5 Fakta Heboh Warga Baru Bangunjiwo Ditarik Rp 1,5 Juta

5 Fakta Heboh Warga Baru Bangunjiwo Ditarik Rp 1,5 Juta

Tim detikJogja - detikJogja
Rabu, 24 Jul 2024 07:00 WIB
Ilustrasi Uang Rupiah
Ilustrasi pungutan Rp 1,5 juta ke warga baru Bangunjiwo (Foto: Ari Saputra)
Jogja -

Curahan hati (curhat) warga pendatang di Bangunjiwo, Bantul, tentang ditarik administrasi Rp 1,5 juta yang ramai di media sosial menuai banyak kritik. Pihak pengunggah curhatan itu pun kini meminta maaf karena sudah membuat gaduh.

Postingan soal pungutan itu mendapat sorotan dari Bupati Bantul Abdul Halim Muslih hingga Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY. Mereka mempertanyakan dasar hukum pungutan itu dan potensi adanya pelanggaran hukum.

Sementara itu, usai ramai menjadi polemik, pengunggah konten itu @mittaayo, akhirnya buka suara. Mita mengakui ada miskomunikasi dengan pihak RT tempat tinggalnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dihimpun detikJogja, Selasa (23/7/2024), berikut fakta-fakta gaduh warga baru ditarik pungutan Rp 1,5 juta:

Disebut Kearifan Lokal

Lurah Bangunjiwo Pardja menilai kebijakan pungutan ke pendatang baru itu sebagai kearifan lokal. Menurutnya, hal itu sebagai bagian dari iuran warga.

ADVERTISEMENT

"Itu adalah kearifan lokal di masing-masing RT. Selain itu, semua RT setahu saya melakukannya dan tidak hanya di wilayah saya (Bangunjiwo) itu (penarikan biaya administrasi warga baru) berlaku," kata Pardja saat dihubungi wartawan, Minggu (21/7/2024).

"Apalagi warga setempat telah membangunkan sarana dan prasarana di pemukiman sebelum warga pendatang tersebut datang. Jadi sekali lagi itu, kearifan lokal, meski secara peraturan tertulis tidak ada dan tidak diperbolehkan," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Forum Komunikasi RT (FKRT) Bangunjiwo Joko Parjoko. Joko menyebut kebijakan ini sudah lama diterapkan.

"Kalau di wilayah saya terus terang peraturan itu kearifan lokal dari warga setempat dan sudah berlangsung sejak lama," ucap Joko saat dihubungi, Senin (22/7).

Joko menjelaskan uang itu digunakan untuk kebutuhan bekakas warganya, seperti tenda. Warga yang sudah membayar pun mendapat hak menggunakan fasilitas RT setempat.

Tak Wajib Dibayar-Bisa Dicicil

Joko mengungkap nilai biaya administrasi itu bervariasi tiap RT. Dia menyebut pungutan ini tak wajib dibayar. Namun, jika tak membayar, warga tersebut dikenakan sewa bekakas RT.

"Kalau yang bersangkutan tidak mau, kita tidak memaksa. Kalau saya, ada warga datang saya sampaikan iuran segini mau ikut tidak, boleh dicicil. Tidak ikut tidak apa-apa tapi tidak bisa mengakses inventaris RT," ucapnya.

"Jadi kalau ada apa-apa warga tidak ikut merespons, dalam artian warga hanya datang biasa ke acara dan kalau butuh tenda di pendatang ya harus menyewa," imbuh Joko.

Pungutan Dinilai Ilegal

Bupati Bantul Abdul Halim Muslih menilai pungutan itu ilegal. Dia pun mengingatkan warganya jika hal itu berpotensi melanggar hukum.

"Itu jelas ilegal, tidak ada peraturan perundangan dan ketentuan tentang kependudukan. Dari luar Bantul ke Bantul nggak ada pungutan apa pun, selain dokumen catatan sipil dan kependudukan yang ditetapkan oleh Disdukcapil," kata Halim, Senin (22/7).

"Pungutan itu tidak sah, dan saya ingatkan seluruh warga Bantul untuk tidak melakukan pungutan-pungutan liar. Karena itu bisa berakibat hukum, ya. Itu saja komentar saya, mudah-mudahan segera sadar," sambungnya.

Peringatan serupa juga disampaikan dari Perwakilan Ombudsman RI (ORI) DIY. Kepala Perwakilan ORI DIY Budhi Masturi pun mempertanyakan dasar hukum pungutan itu.

"Yang pasti, warga itu sudah bayar pajak dan desa mendapat kucuran APBN/APBD kan sumbernya antara lain pajak-pajak yang dibayar warga. Ini dipertanyakan kenapa masih dibebani pungutan sebesar itu," kata Budhi saat dihubungi detikJogja, Senin (22/7).

"Apakah pungutan itu legal atau tidak? Dasar hukumnya apa? Ada kewenangan tidak? Ini yang perlu dicermati," sambungnya.

Menurutnya, penarikan biaya administrasi seharusnya mengacu dengan undang-undang yang berlaku. Hal ini agar tidak terjadi pungutan liar.

Budhi pun mengimbau kepada warga yang keberatan terhadap pungutan yang tidak bersumber pada undang-undang untuk menindaklanjuti di jalur hukum.

"Jika ada warga yang merasa keberatan, berhak melakukan upaya keberatannya melalui jalur-jalur yang ada dan disediakan negara," kata Budhi.

Di sisi lain, jika hal ini merupakan kearifan lokal perlu ditegaskan tentang payung hukumnya. Tujuannya agar tidak melanggar koridor hukum.

"Kalau misal ini kearifan lokal itu bagus, dan memang harus dikembangkan sebagai modal sosial bangsa Indonesia. Tetapi harus sejalan dengan hukum dan perundang-undangan," tegasnya.

Warga Ditarik Pungutan Akui Miskomunikasi

Di sisi lain, pengunggah konten tersebut @mittaayo menyampaikan ada miskomunikasi soal pungutan itu.

"Terkait pernyataan yang saya up di media sosial pada tgl 21 juli 2024 terjadi karena miss komunikasi antara saya pribadi dan Ketua RT," katanya melalui pesan pribadi kepada wartawan, Selasa (23/7).

Mita juga mengaku telah mendapatkan penjelasan dari Ketua RT jika iuran tersebut bukan bersifat wajib. Bahkan peruntukan iuran tersebut juga untuk kepentingan di wilayah tempat tinggalnya.

"Setelah saya mendapat penjelasan bahwa iuran tersebut bukan biaya admin perpindahan penduduk dan tidak bersifat wajib. Anggaran 1,5 juta tersebut untuk inventaris di wilayah, pembangunan wilayah dan kegiatan sosial masyarakat," ujar Mita.

Warga Ditarik Pungutan Minta Maaf Bikin Gaduh

Mita juga menyampaikan permintaan maaf terkait kegaduhan yang muncul akibat postingannya di media sosial (Medsos).

"Demikian penjelasan yang sudah terkonfirmasi dari pihak terkait, dan sekali lagi itu tidak bersifat wajib. Permohonan maaf saya (Mita) sebesar-besarnya atas kegaduhan yang sedang viral di medsos kepada Gubernur DIY, Bupati Bantul, Panewu kasihan Lurah Bangunjiwo, Bapak dukuh, Bapak RT setempat dan seluruh warga masyarakat wilayah Bangunjiwo," ucapnya.




(ams/apl)

Hide Ads