Kalurahan Gilangharjo mengklaim menjadi tempat produksi gamelan perunggu pertama di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Namun, hingga saat ini gamelan perunggu itu disebut masih minim pemesan.
Pemilik tempat produksi gamelan perunggu, Omah Nglaras, Giyanto (50) mengaku sudah lama menggeluti pembuatan gamelan. Sedangkan untuk Omah Nglaras baru berdiri sekitar lima tahun yang lalu untuk melestarikan berbagai kebudayaan Jawa khususnya produksi gamelan.
"Jadi gamelan perunggu itu kalau orang Jawa menyebutnya Goso artinya tigo sedoso. Jadi untuk goso ini bahannya percampuran antara tembaga dan timah putih," kata Giyanto kepada wartawan di Gilangharjo, Pandak, Bantul, Sabtu (26/10/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ide membuat gamelan perunggu itu didapatkan Giyanto saat melihat jarang ada perajin gamelan perunggu di DIY. Menurutnya, di DIY kebanyakan perajin gamelan menggunakan bahan baku kuningan, baja hingga pelat besi.
Oleh sebab itu, Giyanto mulai menggeluti produksi gamelan perunggu. Bahkan, Giyanto menggunakan timah putih dari Bangka sebagai campuran tembaga.
"Nah, ini kebetulan di Gilangharjo, terutama produksi Omah Nglaras untuk gamelan perunggu baru tahun ini kita launching. Karena di Jogja ini bisa dikatakan sangat langka untuk perajin gamelan perunggu," ucapnya.
![]() |
Proses Produksi Gamelan Perunggu
Giyanto mengungkap ada kesulitan tersendiri saat membuat gamelan perunggu. Dia lalu mencontohkan proses produksi saron, menurutnya, jika menggunakan bahan baku besi tinggal memotong sesuai ukuran, mencari nada dan melakukan finishing.
"Nah, kalau gamelan perunggu ini prosesnya agak lama. Pertama kita kumpulkan bahan antara timah dan tembaga lalu kita timbang. perbandingannya 3 banding 10 ukurannya, yaitu 3 timah dan 10 tembaga," ujarnya.
Setelah itu, campuran bahan baku Giyanto masukkan ke dalam kowi atau wadah dari tanah lihat. Selanjutnya bahan baku pada kowi dibakar hingga meleleh hingga mirip jenang.
"Kalau sudah kita tuang di cetakan untuk pembuatan bahan berbentuk bundaran. Setelah dingin nanti kita proses lagi untuk membuat bilahan-bilahan gamelan," ucapnya.
"Nah, itu nanti kita timbang lagi sesuai dengan bilah pertama, misal 3 kilogram dan kita bakar lagi di kowi lalu sekitar 20-25 menit itu sudah menjadi seperti jenang. Setelah itu kita tuang ke cetakan yang berbentuk seperti saron atau demung," lanjut Giyanto.
Lebih lanjut, sekitar 10-15 menit bentuk tersebut sudah bisa dicongkel dari wadah pencetakan. Setelah dingin, kata Giyanto, lalu membakarnya lagi dan setelah itu baru menjalani proses penempaan.
"Kesulitan pada perunggu itu namanya di kita ilmu titen (meneliti atau mengamati dengan sungguh-sungguh). Jadi merahnya seberapa biar dipukul itu tidak pecah, karena kalau terlalu merah nanti dipukul pecah atau retak, sehingga kita harus menggunakan ilmu titen dalam penempaan gamelan perunggu ini," katanya.
Usai proses penempaan, Giyanto lalu menggaris sesuai kebutuhan saron dan memotongnya. Setelah itu baru memasuki finishing sembari menyari nada untuk saron.
"Satu saron dengan tenaga empat orang bisa selasai dua hari. Karena kita masih proses pemula untuk satu saron dikerjakan empat orang dan selesai dua hari," katanya.
Beda Gamelan Perunggu, Kuningan, dan Besi
Giyanto pun mengungkap perbedaan gamelan perunggu dengan gamelan berbahan besi atau kuningan. Perbedaan itu terdapat pada suara yang dihasilkan.
"Untuk hasil suara itu sangat berbeda, kalau gamelan perunggu menggema atau menggaung, jadi panjang resonansinya dan antep (mantap). Kalau baja juga panjang tapi kurang antep dan kalau besi dipukul resonansinya kurang panjang," ujarnya.
Oleh sebab itu, harga gamelan perunggu terbilang mahal. Menurutnya, untuk satu saron demung, Giyanto menjualnya dengan harga sekitar Rp 15 juta.
"Gamelan perunggu satu set paling murah kita jual sekitar Rp 650 juta. Kalau berbahan baku besi satu set Rp 135 juta," ucapnya.
Sedangkan untuk saron demung dengan bahan baku bukan perunggu sekitar Rp 3 juta. Giyanto mengungkapkan mahalnya gamelan perunggu karena bahan bakunya yang mahal.
"Karena itu untuk yang memesan gamelan perunggu belum ada, karena adapun kami pertimbangkan lagi terkait bahan baku yang terbilang harganya mahal sekali," katanya.
![]() |
Terlepas dari hal tersebut, Giyanto merasa bangga karena bisa memproduksi gamelan perunggu. Sebab, untuk di daerah Jogja rata-rata perajin membuat gamelan berbahan baku kuningan dan besi.
"Jadi untuk yang gamelan perunggu setahu saya belum ada di Jogja, dan saya merasa bangga karena di Jogja, khususnya Bantul yang baru produksi gamelan perunggu baru Gilangharjo," katanya.
"Meski terbilang kami baru pemula sehingga baru bisa memproduksi saron dan demung berbahan baku perunggu," imbuh Giyanto.
Gamelan Perunggu Bakal Jadi Unggulan Gilangharjo
Sementara itu, Lurah Gilangharjo, Pardiyono mengatakan, target Kalurahan Gilangharjo memang melestarikan warisan budaya dunia, seperti keris, gamelan, batik maupun wayang. Di mana saat ini target pihaknya baru mencapai di gamelan.
"Gamelan tapi bukan gamelan kuningan maupun besi tapi gamelan perunggu yang menjadi unggulan bagi Gilangharjo, mudah-mudahan juga bagi Bantul dan naik lagi bisa menjadi unggulan di DIY," ujar Pardiyono.
"Karena kami menyadari bahwa gamelan itu di Jogja kelihatannya belum ada yang memproduksi gamelan perunggu," pungkasnya.
(ams/ams)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
Cerita Warga Jogja Korban TPPO di Kamboja, Dipaksa Tipu WNI Rp 300 Juta/Bulan
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi