Gudeg bonggol gedhang (pisang) asal Kabupaten Gunungkidul saat ini telah berlabel Warisan Budaya Tak Benda (WBTb). Ternyata, untuk membuat gudeg tersebut memerlukan pisang jenis khusus. Seperti apa rasanya?
Salah satu pembuat dan penjual gudeg bonggol gedhang ialah Mei Widiastuti (46) warga Karanggumuk 2, Karangrejek, Wonosari, Gunungkidul. Dia menjelaskan, bahwa keahliannya memasak gudeg tersebut merupakan turun-temurun. Mei mengaku hanya ada satu jenis pohon pisang yang cocok untuk menjadi bahan baku pembuatan gudeg.
"Saya pakai pisang kepok karena memiliki tekstur yang lebih empuk dan tidak ada getahnya sama sekali. Karena dulu pernah coba pakai jenis pisang yang lain, ternyata getahnya sangat banyak dan rasanya itu pahit," katanya kepada wartawan di Wonosari, Gunungkidul, Kamis (29/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara rinci, Mei mengungkapkan bahwa bukan buah pisang yang digunakan dalam pembuatan gudeng bonggol gedhang. Namun bagian bonggol atau di sekitar akar pohon pisang.
"Jadi pohon pisang yang belum berbuah itu dicabut dengan akarnya kemudian yang diambil bonggolnya," ujarnya.
Setelah itu, Mei mencuci bonggol pisang kepok hingga bersih dan memotongnya tipis-tipis. Selanjutnya, potongan bonggol tersebut Mei cuci kembali.
"Lalu direbus 15 menit untuk menghilangkan rasa getah. Nah, setelah direbus dicuci lagi pakai air bersih," ucapnya.
Bonggol pisang itu, kata Mei, kemudian diperas. Semua itu untuk mengurangi kadar air pada bonggol pisang yang sudah berupa potongan tipis-tipis.
![]() |
"Potongan bonggol terus dimasak dan dikasih bumbu gudeg seperti pada umumnya," katanya.
Adapun bumbu gudeng bonggol gedhang buatan Mei menggunakan bumbu berupa bawang merah, bawang putih, gula merah, kemiri, ketumbar, santan, daun salam dan daun jati. Untuk rasa, Mei memberikan sedikit garam, gula pasir, dan penyedap rasa.
"Memasaknya bisa jadi gudeg basah dan gudeg kering. Kalau gudeg basah dimasak sebentar saja dan kalau gudeg kering ya dimasak sampai santannya berkurang," ujarnya.
Menurutnya, proses pemasakan gudeng memakan waktu berjam-jam. Selain itu, Mei menyebut jika semakin lama proses pemasakan maka rasa yang dihasilkan semakin enak.
"Karena bumbunya semakin meresap," ucapnya.
Sedangkan untuk penyajiannya biasanya bersama nasi, opor ayam kampung hingga sayur lombok. Pasalnya, semua itu untuk mendapatkan rasa gurih, manis dan pedas.
"Tapi dimakan biasa dengan nasi juga bisa, tergantung selera saja," katanya.
Menyoal harga, Mei menyebut jika harga gudeg bonggol gedhang sangat terjangkau. Di mana satu mangkuk dibanderol dengan harga Rp 5 ribu.
"Kalau besekan itu Rp 20 ribu per porsinya," ucapnya.
Salah satu pembeli, Yuwono mengaku rasa gudeg bonggol gedhang cenderung manis. Selain itu, tekstur gudeg tersebut lebih padat.
"Enak dan teksturnya empuk seperti daging sapi," katanya.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Kebudayaan telah menetapkan 32 karya budaya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb).
Dalam sambutannya di acara penyerahan sertifikat WBTB di Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan, Kota Jogja, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan penetapan ini merupakan apresiasi tertinggi kepada budaya.
"Sertifikat WBTb DIY yang hari ini diserahkan tentu saja merupakan hal yang patut kita apresiasi bersama. Ini adalah salah satu wujud pengakuan tertinggi atas values yang menjadi jati diri DIY," kata Sultan dalam sambutannya, Senin (26/5/2025).
Sultan menyampaikan pelestarian WBTb tidak sekadar menjaga bentuk atau penampilan tradisi, tetapi juga menjaga nilai-nilai, makna, dan fungsi sosial budaya agar tetap hidup.
Sedangkan untuk Kabupaten Gunungkidul menambah empat WBTb. Keempatnya adalah Tradisi Sambatan Gunungkidul, Upacara Adat Bersik Kali Gunungkidul, Upacara Adat Njaluk Udan Andongsari dan Gudeg Bonggol Gedhang.
(afn/apl)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan