Meriahnya Kirab Saparan Bekakak Ambarketawang, Lestari Sejak 1756

Meriahnya Kirab Saparan Bekakak Ambarketawang, Lestari Sejak 1756

Dwi Agus - detikJogja
Jumat, 23 Agu 2024 18:02 WIB
Kirab Saparan Bekakak Ambarketawang di Kantor Kalurahan Ambarketawang, Gamping, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (23/8/2024).
Kirab Saparan Bekakak Ambarketawang di Kantor Kalurahan Ambarketawang, Gamping, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (23/8/2024). Foto: Dwi Agus/detikJogja
Sleman - Kirab Saparan Bekakak hari ini dari Kantor Kalurahan Ambarketawang menuju Situs Gunung Gamping, Kabupaten Sleman, berlangsung meriah. Upacara adat Saparan Bekakak ini lestari sejak 1756, bermula pada masa awal pembangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

"Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1756. Jadi seusai pindah ke Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dari Karaton Ambarketawang dan tetap lestari hingga sekarang," kata Ketua Saparan Bekakak Ambarketawang 2024, Wahyu Saktiaji saat ditemui di Kantor Kalurahan Ambarketawang, Jumat (23/8/2024).

Dijelaskan, tradisi ini awalnya sebagai doa permohonan selamat. Berdasarkan cerita rakyat, awalnya kawasan Ambarketawang adalah perbukitan gamping. Warga sekitarnya bekerja sebagai penambang batu gamping. Batu itu untuk membangun istana Karaton dan bangunan lainnya.

Kirab Saparan Bekakak Ambarketawang di Kantor Kalurahan Ambarketawang, Gamping, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (23/8/2024).Kirab Saparan Bekakak Ambarketawang di Kantor Kalurahan Ambarketawang, Gamping, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (23/8/2024). Foto: Dwi Agus/detikJogja

Dalam perjalanannya, tak sedikit penambang yang juga warga sekitar Gunung Gamping menjadi korban terkena runtuhan batuan gamping. Termasuk salah satunya tokoh sekaligus juru kunci Gunung Gamping, Ki Wiro Suto.

Berawal dari sejumlah kejadian ini, timbul keprihatinan dari sang raja, Sri Sultan Hamengku Buwono I. Raja lalu bertitah agar warganya membuat upacara adat sebagai permohonan selamat kepada Tuhan agar tak ada lagi musibah runtuhnya Gunung Gamping.

"Ki Wiro Suto ini adalah salah satu abdi dalem yang dipercaya oleh Ngarso dalem Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk menghuni dan menjaga kawasan Gunung Gamping," ujar Wahyu.

Saparan Bekakak, kata Wahyu, merupakan perwujudan doa raja dan warganya. Wujudnya berupa dua pasang boneka bekakak yang terbuat dari beras ketan dan beras Jawa yang digiling menjadi tepung.

Tepung itu kemudian dimasak untuk bahan baku pembentuk boneka. Ada pula cairan gula merah atau gula jawa sebagai simbol darah. Boneka bekakak ini diritualkan di Situs Gunung Gamping sebagai wujud persembahan.

"Boneka bekakak ini dikirab dari Kantor Kalurahan Ambarketawang menuju dua tempat. Sepasang pertama disembelih di dekat kampus STIKES lalu satu lagi di Gunung Gamping," jelas Wahyu.

Boneka Saparan Bekakak dibuat secara gotong royong oleh warga Ambarketawang. Prosesi diawali sejak Kamis pagi (22/8/2024) di wilayah Dusun Gamping Kidul. Setelah kedua pasang boneka jadi, maka berlanjut prosesi Midodareni pada malam harinya.

Bersamaan dengan Midodareni juga berlangsung pengambilan air suci dari sumber mata air Tirta Donojati dan Tirta Mayangsari. Lokasinya berada di Pesanggrahan Karaton Ambarketawang. Setelah itu air suci dan boneka bekakak diinapkan di Kantor Kalurahan Ambarketawang hingga prosesi pada hari ini

"Penyembelihan boneka bekakak ini perlambang doa keselamatan. Kirab dikawal Bregada Mangkubumi di barusan terdepan dan ada 16 ogoh-ogoh dibelakangnya," kata Wahyu.

Puncak prosesi ini adalah kirab Saparan Bekakak dari Kantor Kalurahan Ambarketawang menuju Situs Gunung Gamping. Prosesi ini juga menghadirkan puluhan ogoh-ogoh. Selain itu juga ada gunungan hasil bumi dan bregada prajurit yang turut mengawal kirab.

Setelah ritual doa selesai, dua pasang boneka bekakak dikirab keluar dari Kantor Kalurahan Ambarketawang menuju area Situs Gunung Gamping.

"Dulu untuk mendoakan keselamatan warga Ambarketawang yang mayoritas sebagai penambang batu gamping. Untuk saat ini juga buat mendoakan keamanan dan kesejahteraan Indonesia," pungkas Wahyu.


(dil/ahr)

Hide Ads