Utang Puasa Lewat 2 Kali Ramadhan, Bagaimana Cara Menggantinya?

Utang Puasa Lewat 2 Kali Ramadhan, Bagaimana Cara Menggantinya?

Nur Umar Akashi - detikJogja
Selasa, 11 Feb 2025 10:45 WIB
close up image .
Ilustrasi puasa. (Foto: Getty Images/iStockphoto/hayatikayhan)
Jogja -

Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, banyak umat Islam yang tengah membayar utang puasa alias mengerjakan puasa qadha Ramadhan. Lalu, bagaimana jika ada utang puasa yang sudah 2 kali lewat Ramadhan?

Sebelum membahas pendapat ulama terkait masalah tersebut, perlu detikers ketahui bahwasanya membayar utang puasa Ramadhan hukumnya wajib. Landasan akan kewajiban ini tertera dalam Al-Quran, tepatnya potongan surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:

وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya: "...Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran..."

Sebaiknya, utang puasa Ramadhan ini dikerjakan sesegera mungkin setelah bulan kesembilan Hijriah tersebut usai. Namun, ada kalanya, karena berbagai alasan, seseorang menunda pengerjaannya hingga lewat 2 kali Ramadhan. Dalam kondisi tersebut, berikut ini cara menggantinya.

ADVERTISEMENT

Cara Mengganti Utang Puasa Lewat 2 Kali Ramadhan

Dirujuk dari buku Rangkuman tentang Qadha Puasa oleh Abu Ghozie as-Sundawie, bila detikers mengakhirkan puasa qadha Ramadhan sampai datang Ramadhan selanjutnya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat, maka wajib menggantinya sesuai hari yang ditinggalkan. Namun, para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya membayar fidyah.

Pendapat Pertama: Wajib Membayar Fidyah

Pendapat pertama, yakni yang dipedomani Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, mewajibkan seseorang membayar fidyah jika lalai mengqadha puasanya. Dirujuk dari laman NU Lampung, Syaikh Salim bin Abdillah bin Sumair dalam kitab Safinatun-Naja menerangkan:

وَأَقْسَامُ الْإِفْطَارِ أَرْبَعَةٌ أَيْضًا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ ألْقَضَاءُ وَالْفِدْيَةُ وَهُوَ إِثْنَانِ أَلْأَوَّلُ أَلْإِفْطَارُ لِخَوْفٍ عَلَى غَيْرِهِ وَالثَّانِيْ أَلْإِفْطَار مَعَ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ مَعَ إِمْكَانِهِ حَتَّى يَأْتِيَ رَمَضَانُ أَخَرُ وَثَانِيْهَا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ الْقَضَاءُ دُوْنَ الْفِدْيَةِ وَهُوَ يَكْثُرُ كَمُغْمَي عَلَيْهِ وَثَالِثُهَا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ أَلْفِدْيَةُ دُوْنَ الْقَضَاءِ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيْرٌ وَرَابِعُهَا لَا وَلَا وَهُوَ أَلْمَجْنُوْنُ أَلَّذيْ لَمْ يَتَعَدَّ بِجُنُوْنِهِ

Artinya: "Macam-macam putusnya puasa dan hukumnya terdiri dari empat hal. Pertama, perkara yang mewajibkan qadha dan membayar fidyah, yaitu putusnya puasa sebab mengkhawatirkan orang lain dan tidak menqadha puasa disebabkan menunda-nunda pada waktu yang dimungkinkan, hingga datang bulan Ramadhan berikutnya. Kedua, perkara yang hanya mewajibkan qadha saja, dalam hal ini terjadi pada kebanyakan orang seperti sakit ayan dan lain-lain. Ketiga, perkara yang mewajibkan membayar fidyah tidak qadha, yaitu orang yang tua renta. Keempat, tidak wajib qadha dan tidak wajib fidyah yaitu orang gila yang tidak disengaja gilanya."

Pendapat Kedua: Tanpa Fidyah

Sementara itu, Mazhab Hanafi menyebut tidak perlu membayar fidyah, cukup qadha puasa Ramadhan saja. Syaikh Utsaimin dalam Syarah al-Mumti' menguatkan pendapat kedua, yakni tidak perlunya membayar fidyah.

Namun, beliau menjelaskan bahwasanya orang yang dengan sengaja menunda qadha Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa. Dengan demikian, ia wajib bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT atas keterlambatannya tersebut.

Keterangan senada juga ditemui dalam situs resmi Kementerian Agama. Diterangkan bahwasanya seseorang yang menangguhkan puasa qadha Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya, ia tidak perlu membayar fidyah. Bahkan, meskipun orang tersebut tidak punya udzur syar'i dalam penundaannya. Wallahu a'lam bish-shawab.

Ketentuan Khusus Puasa qadha Ramadhan

Diringkas dari buku Panduan Lengkap Puasa Ramadhan Menurut Al-Qur'an dan Sunnah oleh Abu Abdillah Syahrul Fatwa dan Abu Ubaidah Yusuf, ada ketentuan tambahan yang berlaku untuk beberapa kriteria. Begini poin-poin pentingnya:

1. Orang Sakit

Apabila seseorang sakit terus-menerus, berkepanjangan, dan tidak mampu lagi berpuasa, maka diwajibkan untuknya membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkan. Dilansir detikHikmah, fidyah yang dibayarkan berukuran 1 mud, atau sekitar 0,875 liter/0,625 kilogram. Bentuk fidyahnya disesuaikan dengan makanan pokok yang lazim dikonsumsi di wilayah tersebut.

2. Orang Lanjut Usia

Seorang lanjut usia yang sudah keberatan dan tidak mampu berpuasa juga tidak mesti membayar qadha Ramadhan. Alih-alih, mereka mesti membayar fidyah. Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 184:

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: "(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

3. Ibu Hamil dan Menyusui

Bila seorang ibu yang hamil atau menyusui membatalkan puasa karena khawatir keselamatan janinnya, bukan diri sendiri, maka, para ulama punya perbedaan pendapat. Pendapat pertama menyebut sang ibu hanya wajib menqadha saja. Pendapat kedua menyatakan hanya wajib membayar fidyah saja. Sementara itu, pendapat ketiga mewajibkan qadha sekaligus fidyah. Wallahu a'lam bish-shawab.

Qadha Puasa Ramadhan Harus Berturut-turut atau Tidak?

Seputar puasa qadha Ramadhan, detikers mungkin penasaran dengan hukum menuntaskannya. Apakah harus dikerjakan berturut-turut, atau boleh saja berselang-seling. Kembali dilihat dari buku Rangkuman tentang qadha Puasa oleh Abu Ghozie as-Sundawie, boleh hukumnya mengerjakan puasa qadha ini secara terpisah-pisah.

Abu Dawud dalam al-Masail menuliskan: "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha Ramadhan. Beliau menjawab, 'Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut.' Wallahu a'lam." (Shifat Shaumin Nabi halaman 74-75)

Keterangan senada juga dihadirkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu. "Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)." (Mukhtashar Shahih Bukhari 1/58). Juga Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu menjelaskan, "Diselang-selingi kalau mau." (Irwaul Ghalil 4/95)

Demikian pembahasan lengkap mengenai cara mengganti utang puasa yang sudah lewat dua kali Ramadhan. Wallahu a'lam bish-shawab.




(sto/apu)

Hide Ads