Menariknya, kewajiban puasa juga berlaku bagi umat-umat terdahulu meskipun dengan bentuk yang berbeda. Dikutip dari buku Tuntunan Puasa menurut Al Quran dan Sunah karya Alik Al Adhim, Nabi Daud AS berpuasa selang sehari sepanjang hidupnya. Sementara itu, pada masa Nabi Zakaria AS, puasa mencakup larangan berbicara. Hal ini menunjukkan bahwa puasa memiliki kedudukan penting dalam syariat sebagai bentuk ketaatan dan penyucian diri.
Lantas, golongan apa saja yang diwajibkan untuk melaksanakan puasa Ramadhan? Mari kita simak penjelasannya!
Golongan yang Diwajibkan Puasa Ramadhan dan Dalilnya
Dihimpun dari buku Risalah Puasa yang disusun oleh Sultan Abdillah dan laman NU Online, terdapat lima golongan yang diwajibkan untuk berpuasa. Begini penjelasan lebih lengkapnya!
1. Muslim
Puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ibadah ini tidak diwajibkan bagi orang kafir, karena amalan tanpa iman tidak memiliki nilai di sisi Allah. Sebagaimana firman-Nya:
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal-amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (QS. Al-Furqan: 23)
Perintah puasa secara jelas ditujukan kepada orang-orang beriman, bukan kepada semua manusia secara umum. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Jika orang kafir masuk Islam, ia tidak perlu mengganti puasa yang pernah ditinggalkannya, karena dalam Islam, seseorang yang baru memeluk agama ini diampuni dosa-dosanya yang lalu. Allah berfirman:
"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, 'Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.'" (QS. Al-Anfal: 38)
2. Mukallaf
Selain Muslim, puasa Ramadhan juga diwajibkan bagi mereka yang telah mukallaf, yaitu orang yang baligh dan berakal. Baligh ditandai dengan salah satu dari tiga hal bagi laki-laki: keluarnya air mani dengan syahwat, tumbuhnya rambut kemaluan, atau mencapai usia 15 tahun. Sementara bagi perempuan, tanda baligh sama dengan laki-laki namun ditambah dengan haid.
Sedangkan akal adalah syarat agar seseorang dikenai kewajiban beribadah. Orang yang kehilangan akalnya, seperti gila, idiot, atau lanjut usia yang sudah tidak sadar, tidak diwajibkan berpuasa dan tidak perlu membayar fidyah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Pena diangkat dari tiga golongan: dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia baligh, dan dari orang gila sampai ia berakal atau sadar." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Dengan demikian, anak kecil belum diwajibkan berpuasa. Namun, sebaiknya anak kecil tetap dilatih agar terbiasa menjalankannya saat sudah baligh.
3. Mampu untuk Berpuasa
Golongan yang diwajibkan puasa Ramadhan berikutnya adalah mereka yang mampu. Jika seseorang tidak mampu karena sakit atau dalam perjalanan, ia diperbolehkan tidak berpuasa, tetapi harus menggantinya di hari lain atau membayar fidyah jika tidak memungkinkan untuk berpuasa di kemudian hari.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 184:
"Yaitu beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 184)
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat ini berlaku bagi mereka yang tidak mampu berpuasa, baik karena usia tua maupun kondisi lainnya, sehingga mereka menggantinya dengan memberi makan seorang miskin setiap harinya.
4. Mukim atau Menetap di Suatu Tempat
Seseorang yang bermukim atau tidak dalam perjalanan diwajibkan untuk berpuasa. Sebaliknya, bagi mereka yang sedang melakukan perjalanan (safar), diperbolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi wajib menggantinya di hari lain.
Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah ia mengganti dengan hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184)
Terkait jarak perjalanan yang membolehkan seseorang berbuka puasa, para ulama berbeda pendapat. Sebagian menetapkan jarak sekitar 88 km, sementara yang lain berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu, melainkan dikembalikan pada kebiasaan setempat.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:
"Jika tidak diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang jarak safar dan tidak pula dalam hakikat kebahasaan, maka dikembalikan pada 'urf (kebiasaan setempat)."
Namun, jika seseorang tetap ingin berpuasa saat safar, hal itu diperbolehkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Aisyah radhiyallahu 'anha:
"Hamzah bin Amru Al-Aslami radhiyallahu 'anhu pernah berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, 'Apakah aku berpuasa dalam perjalanan?' Dan ia dikenal sebagai orang yang banyak berpuasa. Maka beliau bersabda, 'Jika engkau mau, berpuasalah. Dan jika engkau mau, maka berbukalah.'" (HR. Muslim)
5. Terbebas dari Halangan
Golongan terakhir yang wajib berpuasa adalah mereka yang tidak memiliki halangan, seperti haid dan nifas bagi wanita. Wanita yang mengalami haid atau nifas tidak diperbolehkan berpuasa, tetapi wajib menggantinya di hari lain.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak shalat dan tidak berpuasa?" (HR. Bukhari)
Aisyah radhiyallahu 'anha juga berkata:
"Kami dulu pernah mengalaminya (haid). Maka, kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat." (HR. Muslim)
Selain itu, seseorang yang dipaksa atau diancam untuk membatalkan puasanya juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi harus menggantinya di lain hari. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku ketidaksengajaan, lupa, dan yang dipaksa atasnya." (HR. Ibnu Majah)
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa kewajiban puasa berlaku bagi mereka yang memenuhi semua syarat dan tidak memiliki halangan. Sementara bagi yang berhalangan, seperti haid, nifas, sakit, atau dalam perjalanan, mereka wajib mengganti puasanya di hari lain atau membayar fidyah jika tidak mampu berpuasa sama sekali.
Apa Tujuan Diwajibkannya Puasa Ramadhan?
Dirangkum dari buku Rahasia Puasa Ramadhan tulisan Yasin T Al Jibouri dan Mirza Javad Agha Maliki Tabrizi, puasa Ramadhan bukan sekadar ibadah menahan lapar dan haus, tetapi memiliki makna yang dalam bagi manusia. Dalam sebuah riwayat, Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa sekelompok orang Yahudi pernah datang kepada Rasulullah SAW. Salah satu orang alim di antara mereka bertanya, "Mengapa Allah mewajibkan umatmu berpuasa selama tiga puluh hari, sementara umat-umat terdahulu berpuasa lebih lama?"
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa ketika Nabi Adam AS memakan buah terlarang, makanan itu tetap berada dalam perutnya selama tiga puluh hari. Sebagai bentuk pembelajaran dan pembersihan jiwa, Allah kemudian mewajibkan keturunannya berpuasa selama tiga puluh hari dengan menahan lapar dan haus. Namun, Allah memberikan keringanan dengan tetap mengizinkan mereka makan di malam harinya, sebagai wujud rahmat-Nya. Setelah menjelaskan hal tersebut, Rasulullah SAW membacakan firman Allah:
"Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Orang alim Yahudi itu kemudian bertanya tentang ganjaran bagi mereka yang menjalankan puasa dengan penuh keimanan. Rasulullah SAW menjawab bahwa ada tujuh manfaat besar yang akan diperoleh oleh orang yang berpuasa dengan niat ikhlas:
- Segala sesuatu yang haram dalam tubuhnya akan dikeluarkan.
- Ia semakin dekat dengan rahmat Allah.
- Dosanya tertebus, sebagaimana kesalahan Nabi Adam AS ditebus.
- Kesulitan yang ia hadapi saat sakaratul maut akan diringankan.
- Di hari kiamat, ia tidak akan merasakan pedihnya lapar dan haus.
- Allah akan membebaskannya dari siksa neraka.
- Allah akan memberinya berbagai nikmat di surga.
- Mendengar penjelasan ini, orang alim Yahudi itu mengakui kebenaran sabda Rasulullah SAW.
Dari kisah ini, kita dapat memahami bahwa puasa Ramadhan bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Puasa menjadi sarana penyucian jiwa, penghapusan dosa, serta jalan menuju ketakwaan dan keberkahan di dunia dan akhirat.
Nah, sampai akhir penjelasan ini, tentu detikers sudah memahami golongan yang diwajibkan puasa Ramadhan dan dalilnya, bukan? Semoga bermanfaat!
(par/dil)
Komentar Terbanyak
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Ternyata Ini Sumber Suara Tak Senonoh yang Viral Keluar dari Speaker di GBK
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa