Sebanyak 18 orang terdata terinfeksi Leptospirosis di Kota Jogja sepanjang semester pertama 2025. Lima di antaranya terkonfirmasi meninggal dunia. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Jogja pun mengungkap faktor penyebab tingginya kasus leptospirosis ini.
Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Jogja, Lana Unwanah, menjelaskan jumlah kasus tersebut meningkat dibanding data sepanjang tahun 2024.
Menurutnya, belasan kasus itu tersebar di hampir seluruh kemantren di Kota Jogja. Seperti Mantrijeron, Mergangsan, Kotagede, Umbulharjo, Jetis, Tegalrejo, Ngampilan, Wirobrajan, Pakualaman, Gondokusuman, Gedongtengan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Kota Jogja data sampai hari ini ada 18 orang, dengan kematian 5 orang. Ya relatif memang tersebar, artinya tidak hanya di satu-dua locus tertentu," jelas Lana saat ditemui di Kantor Dinkes Kota Jogja, Selasa (8/7/2025).
"Tahun lalu kasus ada 10 (kasus), meninggal 2. Ini di 2025 baru satu semester ya, tapi mudah-mudahan tidak ada kasus tambahan," sambungnya.
Belasan kasus penyakit yang disebabkan infeksi banteri yang menyebat lewat urine tikus terinfeksi Leptospira ini, kata Lana, menyerang berbagai kelompok rentan atau orang yang beraktivitas di lingkungan kotor tanpa dilengkapi atribut keamanan.
"Ada yang hobinya mancing di kali, ada tukang bersih-bersih, ada pemilah sampah, ada petugas kebersihan kolam pemancingan, ada penggerobak sampah. Kalau selain itu mungkin terkait dengan hobi atau kebersihan di rumah," paparnya.
Meski begitu, Lana mengonfirmasi selain 5 orang yang meninggal, pasien lain sudah dinyatakan sembuh. "Sudah pulang semua, yang di bawah 20 tahun 1 orang, yang lainnya variatif, ada yang 84 tahun 1 orang," sambungnya.
![]() |
Faktor Penyebaran dan Fatalitas Leptospirosis
Lana menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan merebaknya Leptospirosis di Kota Jogja. Salah satunya yakni faktor minimnya kewaspadaan masyarakat akan pentingnya menggunakan atribut pelindung saar beraktivitas di tempat kotor.
"Multifaktor ya, awareness juga, kemudian deteksi dini yang mungkin agak sulit ya, masyarakat sulit mengenali. Kemudian faktor lingkungan, faktor hujan," papar Lana.
Sedangkan soal faktor fatalitas Leptospirosis hingga menyebabkan 5 orang meninggal dunia, Lana bilang, disebabkan oleh terlambatnya penanganan. Selain itu, juga minimnya gejala spesifik infeksi Leptospirosis ini.
"Gejalanya memang tidak terlalu spesifik, demam, pegal, kemudian diobati sendiri. Kalau nggak sembuh baru ke Puskesmas atau klinik," terang Lana.
"Kalau yang agak terlambat itu agak kuning, mulai dari matanya, kayak orang hepatitis itu. Itu sudah mulai parah. Jadi mulai berpikir ini Lepto gitu kalau sudah parah, biasanya menyerang ginjal. Dan itu relatif singkat, cepat sekali menyerang ginjal," sambungnya.
Kasi Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi, Bidang P2P PD SIK Dinkes Jogja, Endang Sri Rahayu menambahkan orang yang terinfeksi Lepotospirosis ini bisa tanpa gejala sampai bergejala berat.
"Artinya karena panjang sekali range gejala ini jadi kadang-kadang masyarakat itu ndak merasakan itu bahaya. Kayak masuk angin biasa, pegal-pegal, apalagi kalau misalnya habis kerja bakti kan biasa pegel gitu," urai Endang.
"Masyarakat itu tidak merasa itu bahaya. Hanya diminumi obat biasa di warung itu, terus terasa sembuh, ternyata gejalanya muncul lagi. Padahal obatnya di puskesmas ada, kita punya, antibiotik itu," lanjutnya.
Jika sudah bergejala akut yang artinya sudah menyerang ginjal, menurut Endang, harus segera mendapat perawatan hingga cuci darah. Kasus pasien meninggal, ujarnya, disebabkan karena bakteri sudah menyerang Ginjal.
"Jadi kalau nggak sempet cuci darah ya itu fatal. Jadi kalau penanganannya cepet, cuci darah, itu bisa kembali sembuh. Tapi cuci darahnya nggak rutin, beda dengan gagal ginjal kronis yang itu tidak menular, yang harus rutin cuci darah," terangnya.
Selain itu, lanjut Endang, faktor lain yakni dari sisi dokter saat diagnosis. Utamanya saat anamnesis atau proses pengumpulan informasi tentang riwayat medis pasien, tentang kegiatan yang memungkinkan pasien berinteraksi dengan air tercemar tikus.
"Satu sisi itu, dari dokter itu sendiri mendiagnosisnya kurang detail di anamnesisnya, menanyakan pasien habis aktivitas apa. Padahal itu sangat penting untuk menuju diagnosis Lepto," ujarnya.
"Jadi mungkin antrean panjang sekali, sementara wawancara itu perlu waktu, pasien juga harus jujur," imbuh Endang.
Tindakan Pencegahan
Merespons banyaknya kasus Leptospirosis di Jogja ini, Wali Kota Jogja sudah mengeluarkan Surat Edaran nomor 100.3.4/2407 tahun 2025 tentang Kewaspadaan Kejadian Leptospirosis dan Hantavirus.
Lana bilang, dalam SE itu memberikan arahan kepada dinas-dinas terkait hingga fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Jogja.
"Kita dalam rangka zoonosis, penyakit yang disebarkan oleh hewan, yang paling deket dengan Dinas Pertanian dan Pangan, di dalamnya kan bidang kehewanan dan Perikanan," jelasnya.
"Biasanya kalau di wilayah itu ada penyemprotan desinfektan, kita kerja sama dengan Bidang Kehewanan dan Perikanan itu," lanjut Lana.
Selain itu, Dinkes Kota Jogja akan menggencarkan edukasi ke masyarakat melalui perangkat desa tentang Leptospirosis ini. Dokter-dokter juga akan dibekali materi tentang anamnesis Laptospirosis.
"Kita akan refresh materi ke dokter, puskesmas, klinik, serta praktik mandiri. Kita akan refresh lagi dengan menghadirkan spesialis," ungkap Lana.
Lebih lanjut, Lana mengatakan pihaknya juga meminta bantuan Balai Besar Laboraturium Kesehatan Masyarakat (BBLabkesmas) untuk menguji sample tikus, tanah, dan air di lokasi adanya kasus Leptospirosis.
"Kemarin kita juga sudah menguji kondisi tanah ya di beberapa wilayah Kota Jogja, memang hasilnya positif lepto. (Pengujian di daerah lain) Itu harus ada anggaran, saat ini kita ndak ada penganggaran kesana, jadi kita difasilitasi BBLabkesmas, kita ajukan permohonan," pungkasnya.
(apu/ahr)
Komentar Terbanyak
Ternyata Ini Sumber Suara Tak Senonoh yang Viral Keluar dari Speaker di GBK
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa