Masa Emas dan Meredupnya Pabrik Gula di Kabupaten Sleman

Masa Emas dan Meredupnya Pabrik Gula di Kabupaten Sleman

Dwi Agus - detikJogja
Minggu, 23 Jun 2024 12:00 WIB
Pabrik Gula Klatjie yang hilang kini telah menjadi bangunan SMKN 1 Godean, Jumat (21/6/2024).
Pabrik Gula Klatjie yang hilang kini telah menjadi bangunan SMKN 1 Godean, Jumat (21/6/2024). Foto: Dwi Agus/detikJogja
Sleman -

Kemunculan pabrik gula era pemerintah kolonial Belanda di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dimulai pada tahun 1870. Sejak saat itu belasan pabrik gula pun tumbuh di Jogja.

Pabrik gula itu mulai dibangun saat Pemerintah Hindia Belanda mengesahkan Agrarische Wet. Aturan ini membuka pintu perekonomian bagi swasta.

Berdasarkan arsip Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Sleman setelah Perjanjian Agrarische Wet, wilayah tanah Mataram mulai dibanjiri investor yang tentu saja diawasi pemerintahan Hindia Belanda. Fokus utama dalam penanaman modal berada pada sektor pertanian dan perkebunan. Sektor ini dipandang sangat menjanjikan dalam dunia internasional kala itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Termasuk salah satunya Kabupaten Sleman. Tercatat setidaknya ada tujuh pabrik gula yang sempat eksis pada masa itu. Di antaranya pabrik gula Medari, Tjebongan, Demak Ijo, Reweoloe, Klatjie, Kalasan dan Pabrik Gula Beran," jelas Plt Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sleman Ery Widaryana saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (21/6/2024).

Perkebunan tebu mulai berkembang sering adanya program tanam paksa atau Cultuur-Stelsel pada medio tahun 1830 hingga 1850. Dibarengi dengan kemunculan pabrik-pabrik gula setelahnya. Bertambah kuat saat adanya pembangunan jalur kereta api oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

ADVERTISEMENT

Diresmikan tahun 1895, jalur kereta ini menghubungkan jantung Kota Jogja dengan kawasan perkebunan di Palbapang dan Srandakan, Kabupaten Bantul. Menyusul setelahnya jalur ke Sewugalur pada tahun 1915 dan rute Ngabean hingga Pundong pada tahun 1917.

"Lalu ada ruas Jogja sampai Tempel Magelang pada tahun 1903. Rute ini melewati Pabrik Gula Beran, Medari dan sejumlah pabrik gula lainnya di sisi utara," katanya.

Masa keemasan pabrik-pabrik gula di Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat perlahan meredup pada tahun 1931. Kala itu muncul perjanjian dengan nama Charbourne Agreement. Disebutkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda wajib mengurangi pasokan produksi gula di Jawa dari sekitar 3 juta ton menjadi 1.4 juta ton per tahun.

Kondisi semakin diperparah dengan tragedi Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948. Kondisi perang kala itu membuat sejumlah infrastruktur porak-poranda, tak hanya jembatan, jalan tapi juga pabrik-pabrik gula. Dampaknya juga signifikan ke sejumlah pabrik gula di Sleman kawasan barat.

"Sekarang bekas bangunan yang mungkin dahulunya sebagai saksi sejarah saat berlangsungnya era kejayaan produksi gula itu, kini sudah rata dengan tanah dan telah berubah menjadi permukiman penduduk," ujar Ery.

Sisa artefak Pabrik Gula Rewoeloe yang terletak di tengah persawahan Dusun Pirak Bulus, Sidomulyo, Godean, Jumat (21/6/2024).Sisa artefak Pabrik Gula Rewoeloe yang terletak di tengah persawahan Dusun Pirak Bulus, Sidomulyo, Godean, Jumat (21/6/2024). Foto: Dwi Agus/detikJogja

Pos Jaga Kolonial 'Artefak' Pabrik Gula di Godean

Peristiwa ini tentu berdampak pada keberadaan pabrik gula di kawasan Godean hingga Gamping. Mayoritas telah hilang jejak dan tidak meninggalkan artefak besar. Seperti Pabrik Gula Klatjie yang kini berubah menjadi bangunan SMKN 1 Godean dan Pabrik Gula Rewoeloe yang hilang tak bersisa.

Berdasarkan buku terbitan Kundha Kabudayan Sleman yang berjudul Yang Tersisa Dari Pabrik Gula di Wilayah Sleman yang ditulis oleh Achmad Sofyan, disebutkan ada Pabrik Gula Klatjie yang terletak di Kalurahan Sidoagung. Pabrik ini memulai operasional pada tahun 1886.

"Produksi Pabrik Gula Klatjie mencapai puncaknya tahun 1903 hingga 1905. Hasil produksi pabrik Klatjie terus meningkat," kata Kasi Sejarah Kundha Kabudayan Sleman, Mei Hartini.

Perkembangan inilah yang memicu dibangunnya sejumlah pos penjagaan. Tujuan utama kala itu untuk menjaga aset perkebunan tebu, rute pengiriman panen dan pabrik gula. Tentunya ini memiliki korelasi atas berdirinya sejumlah pos jaga kolonial di Kapanewon Godean.

Kondisi ini dimungkinkan karena kala itu situasi kawasan Godean belum kondusif. Sehingga rawan terjadi pencurian bahkan pembakaran ladang tebu. Hingga mendekati puncaknya saat terjadi konflik Agresi Militer Belanda II 1948.

"Pabrik gula ini sempat mengalami pergantian manajemen. Perkembangan Pabrik Gula Klatjie memasuki babak baru pada saat kepemilikan pabrik diambil alih oleh Cultuurmaatschappij yang berlokasi di Amsterdam pada tahun 1910. Pengambilalihan pabrik Klatjie berlangsung sampai akhir tahun 1940," ujarnya.

Satu-satunya artefak yang masih bisa terlacak adalah keberadaan pos jaga kolonial. Sejarawan UGM Jogja Margana menyebut pos ini sebagai tolgate. Dia lalu menyebut buku yang ditulis oleh Peter Carey tentang sejarah orang Tiongkok dan masyarakat Jawa.

"Penyewa gerbang-gerbang tol yang kerjanya menarik tarif bagi orang yang lewat membawa barang dagangan dari satu distrik ke distrik lain. Kalau dari buku Peter Carey mungkin seperti itu," katanya.




(apu/cln)

Hide Ads