9 Fakta Kasus Guru Ngaji Gunungkidul Lecehkan Murid yang Sempat Nyaris Mandek

Round-Up

9 Fakta Kasus Guru Ngaji Gunungkidul Lecehkan Murid yang Sempat Nyaris Mandek

Tim detikJogja - detikJogja
Sabtu, 27 Jul 2024 07:00 WIB
Ilustrasi Pencabulan Anak. Andhika Akbarayansyah/detikcom.
Ilustrasi pelecehan seksual terhadap anak. Foto : Andhika Akbarayansyah
Jogja -

Kasus guru ngaji berinisial S di Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, diduga melecehkan 10 muridnya yang masih anak-anak akhirnya diproses setelah sempat nyaris mandek. Berikut fakta-faktanya.

1. Korban Melapor dan Divisum

Kasat Reskrim Polres Gunungkidul AKP Ahmad Mirza mengungkapkan ada empat keluarga korban yang melaporkan kasus tersebut ke Polres Gunungkidul pada Kamis (25/7) sore.

"Iya Mas (ada pelaporan terkait kasus tersebut). Ada 4 orang keluarga yang melapor," kata Mirza saat ditemui di Mapolres Gunungkidul di Wonosari, Kamis (25/7).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemarin, Mirza membenarkan bahwa empat korban sudah divisum. Keempat korban menjalani visum et repertum di RSUD Wonosari pada Jumat (26/7).

"Iya tadi sudah divisum. Nggak sampai seminggu lah (hasil visum keluar). Hasil visum keluar nanti kita gelar, naikkan penyidikan," kata Mirza saat dihubungi detikJogja, Jumat (26/7/2024).

ADVERTISEMENT

2. KPAI Temui Kapolres Gunungkidul

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, mengatakan pihaknya sudah bertemu dengan empat korban dan keluarganya masing-masing di Mapolres Gunungkidul, kemarin. Dia juga menemui Kapolres Gunungkidul dan menyampaikan ada dua dugaan pelanggaran.

"Satu, (dugaan) pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak, yang kedua Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Sekalipun itu anak-anak itu harus ditegakkan juga (berkaitan dengan UU TPKS)," kata Diyah saat ditemui detikJogja di UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Gunungkidul di Wonosari, Jumat (26/7/2024).

3. Korban Didampingi Psikolog

Diyah menjelaskan, korban sudah didampingi psikolog. Korban juga telah divisum oleh pihak kepolisian.

Menurut dia, korban tampak tidak tertekan dan sempat bermain saat berada di Mapolres Gunungkidul.

4. Alasan Keluarga Tak Lekas Lapor

Diyah juga mengungkapkan alasan keluarga korban tidak segera melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Alasannya, guru ngaji berinisial S itu masih memiliki hubungan keluarga dengan korban.

"Sempat saya tanyakan, ya mungkin nggak enak karena masih ada hubungan kekeluargaan. Mungkin sebagai tokoh, sebagai guru ngaji," ungkap Diyah, kemarin.

5. KPAI Minta Disdik Dampingi Korban

KPAI menyambut baik upaya empat keluarga korban itu melapor ke Polres Gunungkidul. KPAI juga meminta Dinas Pendidikan (Disdik) Gunungkidul mendampingi korban di sekolah.

"Dinas Pendidikan itu harus turun mendampingi baik guru, siswa, agar mengkondisikan sekolah," kata anggota KPAI, Diyah Puspitarini, kemarin.

Dia berharap korban tidak menjadi korban perundungan maupun stigma negatif akibat kasus tersebut.

"Si anak korban harus disiapkan untuk berinteraksi kembali dengan masyarakat sekitar. Kadang dia korban, dia minder, malah mengurung diri dan lain sebagainya," katanya.

6. Disdik Akan Pendekatan ke Sekolah Korban

Sekretaris Disdik Gunungkidul, Agus Subariyanta, merespons positif permintaan KPAI. Lebih lanjut, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA) Gunungkidul.

"Nanti coba kami koordinasikan," kata Agus saat dihubungi detikJogja, Jumat (26/7).

Agus menjelaskan, pihaknya akan mengidentifikasi dan menyiapkan mitigasi karena korban masih di bawah umur. Menurut dia, Disdik harus berhati-hati dalam mendampingi korban terutama jika bersangkutan dengan psikologis korban.

"Kami akan pendekatan masing-masing sekolah bersangkutan untuk bisa menjaga psikologis anak. Harapannya mereka tidak dikucilkan dan tidak dibully di sekolahnya," pungkasnya.

7. Guru Ngaji Diusir dari Rumah

Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan pelecehan yang dilakukan guru ngaji inisial S ini terjadi di Kapanewon Saptosari, Gunungkidul. Akibatnya, S yang berusia di bawah 30 tahun itu dikenai sanksi sosial untuk pergi dari rumahnya.

Lurah setempat berinisial SB mengungkapkan S mengajar ngaji di rumahnya sejak Ramadan tahun ini. Dia mengatakan S pun mengakui perbuatannya.

"Yang bersangkutan memang melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Ada permintaan dari orang tua untuk menjaga psikis anak yang bersangkutan untuk meninggalkan tempat," kata Lurah saat dihubungi wartawan, Senin (22/7).

Lurah menerangkan S telah meninggalkan rumahnya pada Jumat (19/7). Saat itu, dia juga mengimbau masyarakat untuk tidak membicarakan kasus tersebut untuk menjaga kesehatan mental korban.

Kasus pelecehan anak di bawah umur ini pun tidak dilaporkan ke polisi. "Tidak (dilaporkan ke kepolisian). Alasan dari orang tua kalau anak itu ditanya takut teringat lagi," kata Lurah.

Rabu (24/7) lalu, Kapolres Gunungkidul AKBP Ary Murtini mengatakan keluarga korban tidak membuat laporan atas kasus tersebut.
"Kami tanya juga ibu-ibu dan bapak-bapak (orang tua korban) pada keukeuh untuk tidak melaporkan kepada kami," kata Ary saat ditemui wartawan di Wonosari, Gunungkidul, Rabu (24/7).

"Jadi kalau pengaduan harus ada keluarga atau korban yang melapor. Tapi kalau tidak ada, kami tidak bisa," imbuhnya. Saat itu, Ary mengungkapkan keluarga korban menilai kasus tersebut merupakan aib yang perlu ditutup rapat.

'Pakar Hukum UGM Buka Suara' dan 'Awal KPAI Turun Tangan' di halaman selanjutnya.

8. Pakar UGM Buka Suara

Merespons kabar kasus pelecehan itu tak diproses gegara pihak korban tak melapor, salah seorang pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) pun buka suara.

"Berdasarkan UU Perlindungan anak dan UU TPKS, kalau korban anak maka itu bukan delik aduan," kata dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M, saat dihubungi detikJogja, Rabu (24/7/2024).

Akbar berpendapat kasus itu bisa diproses meski tidak ada aduan dari korban. Namun, Akbar menjelaskan bahwa secara implementasinya korban perlu memberikan keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

"Secara aturan tidak harus ada aduan dari korban, tetapi secara implementasi, untuk naik kasusnya, korban perlu memberikan keterangan dalam BAP. Sehingga dia perlu didampingi, perlu ada keterangan psikologis. Perlu ada keterangan di BAP. Kemudian harus dibantu psikolog," jelas Akbar.

"Harus ada Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) juga memberikan pendamping, wali yang mendampingi dari anak-anak tersebut. Memang ada proses yang cukup panjang," sambungnya.

Menurut Akbar, Polres Gunungkidul bisa bekerja sama dengan psikolog untuk memberikan konseling kepada korban. Dari pendampingan itu nantinya bisa dilihat apakah korban siap untuk melaporkan peristiwa yang menimpanya.

"Nanti dari situ bisa dilihat korban tersebut siap tidak untuk melaporkan," ucapnya.

Akbar menjelaskan, hasil keterangan dari psikolog cukup untuk dijadikan alat bukti buat kepolisian memproses hukum kasus ini. Dengan demikian, kasus itu tidak serta-merta ditutup.

"Keterangan psikolog saja sudah cukup sebenarnya untuk menjadi satu alat bukti, tapi tidak bisa secara serta-merta ditutup menurut saya. Harus ada proses daripada nanti ada korban-korban lebih lanjut," kata Akbar.

Akbar menambahkan, hal yang paling penting dari kasus ini ialah pemulihan korban. Selanjutnya polisi bisa fokus terhadap proses penegakan hukumnya. Akbar menyarankan kasus ini bisa menjadi fokus kepolisian karena korbannya adalah anak-anak. Dia juga berharap penyidik kepolisian berperan aktif untuk memenuhi hak korban.

"Karena korban anak-anak harusnya menjadi concern, di mana polisi harus berperan lebih aktif untuk bisa memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dari para korban," sebutnya.

Akbar juga menyarankan agar kasus tersebut bisa diproses hukum untuk mencegah kejadian serupa terulang di kemudian hari. "Selain daripada itu, bagaimana kasus tersebut bisa dinaikkan dalam proses penegakan hukum jika benar-benar terjadi," pungkas dia.

9. Awal KPAI Turun Tangan

Komisioner untuk anak korban kekerasan KPAI, Dian Sasmita, juga menilai penegak hukum kurang memahami UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dian menyebut kasus TPKS dengan korban anak bukanlah pidana aduan, tetapi delik murni.

"Kami melihat ada kekurangpahaman penegak hukum, Polres setempat, dalam membaca UU TPKS. Bahwa TPKS pada anak bukan pidana aduan. Namun delik murni," ungkap Dian saat dihubungi detikJogja, Kamis (25/7/2024).

Lebih lanjut, Dian mengatakan untuk memproses hukum kasus tersebut polisi tidak perlu menunggu adanya laporan. Dian juga menilai kasus tersebut tidak dapat diselesaikan di luar peradilan formal.

"Dan kami mengingatkan bahwa TPKS terhadap anak dengan pelaku orang dewasa tidak dapat diselesaikan di luar peradilan formal," tegasnya.

"Artinya restorative justice tidak dapat digunakan di perkara ini (berdasarkan) Pasal 23 UU TPKS," lanjutnya.

Saat keluarga korban maupun masyarakat enggan melapor, Dian berpendapat hal tersebut menjadi pengingat bagi pemerintah daerah agar segera memberikan pendampingan dan psikoedukasi.

"Ketika keluarga korban atau masyarakat setempat enggan lapor, ini harus juga (menjadi) alarm bagi pemerintah daerah, dinas terkait, dan UPTD PPA bahwa mereka perlu segera menjangkau korban dan keluarga untuk memberikan pendampingan dan psikoedukasi," ucapnya.

Lebih lanjut, Dian mengungkapkan terduga pelaku harus bertanggung jawab secara hukum. Selain itu tenaga profesional berkaitan harus segera bergerak memberi pendampingan hukum dan psikososial kepada korban.

"Pelaku kekerasan harus bertanggung jawab secara hukum," tuturnya.

Dian menegaskan pihaknya memberikan atensi terhadap kasus tersebut. Dia mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) setempat untuk melakukan pengawasan.

"KPAI menaruh atensi terhadap kasus ini dan telah berkoordinasi dengan KPAD terdekat agar dapat bersama-sama melakukan pengawasan," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(dil/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads