Salah satu industri yang cukup banyak menyerap tenaga kerja pribumi di Cirebon pada masa Hindia Belanda adalah pabrik gula. Pada masa Hindia Belanda Cirebon memiliki beberapa pabrik gula seperti Pabrik Gula Sindanglaut, Pabrik Gula Gempol, dan Pabrik Gula Karangsuwung.
Catatan mengenai kehidupan buruh pabrik gula di Cirebon juga banyak diberitakan dalam beberapa surat kabar Hindia Belanda seperti surat kabar Java Bode edisi 10 Oktober 1868. Kala itu, pada abad ke 19, pabrik gula mulai bermunculan di Cirebon.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, para pemilik pabrik gula banyak merekrut pekerja lepas dari kalangan penduduk pribumi, mereka kebanyakan dipekerjakan sebagai penanam tebu yang menjadi bahan baku utama pembuatan gula.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kehidupan buruh di Cirebon pada masa Hindia Belanda cukup sulit. Saat itu, meskipun mereka sudah bekerja, buruh tidak diberikan upah yang layak, bahkan tidak diberi upah sama sekali oleh para mandor dan pemilik pabrik gula. Para mandor dan pemilik pabrik gula beralasan bahwa buruh pribumi melakukan pekerjaannya secara sukarela, sehingga tidak ada kewajiban dari mereka untuk membayar upahnya.
Karena kecewa dengan keadaan tersebut, sebanyak 100 lebih buruh pabrik dari Losari, Kabupaten Cirebon datang ke kota untuk mengadu kepada gubernur Jenderal tentang paksaan dan kekerasan selama bekerja, kekerasan tersebut sengaja dilakukan atasan mereka agar buruh mau tetap bekerja secara sukarela.
Mendengar keluhan dari para buruh tersebut, Gubernur Jenderal memerintahkan kepada pejabat daerah untuk melakukan penyelidikan. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukan bahwa kerja sukarela itu tidak ada, yang ada hanyalah kerja paksa.
"Penyelidikan yang berulang-ulang oleh pengawas yang bekerja sama dengan Bupati Kuningan ketika itu, yang sekarang menjadi Bupati Cirebon dan teman residen, seorang yang tercerahkan dan tidak memihak, menghasilkan keterangan bahwa kerja sukarela itu palsu, dan tidak lain hanyalah kerja paksa yang terselubung," tulis surat kabar Java Bode 10 Oktober 1868.
Salah satu alasan kenapa banyak penduduk pribumi yang terjebak dalam kerja paksa adalah karena saat itu banyak penduduk pribumi yang hidup dalam kondisi miskin dan kelaparan, yang membuat mereka tergoda dengan tawaran pekerjaan dari para mandor pabrik gula.
Pada tahun 1936 kehidupan buruh pabrik gula masih belum sejahtera, mengutip surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 20 November 1936, upah pekerja pabrik gula di Cirebon mengalami penurunan dari 20 sen per hari menjadi 15 sen per hari. Bahkan ada yang lebih rendah dari 15 sen, dengan jam kerja selama 12 jam per hari.
Karena upah yang minim, membuat buruh harus berhemat, mereka hanya makan satu kali dalam sehari, dengan biaya sekali makan 2.5 sampai 3 sen.
Kala itu, masih belum ada upah minimum bagi para buruh pabrik gula. Sulitnya menentukan upah minimum bagi buruh pabrik gula, disebabkan karena lokasi geografis dan ekonomi pabrik gula yang berbeda beda. Hal ini membuat pabrik gula di Keresidenan Cirebon memberi upah berbeda-beda.
![]() |
"Pabrik Gula Kadipaten dan Pabrik Nieuw-Tersana memberikan upah terbaik, Pabrik Gula Gempol lebih rendah, disusul Sindanglaoet dan Djatiwangi. Perbedaan-perbedaan ini terutama disebabkan oleh tradisi manajemen yang berbeda pada setiap pabrik. Alasan ekonomi juga berperan, misalnya Gempol terletak di wilayah yang paling padat penduduknya, di mana upah di bidang pertanian juga lebih rendah," tulis surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 20 November 1936.
Selain belum adanya standar upah, pada tahun 1936 juga masih ditemukan praktik upah yang tidak dibayarkan oleh para mandor, meski para buruh sudah seharian bekerja. Saat perekrutan tenaga kerja, para mandor juga lebih mengutamakan keluarga dan orang terdekatnya terlebih dahulu untuk bekerja di pabrik gula.
Baru, pada tahun 1937, para buruh pabrik gula mulai memiliki upah minimum, bahkan mengalami kenaikan upah seperti yang ditulis dalam surat kabar De Locomotif edisi 1 November 1937. Kala itu, pada tanggal 1 November beberapa pabrik gula untuk mulai menaikan upah para pekerjanya.
Untuk pekerja yang tidak terlalu terampil dari sebelumnya 20 sen, naik menjadi 25 sen per hari, untuk pekerja lapangan dan mereka yang sebelumnya berpenghasilan 50 sen juga akan mengalami kenaikan 5 sen per hari
"Mereka yang berpenghasilan 50 sen akan menerima kenaikan 5 sen, sementara mereka yang berpenghasilan dari 50 sen hingga 1 gulden akan menerima kenaikan 10 sen, yang berarti bahwa untuk kategori ini kenaikan upahnya adalah antara 10 dan 14 persen," tulis surat kabar De Locomotif edisi 1 November 1937.
Salah satu pabrik gula di Cirebon yang menaikan upah pekerjanya adalah pabrik gula Sindanglaut, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon yang menaikan upah pekerjanya sebesar 10 persen. Menurut pemerintah Hindia Belanda, dengan menaikan upah semoga dapat memberikan kesejahteraan bagi para penduduk Cirebon.
"Kami memahami bahwa pabrik gula Sindanglaut di dekat Cheribon telah memutuskan untuk menaikkan upah pekerja pribumi sebesar sepuluh persen, berlaku mulai hari ini, 1 November. Beberapa pabrik gula lainnya akan mengikuti contoh ini, yang akan menguntungkan kesejahteraan penduduk di wilayah Cirebon," tulis surat kabar De Locomotif edisi 1 November 1937.
(sud/sud)