"Kalau secara eksplisit atau tersurat memang belum ada pernyataan tegas mau di luar atau di dalam pemerintahan dari pidato Megawati. Tetapi secara implisit beberapa pilihan diksi dan ekspresi emosional yang dikeluarkan kemarin itu cukup clear bahwa mereka itu akan berada di luar pemerintahan," kata Arya saat dihubungi detikJogja, Senin (27/5/2024).
Berada di luar pemerintahan, kata Arya, itu bukan berarti menjadi oposisi. Namun, sebatas tidak memasang kader partai dalam kabinet.
"Artinya tidak memasang kader partai di dalam kabinet atau di platform kementerian," ujarnya.
Pasalnya, hal itu menyangkut kerja sama politik untuk mengamankan jatah kursi Ketua DPR RI.
"Saya memahami kerja sama politik, komunikasi, itu masih terjalin. Karena PDIP mempunyai kepentingan sebagai partai pemenang pemilu untuk mengamankan UU MD3 sehingga dia tetap mendapatkan jatah kursi ketua DPR," urainya.
Hal lain, lanjut Arya, mereka masih menunggu dari proses politik yang berkembang ke depan. Karena secara ideologi PDIP disebut tidak punya alasan menolak platform politik Prabowo-Gibran.
"Karena sama-sama nasionalis. Jadi mereka harus membuat narasi publik apa yang menjelaskan mereka untuk di luar pemerintah secara programatik, atau ideologis. Karena kalau basic-nya perasaan, itu tidak sehat," bebernya.
Terlepas dari apapun itu, Arya berpendapat PDIP sebaiknya berada di luar pemerintahan. Sebab, saat ini diperlukan partai yang bisa menjadi penyeimbang pemerintahan.
"Karena tidak bisa semua partai berada di pemerintahan dan tidak ada partai yang berusaha untuk mengirimkan feedback, kemudian meng-counter narasi terhadap program pemerintah, mengkritisi," ujar dia.
Megawati Bakal 'Mainin Dulu'
Lebih lanjut, dalam Rakernas itu, Megawati menilai banyak pihak yang menunggu sikap politik PDIP akan di dalam atau luar pemerintah. Megawati menyebut akan 'memainkan dulu' soal sikap politik PDIP.
Terkait hal itu, Arya menilai pernyataan Megawati tak lepas dari campur tangan Jokowi di Pilpres 2024. Di mana ada nama Gibran yang merupakan putra Presiden masuk menjadi cawapres Prabowo.
"Kalau saya memahami, Megawati jelas sakit hati dengan Jokowi. Dia masalahnya di Jokowi karena ada Gibran di sana. Sementara dia tidak ada masalah dengan Prabowo," katanya.
Oleh karena itu, Megawati dirasa menunggu adanya momentum politik, terutama Pilkada. Sebab, pada pemilihan daerah, Arya menyebut PDIP bisa berkoalisi dengan parpol manapun, sehingga Megawati ingin menjaga kader partai yang maju di Pilkada.
"Meskipun di nasional, langgam politiknya berseberangan dengan pemerintah, di banyak kasus partai di daerah mereka berkoalisi. Jadi dia tidak ingin merusak resonansi politik nasional yang meluber ke darah. Merusak dalam arti menggerogoti secara elektoral," terangnya.
Oleh karena itu, sebagai partai pemenang legislatif, PDIP tidak ingin kecolongan untuk kedua kalinya. Arya melihat momentum Pilkada nanti akan menjadi panggung untuk membalas kekalahan Pilpres untuk meningkatkan bargaining politik PDIP.
"Itu yang mereka jaga, hati-hati, 'kecolongan' di Pilpres ditikung Jokowi dari belakang, Gibran maju. Nah, di Pilkada mereka ingin pegang itu sehingga dari situ mereka punya bergaining politik," pungkasnya.
(apl/ams)
Komentar Terbanyak
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Amerika Minta Indonesia Tak Balas Tarif Trump, Ini Ancamannya
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa