Warga di Pedukuhan Besole, Kalurahan Poncosari, Kapanewon Srandakan, Kabupaten Bantul memproduksi briket atau bahan pembakaran. Mereka memanfaatkan sampah mulai dari batok kelapa hingga kulit kacang koro.
Pantauan detikJogja, tampak beberapa ibu-ibu tengah sibuk menenteng plastik besar berisi bubuk berwarna hitam di Bank Sampah Amanah. Selanjutnya, bubuk tersebut dituangkan ke dalam ember berwarna hitam dengan ukuran cukup besar.
Lebih lanjut, salah satu wanita memasukkan campuran tepung kanji dan air ke dalam ember tersebut. Setelah tercampur, kemudian secara perlahan wanita itu memasukkan serbuk berwarna hitam ke dalam lubang mesin pencetakan briket.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tampak adonan briket keluar dari lubang pencetakan dan seorang wanita tengah sibuk memotongnya agar berbentuk kotak. Setelah itu, briket tersebut menjalani proses penjemuran agar kering dan siap pakai.
Dukuh Besole, Daryanto mengatakan, bahwa awalnya BUMDes Kalurahan Poncosari berupaya mengambil sampah rumah tangga di semua pedukuhan. Namun, karena setiap warga yang memanfaatkan layanan itu harus membayar Rp 25 ribu maka tokoh masyarakat setempat mengurungkan niatnya.
"Karena prosesnya itu harus bayar per bulan Rp 25 ribu kita selaku tokoh-tokoh masyarakat memilih mendirikan bank sampah," kata Daryanto kepada detikJogja di rumahnya, Senin (30/10/2023).
![]() |
Dengan memanfaatkan bangunan di depan rumahnya, Daryanto dan warganya mulai mendirikan Bank Sampah Amanah sekitar empat bulan lalu. Setelah mampu beroperasi, warga berinisiatif untuk mengelola sampah yang tidak laku jual.
"Akhirnya sampah dikumpulkan, yang laku ya dijual dan yang tidak laku dibuat campuran briket. Seperti plastik warna-warni itu kan hanya laku Rp 300 per kilogram, karena itu mending untuk campuran briket saja," ujarnya.
Selanjutnya, Daryanto mendapatkan cerita jika di Pedukuhan Babakan ada perajin olahan tempe koro. Namun, para perajin itu bingung mau diapakan kulit kacang koro tersebut.
"Lalu awal Oktober orang Pertamina ke sini dan ingin memfasilitasi pembuatan briket karena tahu di sini ada bank sampah. Tapi mereka ingin agar kulit koro di Babakan bisa diolah di bank sampah kami," ujarnya.
Mendapat tawaran tersebut Daryanto langsung mengiyakannya. Mengingat alat produksi briket di bank sampahnya masih termasuk belum masuk kategori modern.
"Beberapa pekan lalu masyarakat dapat pelatihan membuat briket yang benar dan pertengahan bulan Oktober alat produksi briket dari Pertamina akhirnya datang, harga alat itu ternyata di atas Rp 50 juta," ucapnya.
![]() |
Namun, kata Daryanto, alat pencetak briket mengalami kerusakan pekan lalu. Hal itu membuat pihaknya memperbaiki alat tersebut dan baru selesai hari ini.
"Produksi pertama seminggu yang lalu, tapi baru dua hari alatnya rusak, tidak bisa muter itu. Ya mungkin namanya baru belajar, terus sempat diperbaiki dan diambil hari ini. Jadi hari ini kita mulai produksi lagi," katanya.
Menurut Daryanto, beberapa warga sudah ada yang mencoba memanfaatkan briket tersebut. Hasilnya, nyala api yang dihasilkan lebih tahan lama ketimbang menggunakan arang.
"Kemarin coba ambil 14 briket untuk memasak air dua ceret ternyata apinya tahan lama, mungkin karena briket itu keras ya jadi bisa tahan lama," ujarnya.
Daryanto mengaku belum menjual produksi briket ini secara massal. Namun, Daryanto mengaku ada salah seorang warga yang bekerja sebagai pedagang makanan tertarik membelinya.
"Kemarin sudah ada penjual soto yang mau pesan. Untuk harga kita patok Rp 6-8 ribu per kilogram, kalau areng kan Rp 5-6 ribu per kilogram. Memang lebih mahal karena kan api yang dihasilkan briket lebih tahan lama," ucapnya.
Daryanto berharap upaya warganya dalam memproduksi briket bisa terus berkembang. Mengingat hal itu bisa menjadi tambahan penghasilan untuk warga, khususnya pengelola Bank Sampah Amanah.
"Rencana ke depan kita mau pakai bahan baku dari kulit koro, jadi biar berbeda dengan briket-briket lainnya," katanya.
Sementara itu, Bendahara Bank Sampah Amanah, Surani menjelaskan proses pembuatan briket warga Besole. Menurutnya, bahan baku briket adalah batok dan kulit kelapa yang sudah kering, ranting pohon, kulit koro, hingga dedaunan kering.
"Plastik juga sebenarnya bisa, tapi kan briketnya kurang bagus untuk memasak makanan dan minuman. Jadi kita lebih ke briket dengan bahan baku nonplastik agar bisa menyasar pengusaha kuliner karena briket kan pengganti arang," ucapnya.
Baca juga: Kembang Kempis Perajin Batik Pandak Bantul |
Apabila bahan-bahan tersebut kurang kering, Surani mengaku tidak mempermasalahkannya.
"Tidak terlalu kering tidak apa-apa, karena nanti dioven dengan temperatur 600 derajat selama tiga jam. Selanjutnya digiling hingga jadi serbuk lalu diaduk dengan adonan kanji kemudian dimasukkan ke dalam mesin pencetakan," ucapnya.
![]() |
Terkait bahan baku yang diperlukan, Surani menyebut untuk satu kali produksi memerlukan bahan baku campuran sampah kering hingga puluhan kilogram.
"Seperti hari ini kita pakai 50 kilogram bahan campuran batok dan kulit kelapa yang sudah kering, ranting pohon, kulit koro, hingga dedaunan kering. Nah, dari 50 kilogram itu jadi 10 kilogram briket," katanya.
Lanjut Surani, pihaknya masih membutuhkan lebih banyak lagi sampah kering untuk memproduksi briket. "Harapannya ya kita bisa dapat sampah kering lebih banyak lagi agar produksi briket juga lebih banyak," ucapnya.
Surani mengaku juga sudah menjajal penggunaan briket untuk kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, briket produksi Bank Sampah Amanah memiliki panas yang lebih tahan lama.
"Keunggulan tahan lama, panasnya awet dan bisa untuk pengganti gas kalau gas langka. Saya sudah buktikan 14 briket untuk merebus air dan masak nasi dan warna apinya itu biru," ucapnya.
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
Cerita Warga Jogja Korban TPPO di Kamboja, Dipaksa Tipu WNI Rp 300 Juta/Bulan
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi