Guru Ngaji Lecehkan 10 Anak Tak Diproses, Pakar UGM: Itu Bukan Delik Aduan

Guru Ngaji Lecehkan 10 Anak Tak Diproses, Pakar UGM: Itu Bukan Delik Aduan

Muhammad Iqbal Al Fardi - detikJogja
Rabu, 24 Jul 2024 23:48 WIB
A young woman protects herself by hand
Foto ilustrasi pelecehan seksual: iStock
Gunungkidul -

Guru ngaji berinisial S di Saptosari, Gunungkidul, diduga melecehkan 10 muridnya yang berusia di bawah 12 tahun. Kapolres Gunungkidul mengaku tak bisa memproses hukum kasus ini karena keluarga korban tak membuat aduan. Berikut pendapat pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mengenai itu.

"Berdasarkan UU Perlindungan anak dan UU TPKS, kalau korban anak maka itu bukan delik aduan," kata dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M, saat dihubungi detikJogja, Rabu (24/7/2024).

Lebih lanjut, Akbar berpendapat kasus itu bisa diproses meski tidak ada aduan dari korban. Namun begitu, Akbar menjelaskan bahwa secara implementasinya korban perlu memberikan keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Secara aturan tidak harus ada aduan dari korban, tetapi secara implementasi, untuk naik kasusnya, korban perlu memberikan keterangan dalam BAP. Sehingga dia perlu didampingi, perlu ada keterangan psikologis. Perlu ada keterangan di BAP. Kemudian harus dibantu psikolog," jelas Akbar.

"Harus ada Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) juga memberikan pendamping, wali yang mendampingi dari anak-anak tersebut. Memang ada proses yang cukup panjang," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Menurut Akbar, Polres Gunungkidul bisa bekerja sama dengan psikolog untuk memberikan konseling kepada korban. Dari pendampingan itu nantinya bisa dilihat apakah korban siap untuk melaporkan peristiwa yang menimpanya.

"Nanti dari situ bisa dilihat korban tersebut siap tidak untuk melaporkan," ucapnya.

Akbar menjelaskan, hasil keterangan dari psikolog cukup untuk dijadikan alat bukti buaat kepolisian memproses hukum kasus ini. Dengan demikian, kasus itu tidak serta-merta ditutup.

"Keterangan psikolog saja sudah cukup sebenarnya untuk menjadi satu alat bukti, tapi tidak bisa secara serta-merta ditutup menurut saya. Harus ada proses daripada nanti ada korban-korban lebih lanjut," kata Akbar.

Akbar menambahkan, hal yang paling penting dari kasus ini ialah pemulihan korban. Selanjutnya polisi bisa fokus terhadap proses penegakan hukumnya.

"Yang paling penting menurut saya dalam kasus ini daripada penegakan hukum memang pemulihan dulu daripada korban tadi. Betul (polisi bisa fokus untuk menegakkan hukum setelah pemulihan korban)," jelasnya.

Akbar menyarankan kasus ini bisa menjadi fokus kepolisian karena korbannya adalah anak-anak. Dia juga berharap penyidik kepolisian berperan aktif untuk memenuhi hak korban.

"Karena korban anak-anak harusnya menjadi concern, di mana polisi harus berperan lebih aktif untuk bisa memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dari para korban," sebutnya.

Akbar juga menyarankan agar kasus tersebut bisa diproses hukum untuk mencegah kejadian serupa terulang di kemudian hari.

"Selain daripada itu, bagaimana kasus tersebut bisa dinaikkan dalam proses penegakan hukum jika benar-benar terjadi," pungkas dia.

Penjelasan Kapolres Gunungkidul

Sebelumnya, Kapolres Gunungkidul, AKBP Ary Murtini, mengaku tak bisa memproses hukum kasus ini karena keluarga korban tidak membuat aduan.

"Kami tanya juga ibu-ibu dan bapak-bapak (orang tua korban) pada keukeuh untuk tidak melaporkan kepada kami," kata Ary saat ditemui wartawan di salah satu warung makan di Wonosari, Gunungkidul, Rabu (24/7).

Ary mengatakan jika tidak ada laporan dari keluarga maupun korban terkait dugaan pelecehan itu, pihaknya tidak dapat memproses hukum kasus tersebut.

"Jadi kalau pengaduan harus ada keluarga atau korban yang melapor. Tapi kalau tidak ada, kami tidak bisa," katanya.

Di sisi lain, Ary membenarkan adanya kasus pelecehan seksual terhadap 10 anak di bawah umur yang dilakukan S sebagai guru ngaji. Dia mengungkapkan keluarga korban menilai hal tersebut merupakan aib yang perlu ditutup rapat.

"Menurut mereka aib keluarga yang ditutup rapat-rapat demi privasi putrinya yang masih sangat kecil kelas 1 sampai kelas 6 SD," ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan pelecehan yang dilakukan guru ngaji ini terjadi di Kapanewon Saptosari, Gunungkidul. Akibatnya, S dikenai sanksi sosial untuk pergi dari rumahnya.

Lurah setempat berinisial SB mengungkapkan S mengajar ngaji di rumahnya sejak Ramadan tahun ini. Dia mengatakan S pun mengakui perbuatannya.

"Yang bersangkutan memang melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Ada permintaan dari orang tua untuk menjaga psikis anak yang bersangkutan untuk meninggalkan tempat," kata Lurah saat dihubungi wartawan, Senin (22/7).

Lurah menerangkan S telah meninggalkan rumahnya pada Jumat (19/7). Dia mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membicarakan kasus tersebut untuk menjaga kesehatan mental korban. Kasus pelecehan anak di bawah umur ini pun tidak dilaporkan ke polisi.

"Tidak (dilaporkan ke kepolisian). Alasan dari orang tua kalau anak itu ditanya takut teringat lagi," jelasnya.




(dil/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads