trah Prabu Brawijaya V, raja terakhir Kerajaan Majapahit. Perlu diketahui jika nama Ki Ageng Mangir itu sendiri hanyalah julukan bagi pemimpin di Desa Mangir.
"Dari babad itu kemudian bisa diketahui bahwa Mangir yang kemudian berselisih dengan Senopati itu adalah Mangir yang ketiga. Itu kalau diurutkan dari silsilah yang kita dapatkan di Babad Mangir, Mangir yang ketiga itu keturunan Brawijaya V," terang dia.
Cerita Tombak Sakti Ki Ageng Mangir
Saat Mataram Islam mulai didirikan, para penguasa di sekitar Mataram mulai mengabdi pada Mataram, misalnya di Kedu dan Bagelen. Secara sedikit demi sedikit, mereka tunduk pada Panembahan Senopati.
Berbeda dengan Mangir, ia bersikukuh tidak ingin ikut tunduk pada Mataram Islam. Alasannya, dia merasa daerah Mangir telah ada lebih dahulu. Terlebih, wilayah Mangir merupakan tanah perdikan yang turun-temurun milik keluarga Mangir.
"Bahkan Senopati meluaskan kerajaannya sampai Jawa Timur, juga ke utara, wilayah Pantura sana. Nah ini desa kecil (Mangir) kok ngeyel. Karena apa? Karena memang sejak awal mereka itu menginginkan wilayah yang merdeka, artinya tidak diganggu, tidak diperintah, tidak di bawah siapa pun," tutur Albertus.
Mudah saja bagi kerajaan besar seperti Mataram Islam untuk menaklukkan Mangir. Namun, Panembahan Senopati konon diberitahu penasihatnya, yakni Ki Juru Martani jika Ki Ageng Mangir memiliki Tombak Baru Klinting yang sangat sakti.
"Mangir punya andalan yang namanya Tombak Baru Klinting. Nah Tombak Baru Klinting dalam tradisi persenjataan di Kerajaan Mataram itu kekuatan atau kesaktiannya setara dengan Tombak Kiai Plered. Tombak Kiai Plered itu tombak andalan Dinasti Mataram, kekuatannya setara," ujar pemerhati sejarah tersebut.
![]() |
"Jadi, Ki Ageng Mandaraka (Ki Juru Martani), penasihatnya Senopati itu sudah mengatakan hati-hati kalau kamu mau menaklukkan Mangir. Kalau kamu membawa pasukan yang besar, kalau kamu menang itu kamu tidak akan terkenal karena kamu kerajaan besar yang hanya menaklukkan sebuah desa. Tapi kalau kamu terlena dan kamu kalah, itu akan menjadi tamparan yang sangat memalukan bagi kamu sebagai raja yang besar," lanjutnya.
Panembahan Senopati pun memutar otak dan memutuskan untuk menggunakan rantai emas dengan mengirim anaknya sendiri, yaitu Putri Pembayun. Setelah mandi di Sendang Kasihan, di lokasi inilah Putri Pembayun bertemu dengan Ki Ageng Mangir yang kemudian terpesona dengan kecantikan putri Panembahan Senopati itu.
"Nah gimana caranya supaya dia (Ki Ageng Mangir) takluk tapi tidak perang. Itu tadi salah satunya dengan memasukkan Pembayun supaya tidak terjadi pertumpahan darah yang mengorbankan banyak nyawa," kata Albertus.
"Tapi pada perjalanannya, Pembayun itu betul-betul jatuh cinta pada Mangir akhirnya. Dulu kan dia tidak membayangkan kalau Mangir itu ternyata baik dan juga rupawan, punya kekuasaan juga. Akhirnya dia jatuh cinta betul sampai nanti hamil," imbuh dia.
Meninggalnya Ki Ageng Mangir
Terpisah, Dosen Sejarah FIB UGM, Sri Margana menjelaskan versi cerita penghujung hidup Ki Ageng Mangir yang konon dibunuh Panembahan Senopati. Hal ini tertuang di dalam Babad Mangir dan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat.
"Ya kita ikut Babad Mangir. Kalau Babad Mangir itu sebuah babad yang ditulis dari versi keraton. Versi keraton itu memang sebagai seorang yang ingin menikahi anaknya dalam adat Jawa itu harus sowan, pertama melamar, kedua sujud menyembah dia (Panembahan Senopati) sebagai mertua," jelas Margana kepada detikJogja, Kamis (14/12/2023).
Adat yang dipegang teguh juga melarang Ki Ageng Mangir untuk membawa pasukan dan senjatanya saat menghadap Panembahan Senopati, termasuk Tombak Baru Klinting. Meski telah menunjukkan kepercayaannya, Ki Ageng Mangir justru menemui nasib tragis. Menurut catatan dalam Babad Mangir, kepalanya dibenturkan ke batu gilang tempat duduk sang raja.
"Ketika masuk itu menurut Babad Mangir, dia dibunuh. Kenapa dibunuh, ya kalau tidak dibunuh tidak akan pernah bisa ditaklukkan artinya kalau tidak ditipu daya seperti itu mungkin Senopati tidak akan pernah bisa (menguasai Mangir)," kata Margana.
Sebagai satu-satunya wilayah yang belum tunduk kepada Mataram, tanah perdikan Mangir akhirnya ditaklukkan juga oleh Panembahan Senopati. Kematian Mangir Wanabaya menyebabkan warganya kehilangan sosok pemimpin besar.
"Itulah mengapa setelah Mangir meninggal, Ki Ageng Pemanahan mengambil gelar Ki Gede Mataram. Jadi sebelumnya yang dimaksud Ki Gede Mataram itu Ki Ageng Mangir Wanabaya itu," tambah dosen sejarah itu.
Kondisi Putri Pembayun yang sedang hamil pada saat Ki Ageng Mangir meninggal menimbulkan kekhawatiran. Sebab, Putri Pembayun takut anak yang berada dalam kandungannya ikut dibunuh sehingga dikisahkan ia pergi ke Pati.
"Ada satu cerita, seorang pengikut Mangir yang setia kemudian membawa Pembayun ke pesisir utara Jawa, ke Pati. Itu ada versi tradisi lisan, setelah kematian Mangir itu mereka takut kalau anak Mangir yang masih dalam kandungan akan dibunuh," kisah Margana.
![]() |
Petilasan Ki Ageng Mangir
Saat ini, jejak peninggalan Bagus Wanabaya masih dirawat oleh warga sekitar di desa Mangir, Bantul. Adapun benda-benda di situs Petilasan Ki Ageng Mangir ada bangunan pura, lingga yoni, batu gilang, dan juga beberapa arca.
Benda peninggalan yang berkaitan dengan Hindu-Buddha itu, kata Margana, menjelaskan keturunan nenek moyang Ki Ageng Mangir adalah seorang penguasa perdikan dari masa Majapahit. Oleh karena itu, wajar jika masih ditemukan artefak-artefak yang berkaitan dengan agama tersebut.
"Jadi wilayah Mataram itu sebelum Islam (menjadi) wilayah kekuasaan Mataram Hindu. Jadi tidak heran kalau wilayah-wilayah ini kemudian masih banyak ditemukan peninggalan-peninggalan pada masa itu. Kemudian oleh beberapa penduduk yang masih setia dengan agama itu meneruskan," tutupnya.
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan