'Kebijakan' Warga Baru Bangunjiwo Ditarik Rp 1,5 Juta Tuai Kritik Sana-sini

'Kebijakan' Warga Baru Bangunjiwo Ditarik Rp 1,5 Juta Tuai Kritik Sana-sini

Tim detikJogja - detikJogja
Selasa, 23 Jul 2024 11:47 WIB
A large payment in Indonesian cash
Ilustrasi pungutan di Bangunjiwo. (Foto: Getty Images/iStockphoto/CraigRJD)
Jogja -

Keluhan seorang warga pendatang di Kalurahan Bangunjiwo, Bantul, terkait penarikan biaya administrasi senilai Rp 1,5 juta viral di media sosial. Nominal biaya administrasi yang disebut kebijakan lama itu pun menuai kritik sana-sini.

Bupati Bantul Abdul Halim Muslih menilai pungutan itu ilegal. Dia pun mengingatkan warganya jika hal itu berpotensi melanggar hukum.

"Itu jelas ilegal, tidak ada peraturan perundangan dan ketentuan tentang kependudukan. Dari luar Bantul ke Bantul nggak ada pungutan apa pun, selain dokumen catatan sipil dan kependudukan yang ditetapkan oleh Disdukcapil," kata Halim, Senin (22/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pungutan itu tidak sah, dan saya ingatkan seluruh warga Bantul untuk tidak melakukan pungutan-pungutan liar. Karena itu bisa berakibat hukum, ya. Itu saja komentar saya, mudah-mudahan segera sadar," sambungnya.

Di sisi lain, Halim memastikan bakal mendalami kasus tersebut. Dia menuturkan setiap kasus yang bakal ditangani perlu pembuktian terlebih dulu.

ADVERTISEMENT

"Saya kan belum update info ini nanti kita telusuri kepada panewu, lurah, dukuh sekitar. Nanti kita minta untuk memastikan apakah informasi itu benar. Masih perlu divalidasi dan klarifikasi, saya akan minta Panewu Kasihan untuk memastikan kebenaran informasi tersebut," ujarnya.

Tak hanya dari Bupati Bantul, kritik juga disampaikan dari Perwakilan Ombudsman RI (ORI) DIY. Kepala Perwakilan ORI DIY Budhi Masturi pun mempertanyakan dasar hukum pungutan itu.

"Yang pasti, warga itu sudah bayar pajak dan desa mendapat kucuran APBN/APBD kan sumbernya antara lain pajak-pajak yang dibayar warga. Ini dipertanyakan kenapa masih dibebani pungutan sebesar itu," kata Budhi saat dihubungi detikJogja, Senin (22/7).

"Apakah pungutan itu legal atau tidak? Dasar hukumnya apa? Ada kewenangan tidak? Ini yang perlu dicermati," sambungnya.

Menurutnya, penarikan biaya administrasi seharusnya mengacu dengan undang-undang yang berlaku. Hal ini agar tidak terjadi pungutan liar.

"Sebab, menurut UUD segala sesuatu pungutan keuangan yang bersifat memaksa, harus diatur dalam undang-undang. Seperti di 23A UUD 1945 menyebutkan, setiap pajak dan pungutan lain yang memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, bukan dengan peraturan pemerintah," ujarnya.

Budhi pun mengimbau kepada warga yang keberatan terhadap pungutan yang tidak bersumber pada undang-undang untuk menindaklanjuti di jalur hukum.

"Jika ada warga yang merasa keberatan, berhak melakukan upaya keberatannya melalui jalur-jalur yang ada dan disediakan negara," kata Budhi.

Di sisi lain, jika hal ini merupakan kearifan lokal perlu ditegaskan tentang payung hukumnya. Tujuannya agar tidak melanggar koridor hukum.

"Kalau misal ini kearifan lokal itu bagus, dan memang harus dikembangkan sebagai modal sosial bangsa Indonesia. Tetapi harus sejalan dengan hukum dan perundang-undangan," tegasnya.

Lurah-Forum RT Kompak Bilang Kearifan Lokal

Curhatan dari warga pendatang itu mendapat respons dari Lurah Bangunjiwo Pardja. Pardja menyebut aturan penarikan biaya administrasi ke warga baru di tingkat RT memang tidak ada, tapi dia menilainya sebagai kearifan lokal.

"itu adalah kearifan lokal di masing-masing RT. Selain itu, semua RT setahu saya melakukannya dan tidak hanya di wilayah saya (Bangunjiwo) itu (penarikan biaya administrasi warga baru) berlaku," kata Pardja saat dihubungi wartawan, Minggu (21/7).

Pardja menyebut alasan penarikan biaya administrasi bagi warga baru karena mereka datang ke satu wilayah yang fasilitas dan prasarananya telah ada. Uang itu pun dinilai menjadi pemasukan kas RT.

"Jadi sekali lagi itu, kearifan lokal, meski secara peraturan tertulis tidak ada dan tidak diperbolehkan," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Forum Komunikasi RT (FKRT) Bangunjiwo, Joko Parjoko. Joko menyebut penarikan iuran ke pendatang baru itu berasal dari kesepakatan warga.

"Kalau di wilayah saya terus terang peraturan itu kearifan lokal dari warga setempat dan sudah berlangsung sejak lama," ucap Joko.

Dia menyebut iuran itu ditarik untuk memudahkan warga saat menggelar acara besar dan membutuhkan tenda hingga bekakas. Menurutnya, warga yang telah membayar iuran diperbolehkan menggunakan bekakas tersebut.

"Di kampung ada inventaris RT berupa bekakas, tenda, tikar. Nah, dengan membayar iuran warga sudah berhak menggunakannya," ucapnya.

Dia menjelaskan bekakas hingga tenda itu nantinya bakal diantar oleh kelompok rewang ke rumah peminjam. Menurutnya, hal ini lebih murah dibandingkan menyewa ke vendor.

"Nanti pun sudah diambilkan dan diantar oleh kelompok rewang, tapi dengan catatan di awal harus ada kontribusi segitu. Karena kalau dibandingkan menyewa vendor malah lebih mahal. Kalau pun ada kematian nanti sudah disiapkan warga, ubarampe, keluarga tinggal duduk saja," kata Ketua RT 01 ini.

Joko menyebut uang hasil iuran juga digunakan untuk menunjang operasional warga saat berkegiatan, seperti menyediakan konsumsi. Joko menduga Ketua RT setempat tidak menyampaikan dengan jelas sehingga terjadi miskomunikasi.

"Jadi di awal harus disampaikan, uang segini untuk ini-ini. Mungkin kemarin ada mis komunikasi kemarin. Kemarin saya sudah bilang kalau ada mediasi terkait hal tersebut saya siap," ucapnya.

Joko pun menyarankan jika ada yang keberatan dengan kebijakan itu untuk langsung menanyakan detailnya ke Ketua RT setempat. Menurutnya, kebijakan serupa juga diterapkan di daerah lainnya bahkan dengan nominal yang lebih besar.

"Alangkah baiknya yang bersangkutan tanya pak RT, diminta uang segitu buat apa, bukan malah menulis seperti itu di medsos. Karena di medsos tanggapannya beda-beda, ada yang menyesatkan dan provokasi. Apalagi di wilayah lain ada yang lebih parah lagi (untuk besaran iurannya)," katanya.




(ams/rih)

Hide Ads