Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya Sleman Bertahan Digerus Zaman

Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya Sleman Bertahan Digerus Zaman

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Minggu, 08 Sep 2024 07:02 WIB
Ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya di Brayut, Wukirsari, Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (30/8/2024).
Ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya di Brayut, Wukirsari, Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (30/8/2024).Foto: Jauh Hari Wawan S/detikJogja
Sleman -

Era kejayaan ketoprak tobong kini di tubir senjakala. Meski terus dilindas zaman, di pinggiran Kabupaten Sleman masih tetap bergulir pementasan kelompok ketoprak tobong yang tersisa di Jogja.

Sore yang cerah memayungi Dusun Brayut, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, pada Jumat pengujung Agustus 2024. Sebuah bangunan dengan joglo dan panggung pertunjukan di belakang barak pengungsian di Dusun Brayut tampak ramai. Tak seperti biasanya.

Ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya di Brayut, Wukirsari, Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (30/8/2024).Ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya di Brayut, Wukirsari, Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (30/8/2024). Foto: Jauh Hari Wawan S/detikJogja

Kursi-kursi seng lawas berwarna hijau berjejer di depan panggung. Sementara dua orang tampak sedang mempersiapkan sound dan gamelan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Panggung pertunjukan itu sangat sederhana, hanya beratap seng dan tak memiliki dinding permanen. Di bagian atas tertulis dengan huruf kapital 'Kelana Bhakti Budaya', nama kelompok tersebut.

Di tengah hiruk pikuk, satu per satu wiyaga berdatangan. Sementara di sisi selatan panggung terdapat satu bangunan dari anyaman bambu yang jadi tempat para lakon untuk merias diri.

ADVERTISEMENT

Sore itu kelompok ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya akan menggelar pertunjukan. Mereka serius mempersiapkan diri. Para pemain pun bersemangat.

Di sela gegap gempita, Mak Kamek pun tersenyum. Keriput di wajahnya tak mampu menyembunyikan bahagia. Mata wanita yang kini berusia 75 tahun itu pun berbinar kala memandang para pemain ketoprak yang sedang merias diri di depannya.

"Sekarang pensiun, kaki saya sakit," ujar Mak Kamek saat berbincang dengan detikJogja, Jumat (30/8/2024) sore.

Mak Kamek merupakan pemain tertua yang hingga saat ini masih ikut bersama Kelana Bhakti Budaya. Kelompok ini adalah versi lebih lanjut dari ketoprak Sri Budoyo yang lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 1992. Sempat berganti nama menjadi Candra Kirana pada 1994 dan mengalami masa susah, koma sepanjang tahun 1999. Hingga akhirnya pada 23 Juli 2000 datang seorang donatur, pendeta bernama Dwi Tartiyasa.

"(Tahun) 73 itu main wayang wong di Malang. Belum ikut Pak Dwi. (Dia) Ikut dari 2002 sampai sekarang," ujarnya.

Bagi Mak Kamek, kelompok ini adalah rumah keduanya. Manis, getir, semua dia rasakan. Secara periodik dan berombongan, mereka berpindah lokasi dengan memboyong panggung dan layar tonil dari satu daerah ke daerah lainnya di Jawa.

Ketika kelompok ini memutuskan pindah dari Kediri menuju Jogja, dia pun ikut dalam rombongan. Dulu kelompok ini hampir setiap hari pentas keliling Jogja. Sempat juga menetap di Kalasan. Setelah donatur utama mereka meninggal, akhirnya kelompok ini menepi ke Cangkringan.

"Di Cangkringan ini sejak 2015. Dulu waktu masih di Kalasan itu hampir tiap hari pentas. Kalau di sini bisa sebulan sekali, sering nggak main. Penuh sekali waktu main di Banyuraden," kenang Mak Kamek.

"Ramai itu ya pas di Kediri 2002. Di Jogja itu berat," imbuh dia.

Kini, Mak Kamek jadi satu-satunya di angkatannya yang masih bertahan. Teman-temannya yang lain ada yang pulang ke Kediri atau mendapat jodoh di lokasi pementasan kemudian menetap. Ada juga yang sudah meninggal.

"Sekarang tinggal saya sendiri," ucapnya.

Kisah selengkapnya di halaman selanjutnya.

Didik (61), yang kini tinggal di Kasihan, Bantul, juga jadi salah satu pemain ketoprak tobong yang masih bertahan. Dia baru ikut kelompok ini dari tahun 2006, setelah gempa.

"Kalau awal itu seminggu dua kali (pentas). Dilihat penonton sedikit, seminggu sekali, habis itu sebulan sekali sampai sekarang," kata Didik.

Hidup mati kelompok ini pun juga telah dia rasakan. Seringnya, dalam setiap pertunjukan, dia dan teman-temannya tak menerima honor.

"Pertama itu seribu, dua ribu, kadang kalau nggak main itu cuma uang bensin, itu pun kalau ada. Ikut prihatin, seni tobong di Jogja khususnya cuma di sini (Cangkringan) saja," ucapnya.

Tapi jiwa seni yang membuat Didik bertahan. Sejak medio 1980-an dia keluar dari Malang dan belajar menari di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Namun, tetap ada getir karena tak ada lagi generasi muda yang ikut melestarikan tobong.

"Jiwa seni itu, ya kalau nggak kita siapa lagi yang nguri-uri kebudayaan. Walaupun kita udah tua-tua kok yang muda nggak muncul," kata dia.

"Kalau prinsip saya sama istri, di manapun tobong ini berada selama masih terjangkau masih bisa kita ikuti," sambung Didik.

Bertahan Sepenuh Hati

Saat ini Kelana Bhakti Budaya sudah kehilangan pendonornya. Pendeta Dwi Tartiyasa meninggal beberapa bulan lalu. Kini tobong dipasrahkan sepenuhnya ke Risang Yuwono, putra pendeta Dwi.

"Saat ini kita coba format baru main sore. Dulu kan main malam jam 8 jam 9. Ini kita coba format baru main sore dengan harapan bisa menggaet pasar pariwisata baru," kata Risang.

Risang bilang, tobong ini merupakan rumah teater tradisi yang siap menerima setiap pribadi untuk berkenalan, berproses, belajar, dan mendalami ketoprak dari nol hingga akhirnya bisa menjadi pemain ketoprak yang profesional.

"Di situlah karakter ketoprak tobong, bersifat terbuka. Jangankan pemain teater, orang baru punya kesempatan ikut pentas. Harapannya ini ruang belajar teater tradisi," katanya.

Dia mengakui ada tantangan berat dalam menjaga dan melestarikan ketoprak tobong sebagai kesenian kerakyatan. Berbagai formula baru coba diterapkan. Seperti pada pementasan sore itu.

"Ini (naskah) karangan kami sendiri. Menceritakan tiga wanita hebat di era Mataram. Mulai dari pernikahan besar abad ke-7, hubungan dinamika cinta Pangeran Sambernyawa dan Matahati, kemudian kami mengangkat hubungan ibu dan anak Diponegoro dan Mangkarawati ketika minta dia mau pamit perang. Itu kami rangkum menjadi Ati Segara," ujarnya.

Bagaimanapun, dia ingin merawat warisan yang ditinggalkan orang tuanya. Mati baginya bukan pilihan. Selama gamelan masih ditabuh dan tirai bisa diangkat, selama itu juga ketoprak tobong akan tetap pentas.

"Ini seperti mengerjakan tugas rumah yang nggak akan pernah selesai sejak dari orang tua. Kalau bisa saya masih bisa bertahan, sebisa mungkin bertahan. Jadi mati bukan pilihan, tapi semampu saya, kalau ini bisa terus bunyi ya bunyi. Jadi ada kemerdekaan diri untuk saya dan keluarga," pungkas dia.

Halaman 2 dari 2
(dil/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads