Terdapat sejarah panjang di balik Keraton Jogja yang masih eksis hingga hari ini. Tahukah kamu jika Keraton Jogja sempat menyerah dan jatuh di tangan pasukan Inggris? Peristiwa ini dikenal dengan Geger Sepehi atau Geger Sepoy yang terjadi pada tahun 1812. Simak sejarahnya berikut ini.
Mengutip laman resmi Dinas Kebudayaan Jogja, peristiwa Geger Sepehi berawal pada tahun 1811 ketika Inggris mulai masuk ke Jawa dan ingin menguasai Pulau Jawa. Saat itu, pasukan Inggris dipimpin oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffless.
Dijelaskan pula dalam laman resmi Keraton Jogja, sepanjang tahun 1808-1812 terdapat banyak peristiwa yang mengubah wajah Jogja. Mulai dari gelombang Revolusi Prancis, jatuhnya Kerajaan Belanda ke tangan Prancis hingga pasukan Inggris berhasil menduduki Keraton Jogja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun langkah awal yang dilakukan Raffles adalah menguasai sepenuhnya Pulau Jawa dan mempertahankannya dari serangan negara lain, khususnya Perancis dan Belanda.
Perebutan Pulau Jawa oleh Inggris dari Kekuasaan Belanda
Saat Prancis dan Belanda tengah menghadapi Inggris, Daendels dipilih Napoleon untuk menjadi Gubernur Jenderal di Jawa dengan tugas utama mempertahankan Jawa dari Inggris.
Beberapa kebijakan Daendels mendapat penolakan dari Sultan Hamengku Buwono II (HB II) yang menyebabkan terjadinya dikirimkannya pasukan Belanda ke Jogja yang menekan HB II untuk menyerahkan kekuasaan pada Putra Mahkota. Meski demikian, HB II yang kemudian disebut sebagai Sultan Sepuh, masih tinggal di keraton dan memegang segel kerajaan.
Hingga akhirnya pada tahun 1811, Pulau Jawa jatuh ke tangan Inggris saat Gubernur Jenderal Daendels digantikan oleh Jan Willem Jansens. Perpindahan kekuasaan ini mengakibatkan Pulau Jawa menjadi bagian dari koloni Inggris yang berpusat di Kalkuta.
Kemudian, Gubernur Jendral Inggris di Kalkuta, Lord Minto, menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa. Melihat perubahan ini, Sultan Sepuh memanfaatkan situasi tersebut untuk mengambil alih kembali kekuasaan atas kerajaan.
Penolakan Sultan Hamengku Buwono II terhadap Inggris
Raffles kemudian menunjuk John Crawfurd sebagai Residen Jogja pada November 1811. Adapun beberapa kebijakan yang dibuat oleh Raffles mendapat penolakan dari Sultan HB II yang bersekutu dengan Sunan Pakubuwono IV hingga menghimpun kekuatan secara terang-terangan.
Raffles kemudian mengutus John Crawfurd dan Pangeran Notokusumo untuk berdiplomasi dengan Sultan HB II, namun gagal.
Melihat sikap HB II tersebut, Raffles kemudian mengirim pasukan di bawah pimpinan Colonel Robert Rollo Gillespie menyerang Jogja.
Penyerangan Inggris ke Keraton Jogja
Raffles mempersiapkan pasukan untuk menggempur dan menundukkan Keraton Jogja yang saat itu sedang dilanda konflik keluarga yang memperlemah pertahanan keraton. Namun, digambarkan oleh Mayor William Thorn, seorang prajurit yang tergabung dalam pasukan Inggris, keraton sebagai benteng pertahanan yang kokoh.
Bahkan, di sekeliling keraton terdapat parit-parit lebar dan dalam, dengan jembatan yang bisa diangkat sebagai pintu akses masuknya. Terdapat pula beberapa bastions tebal yang dilengkapi dengan meriam. Tembok-tembok tebal yang mengelilingi halaman-halaman istana dilengkapi dengan prajurit bersenjata.
Sementara itu, pintu utama menuju keraton juga dilengkapi dengan dua baris meriam. William Thorn mencatat setidaknya ada 17.000 prajurit dan ratusan warga bersenjata tersebar di kampung-kampung, mempertahankan wilayah Jogja.
Peristiwa Geger Sepehi ini direncanakan matang oleh Raffles untuk menyerang Jogja pada 18-20 Juni 1812. Adapun nama Geger Sepoy ini karena kebanyakan pasukan Inggris dari Brigade Sepoy. Brigade ini adalah tentara yang direkrut dari warga India yang sudah terlebih dahulu dijajah oleh Inggris.
Raffles mengirim pasukan Sepoy ke Jogja sebanyak 1.200 orang, pasukan Surakarta, Legiun Mangkunegaran sebanyak 800 orang, serta dukungan dari Pangeran Notokusumo dan Tan Jin Sing.
Artileri Inggris mulai menyulut meriam mereka pada 18 Juni 1812 setelah diplomasi terakhir gagal dan dibalas dengan meriam pasukan sutabel keraton.
Sultan HB II Menyerah dan Jatuhnya Keraton Jogja
Serangan-serangan kecil terus berlangsung hingga tanggal 19 Juni 1812 pukul 9 malam. Setelah itu, kondisi Jogja kembali senyap. Tidak ada lagi ledakan-ledakan meriam dan suara tembakan.
Dini hari tanggal 20 Juni 1812, meriam-meriam Inggris kembali menyalak. Serangan meriam ini mengarah ke Alun-alun Utara, tepat ke arah pintu masuk keraton. Serangan besar-besaran kemudian menyusul pada pukul 5 pagi.
Kekuatan utama serangan pasukan Inggris diarahkan ke sisi timur laut benteng yang dijelaskan dalam Babad Sepehi bahwa bagian ini tidaklah terjaga kuat. Serangan tidak berjalan terlalu lama, hanya beberapa jam saja sudut benteng ini runtuh dengan diawali meledaknya meriam dan gudang mesiu. Sekitar jam 8 pagi, benteng benar-benar jatuh ke tangan pasukan Inggris.
Segera setelah beteng ini direbut, pasukan Sepoy mengarahkan seluruh meriam ke arah Keraton Jogja. Serangan ini kemudian disusul dengan masuknya pasukan dari arah Gerbang/Plengkung Nirbaya yang berhasil dikuasai. Sultan HB II kemudian menyerah ketika pasukan Inggris berhasil masuk ke Plataran Srimanganti.
Dampak Geger Sepehi
Setelah peristiwa Geger Sepehi, Keraton Jogja mengalami kerugian besar tak hanya kekayaan materi yang dijarah, namun juga kekayaan intelektual. Inggris melakukan berbagai kebijakan yang menguntungkannya di keraton, setelah berhasil menguasainya dan menangkap Sultan HB II.
Adapun beberapa kebijakan Raffles dan dampak kerugian usai Geger Sepehi adalah sebagai berikut:
1. Mengangkat Adipati Anom Surojo sebagai Sultan Hamengku Buwono III yang dipaksa tunduk kepada pemerintah Gubernurmen Inggris.
2. Inggris mengangkat Pangeran Notokusumo sebagai pemimpin kepangeranan yang merdeka bernama Kadipaten Pakualaman dan dia bergelar Adipati Pakualaman I.
3. Inggris juga mengangkat Adipati Anom Ibnu Jarot sebagai Sulan Hamengkubuwono IV menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1814.
4. Peristiwa Geger Sepoy juga telah menguras seluruh kekayaan materi maupun keilmuan keraton. Seluruh naskah sejarah yang ada di keraton habis diboyong oleh Raffles dan kebanyakan dibawa ke Inggris dan sekarang disimpan di British Library.
5. Melalui kontrak politik antara Hamengku Buwono III dengan Residen John Crawfud, Inggris menerima konsensi wilayah Kedu, Jipang, Japan, Grobogan, dan Pacitan. Akibatnya, bupati-bupati di wilayah tersebut dipulangkan ke Jogja dan diganti bupati baru yang setia kepada Inggris.
6. Setelah menguasai wilayah Keraton Jogja, Inggris menerapkan pajak sewa atas tanah yang digarap penduduk serta menghapus penyerahan lain dan kerja wajib.
7. Di beberapa tempat, Inggris memberi kekuasaan kepada orang Cina untuk mengelola pajak yang justru terjadi penyelewengan yang menyengsarakan rakyat.
8. Dualisme hukum antara Islam dan Kolonial juga masih dipelihara oleh Inggris meskipun terjadi banyak modifikasi khususnya dalam hal penegakan hukum.
9. Ilmu pengetahuan juga berkembang pada masa Kolonial Inggris di Jogja, seperti banyaknya kunjungan ke bangunan-bangunan cagar budaya dan pemeliharaan naskah-naskah kesusastraan Jawa yang dirampas oleh Inggris pasca Geger Sepehi.
Geger Sepehi tidak hanya sebuah sejarah kekalahan yang meruntuhkan kewibawaan, namun juga menjadi tonggak lahirnya tata dunia baru di tanah Mataram yang akibat-akibatnya masih dapat terus dirasakan hingga kini.
Untuk mengenang peristiwa ini dibangun Prasasti Geger Sepoy di Kampung Ketelan Wijilan Jokteng Lor Wetan Jogja untuk mengenang perjuangan rakyat Jawa Mataram tempo dulu melawan penjajahan bangsa Barat.
Demikian penjelasan lengkap mengenai peristiwa bersejarah Geger Sepehi oleh tentara Inggris terhadap Keraton Jogja.
(rih/dil)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang
PDIP Bawa Koin 'Bumi Mataram' ke Sidang Hasto: Kasus Receh, Bismillah Bebas