4 Korban Pelecehan Guru Ngaji di Gunungkidul Jalani Visum

4 Korban Pelecehan Guru Ngaji di Gunungkidul Jalani Visum

Muhammad Iqbal Al Fardi - detikJogja
Jumat, 26 Jul 2024 18:15 WIB
Poster anti pelecehan seksual pemerkosaan
dikhy sasra/ilustrasi/detikfoto
Poster anti pelecehan seksual. Foto: dikhy sasra
Gunungkidul -

Seorang guru ngaji berinisial S di Saptosari, Gunungkidul, diduga melecehkan 10 muridnya yang masih anak-anak. Empat keluarga korban telah melaporkan kasus itu ke Polres Gunungkidul. Kini empat korban telah divisum.

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, mengatakan pihaknya sudah bertemu dengan empat korban dan keluarganya masing-masing di Mapolres Gunungkidul hari ini. Diyah juga menemui Kapolres Gunungkidul dan menyampaikan ada dua dugaan pelanggaran.

"Satu, (dugaan) pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak, yang kedua Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Sekalipun itu anak-anak itu harus ditegakkan juga (berkaitan dengan UU TPKS)," kata Diyah saat ditemui detikJogja di UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Gunungkidul di Wonosari, Jumat (26/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diyah menjelaskan, korban sudah didampingi oleh psikolog. Korban juga telah divisum oleh pihak kepolisian. Menurut dia, korban tampak tidak tertekan dan sempat bermain saat berada di Mapolres Gunungkidul.

"(Korban) Sudah didampingi psikolog ya. Tadi sudah visum juga," ujar Diyah.

ADVERTISEMENT

Selanjutnya, Diyah mengungkapkan alasan keluarga korban tidak segera melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Alasannya, guru ngaji berinisial S itu masih memiliki hubungan keluarga dengan korban.

"Sempat saya tanyakan, ya mungkin nggak enak karena masih ada hubungan kekeluargaan. Mungkin sebagai tokoh, sebagai guru ngaji," ucap Diyah.

KPAI menyambut baik upaya empat keluarga korban itu melapor ke Polres Gunungkidul. Diyah meminta Polres Gunungkidul bersikap sigap dan cepat dalam menangani kasus tersebut.

Dimintai konfirmasi secara terpisah, Kasat Reskrim Polres Gunungkidul AKP Ahmad Mirza membenarkan bahwa empat korban sudah divisum. Keempat korban menjalani visum et repertum di RSUD Wonosari hari ini, Jumat (26/7).

"Iya tadi sudah divisum. Nggak sampai seminggu lah (hasil visum keluar). Hasil visum keluar nanti kita gelar, naikkan penyidikan," ungkap Mirza saat dihubungi detikJogja.

Sebelumnya, Mirza mengungkapkan ada empat keluarga korban yang melaporkan kasus tersebut kepada Polres Gunungkidul pada Kamis (25/7) sore.

"Iya Mas (ada pelaporan terkait kasus tersebut). Ada 4 orang keluarga yang melapor," jelas Mirza saat ditemui di Mapolres Gunungkidul di Wonosari, Kamis (25/7).

Kasus Dugaan Pelecehan

Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan pelecehan yang dilakukan guru ngaji inisial S ini terjadi di Kapanewon Saptosari, Gunungkidul. Akibatnya, S yang berusia di bawah 30 tahun itu dikenai sanksi sosial untuk pergi dari rumahnya.

Lurah setempat berinisial SB mengungkapkan S mengajar ngaji di rumahnya sejak Ramadan tahun ini. Dia mengatakan S pun mengakui perbuatannya.

"Yang bersangkutan memang melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Ada permintaan dari orang tua untuk menjaga psikis anak yang bersangkutan untuk meninggalkan tempat," kata Lurah saat dihubungi wartawan, Senin (22/7).

Lurah menerangkan S telah meninggalkan rumahnya pada Jumat (19/7). Dia mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membicarakan kasus tersebut untuk menjaga kesehatan mental korban. Kasus pelecehan anak di bawah umur ini pun tidak dilaporkan ke polisi.

"Tidak (dilaporkan ke kepolisian). Alasan dari orang tua kalau anak itu ditanya takut teringat lagi," jelasnya.

Pada Rabu (24/7) lalu, Kapolres Gunungkidul AKBP Ary Murtini mengungkapkan keluarga korban tidak membuat laporan atas kasus tersebut. Ary mengungkapkan pihaknya saat itu pun tidak dapat memproses kasus tersebut lantaran tidak ada pelaporan.

"Kami tanya juga ibu-ibu dan bapak-bapak (orang tua korban) pada keukeuh untuk tidak melaporkan kepada kami," kata Ary saat ditemui wartawan di Wonosari, Gunungkidul, Rabu (24/7).

"Jadi kalau pengaduan harus ada keluarga atau korban yang melapor. Tapi kalau tidak ada, kami tidak bisa," imbuhnya.

Selain itu, Ary mengungkapkan keluarga korban menilai kasus tersebut merupakan aib yang perlu ditutup rapat.

"Menurut mereka aib keluarga yang ditutup rapat-rapat demi privasi putrinya yang masih sangat kecil," ujarnya.

Penjelasan Komisioner KPAI ihwal kasus ini di halaman selanjutnya.

Respons KPAI

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun angkat bicara untuk merespons kasus ini. Kemarin, Komisioner untuk anak korban kekerasan KPAI, Dian Sasmita, menyebut penegak hukum kurang memahami UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dian menyebut kasus TPKS dengan korban anak bukanlah pidana aduan, tetapi delik murni.

"Kami melihat ada kekurangpahaman penegak hukum, Polres setempat, dalam membaca UU TPKS. Bahwa TPKS pada anak bukan pidana aduan. Namun delik murni," ungkap Dian saat dihubungi detikJogja, Kamis (25/7/2024).

Lebih lanjut, Dian mengatakan untuk memproses hukum kasus tersebut polisi tidak perlu menunggu adanya laporan. Dian juga menilai kasus tersebut tidak dapat diselesaikan di luar peradilan formal.

"Dan kami mengingatkan bahwa TPKS terhadap anak dengan pelaku orang dewasa tidak dapat diselesaikan di luar peradilan formal," tegasnya.

"Artinya restorative justice tidak dapat digunakan di perkara ini (berdasarkan) Pasal 23 UU TPKS," lanjutnya.

Saat keluarga korban maupun masyarakat enggan melapor, Dian berpendapat hal tersebut menjadi pengingat bagi pemerintah daerah agar segera memberikan pendampingan dan psikoedukasi.

"Ketika keluarga korban atau masyarakat setempat enggan lapor, ini harus juga (menjadi) alarm bagi pemerintah daerah, dinas terkait, dan UPTD PPA bahwa mereka perlu segera menjangkau korban dan keluarga untuk memberikan pendampingan dan psikoedukasi," ucapnya.

Lebih lanjut, Dian mengungkapkan terduga pelaku harus bertanggung jawab secara hukum. Selain itu tenaga profesional berkaitan harus segera bergerak memberi pendampingan hukum dan psikososial kepada korban.

"Pelaku kekerasan harus bertanggung jawab secara hukum," tuturnya.

Dian menegaskan pihaknya memberikan atensi terhadap kasus tersebut. Dia mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) setempat untuk melakukan pengawasan.

"KPAI menaruh atensi terhadap kasus ini dan telah berkoordinasi dengan KPAD terdekat agar dapat bersama-sama melakukan pengawasan," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(dil/apl)

Hide Ads