Sejumlah kasus penyelewengan tanah kas desa (TKD) yang dilakukan oleh mafia tanah merebak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) beberapa waktu terakhir. Pembeli properti di Jogja cermat mengecek legalitas agar tidak menjadi korban.
Seperti diketahui, hingga saat ini sudah ada tiga kasus mafia tanah kas desa yang telah naik ke proses penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY. Ketiganya berada di Kabupaten Sleman, yakni di Kalurahan Caturtunggal, Maguwoharjo, dan Candibinangun.
Bahkan untuk kasus mafia TKD Caturtunggal, sudah ada pelaku yang dijatuhi vonis oleh Pengadilan Negeri (PN) Jogja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DIY M Anshar Wahyuddin menjelaskan, selain ketiga titik tersebut, pihaknya saat ini tengah melakukan penyelidikan di dua lokasi lain yang disinyalir juga ada praktik mafia tanah. Kedua titik tersebut juga berada di wilayah Sleman.
"Untuk penyelidikan ada dua TKD, yaitu di Widomartani (Kecamatan Ngemplak) dan di Tegaltirto (Kecamatan Berbah)," terang Anshar di Kantor Kejati DIY, Selasa (2/1/2023).
Sementara itu, Kepala Kejati DIY Ponco Hartono menjelaskan titik-titik TKD yang sudah dan akan diusut pihaknya, merupakan TKD yang telah masuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Pemda DIY yang kemudian diserahkan ke Kejati DIY.
"Untuk proses sementara ini kita dari LHP yang kita terima dari Gubernur, jadi Gubernur (membuat) Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Inspektorat diserahkan kepada kami," terangnya.
Meski begitu, lanjut Ponco, bukan tidak mungkin kasus mafia tanah serupa juga ada di lokasi lain. Namun menurutnya, prioritas Kejati DIY saat ini adalah perkara yang telah masuk LHP Pemda DIY.
"Saya kira di tempat lain juga ada, tapi memang kami skala prioritas (dari) LHP yang diberikan oleh Gubernur kepada kami untuk segera tangani," imbuh Ponco.
Maraknya kasus mafia tanah di Jogja membuat calon konsumen harus cermat dan hati-hati saat ingin membeli properti utamanya hunian. Sebab, dari beberapa kasus yang ada, banyak konsumen yang merasa tertipu.
![]() |
Sekjen Asosiasi Pengembangan Rumah Sehat Nasional (Apernas) DPW DIY, Suranto pun membeberkan kiat-kiat agar para pembeli tak terjerumus dalam lingkaran mafia tanah. Yakni dengan mencari tahu asal-usul pengembang perumahannya.
"Selama pengembang tersebut dia kantornya jelas di mana, kemudian dia sudah berdiri berapa lama, dia bekerja sama dengan bank pemerintah, ada kredibilitasnya, dan tergabung dalam asosiasi," jelas Suranto kepada detikJogja, Sabtu (27/1).
"Itu biasanya kredibilitasnya sudah terjamin. Karena kalau dengan asosiasi sudah ada legalitasnya apalagi kalau sudah dengan bank pemerintah dalam hal ini Bank BTN ya," ujarnya melanjutkan.
Terkait hal tersebut, Corporate Secretary Bank Tabungan Negara (BTN) Ramon Armando pun memastikan perumahan yang terasosiasi dengan program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank BTN dijamin memiliki legalitas yang jelas.
Ramon menjelaskan, pengurusan sertifikat tanah adalah tanggung jawab dari pengembang atau developer. Untuk itu, Bank BTN tidak akan menyalurkan KPR jika developer belum memastikan sertifikat sudah aman dan legal.
"Sejak tahun 2019 kami di Bank BTN telah memastikan kepada para developer untuk memecahkan sertifikat induk, sehingga sertifikat rumah para nasabah juga aman. Jika sertifikat tidak dipecah, maka Bank BTN tidak akan menyalurkan kreditnya," ujarnya kepada detikJogja, Selasa (30/1).
"Memang benar, pada dasarnya tanggung jawab penerbitan sertifikat ada pada developer. Namun karena komitmen Bank BTN dalam memberikan pelayanan terbaik kepada nasabah, perseroan secara maksimal dan aktif terlibat dalam menyelesaikan permasalahan tersebut," pungkas Ramon.
(ahr/apu)
Komentar Terbanyak
PDIP Jogja Bikin Aksi Saweran Koin Bela Hasto Kristiyanto
Cerita Warga Jogja Korban TPPO di Kamboja, Dipaksa Tipu WNI Rp 300 Juta/Bulan
Jokowi Diadukan Rismon ke Polda DIY Terkait Dugaan Penyebaran Berita Bohong