Massa Demo di KPU DIY, Kecewa Putusan MK-Singgung Orde Baru

Massa Demo di KPU DIY, Kecewa Putusan MK-Singgung Orde Baru

Adji G Rinepta - detikJogja
Rabu, 24 Apr 2024 16:05 WIB
Massa aksi di depan Kantor KPU DIY, Kota Jogja, Rabu (24/4/2024).
Massa aksi di depan Kantor KPU DIY, Kota Jogja, Rabu (24/4/2024). Foto: Adji G Rinepta/detikJogja
Jogja -

Massa yang menamakan diri Jagad menggeruduk kantor KPU DIY, Kota Jogja. Aksi mereka merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa hasil Pilpres 2024.

Pantauan detikJogja di lokasi, massa mulai datang ke kantor KPU DIY sekitar pukul 14.00 WIB. Mereka membentangkan dua spanduk besar bertulis 'Bangun Oposisi Rakyat'. Selain itu, massa juga membawa beberapa poster-poster.

Massa terdiri dari berbagai unsur, seperti mahasiswa, aktivis, akademisi, hingga Amnesty International Indonesia. Massa menyuarakan kecurangan Pilpres 2024 dan menuntut dibangunnya oposisi rakyat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid membeberkan kritik-kritik yang disuarakan massa aksi pada hari ini. Yang paling utama yakni putusan MK soal sengketa hasil Pilpres.

"Kami tentu saja sangat kecewa terhadap putusan MK, seperti juga banyak disuarakan para guru besar. Kami sulit menerima dengan logika hukum, bahwa ternyata MK tidak mengakui adanya praktek nepotisme di dalam pemilu, padahal nepotisme itu nyata adanya," jelas Usman kepada wartawan di lokasi aksi, Rabu (24/4/2024).

ADVERTISEMENT

Usman menjelaskan, kecurangan itu bukan terjadi pada kalkulasi hasil pemilu tetapi pada proses sebelum pemilu dan saat pemilu berlangsung. Yang paling kentara yakni perubahan syarat minimal usia capres-cawapres yang akhirnya meloloskan anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

"Yang kedua penyalahgunaan sumber daya negara. Presiden menggunakan bantuan sosial yang seolah datang dari dirinya, dan itu diperkuat lagi oleh menteri-menteri yang berkampanye untuk kemenangan anaknya Presiden, keponakannya Ketua MK, melalui bansos yang dipolitisasi," paparnya.

"Penyalahgunaan lainnya pengerahan aparat keamanan yang akhirnya berperan tidak netral. Termasuk sejumlah guru besar mengatakan mereka diintimidasi oleh aparat keamanan khususnya kepolisian. Bahkan mereka diminta melakukan sebaliknya," imbuhnya.

Usman menegaskan jika ini bukan kritik dari pihak yang kalah dalam Pemilu. "Saya kira kritik pemilu sudah dinyatakan banyak orang, banyak kampus yang tidak punya afiliasi pada kelompok yang kalah dalam pemilu," tegasnya.

Lebih lanjut, Usman berpandangan jika masa Orde Baru akan kembali lagi setelah Pemilu ini. Bahkan ia khawatir jika setelah kejadian pemilu akan ada peristiwa politik yang lebih parah.

"Mungkin ini pemilu yang akan menjadi awal pemilu-pemilu yang ke depan hanya seremoni, seperti di masa Orde Baru. Saya kira kita memasuki masa-masa kedaruratan demokrasi yang sangat genting," ujarnya.

"Saya khawatir ini bukan situasi yang terburuk, saya khawatir akan ada peristiwa-peristiwa politik yang bisa membuat demokrasi sekarat tapi akhirnya membunuh demokrasi," imbuh Usman.

Karena MK telah memutuskan, selanjutnya menurut Usman yang bisa dilakukan adalah membentuk adanya oposisi. Ia pun secara gamblang berharap kepada PDI Perjuangan untuk tetap mengambil jalur oposisi.

"Saya kira masyarakat sipil terus menyuarakan kejanggalan pemilu, kecurangan pemilu, dan penyalahgunaan sumber daya negara dalam proses pemilu," ungkap Usman.

"Masyarakat sipil juga akan mendukung lahirnya oposisi, bukan hanya oposisi di dalam masyarakat sipil tetapi di dalam parpol. Kita berharap salah satu partai atau mungkin satu-satunya partai yang cukup keras cukup kritis dalam pemilu ini, PDIP, bisa bertahan jadi oposisi," tutupnya.




(rih/apl)

Hide Ads