Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Aria Nugrahadi menyebut, perumahan untuk buruh masih dalam tahap pembicaraan. Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Kementerian PUPR untuk skema rumah tinggal bagi buruh.
Skema paling rasional, lanjutnya, adalah perumahan subsidi bagi buruh. Para buruh, ujar dia, dapat memiliki hunian permanen dengan harga terjangkau. Tentunya tanpa membebani biaya hidup secara berlebihan.
"(Koordinasi Kementerian PUPR) Ya tentu saja berkait dengan kewenangan dengan juga bagaimana mekanisme untuk subsidi rumah agar terjangkau. Agar terjangkau rumah untuk pekerja ini tentu saja nanti komunikasi dan koordinasi," jelasnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (1/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan ini guna menjawab tuntutan para buruh dalam aksi May Day. Disebutkan bahwa para buruh curhat karena belum bisa membeli rumah. Selain harga properti yang tinggi juga rendahnya upah kerja yang diterima.
Massa buruh yang menggelar aksi May Day di Titik Nol Kilometer Jogja mengeluhkan tingginya harga properti di Jogja. Bahkan setiap tahunnya kerap naik antara 5 persen hingga 10 persen.
"Terpenting ke depan bagaimana juga aspirasi dari teman-teman ini bisa terkomunikasikan terkait baik yang arahnya ke akses hunian atau nantinya terkait dengan bantuan transportasi dan lain sebagainya. Intinya kita komunikasikan nanti," katanya.
Ditanya tentang skema penggunaan Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG) menjadi perumahan buruh, Aria tak menjawab banyak. Dia hanya menuturkan kewenangan pembangunan perumahan berada di tangan Kementerian PUPR.
"Nah kalau kami menyampaikan dalam kapasitas kami, koordinasi kepastiannya pasti akan dicoba melihat potensi dan kemungkinan. Kalau kewenangan di Kementerian PUPR penyediaan seperti itu," ujarnya.
Sebelumnya, massa dari Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menuntut pemenuhan kebutuhan hidup layak. Mulai dari naiknya upah minimum kerja, turunnya harga kebutuhan pokok hingga terjangkaunya harga rumah tinggal. Ada pula tuntutan cabut Undang-Undang Cipta Kerja.
Salah seorang koordinator aksi, Dina, menuturkan harga properti di Jogja sudah tidak wajar. Dengan skema upah minimum kerja (UMK) saat ini, para buruh kesulitan memiliki hunian. Ditambah lagi kenaikan harga properti setiap tahunnya.
"Upah minimumnya rendah tapi harga tanah mahal dan harga tanah di Jogja itu paling enggak per tahun naiknya bisa dari 5 sampai 10 persen," keluh perempuan yang juga pengurus Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) saat ditemui di kawasan Titik Nol Kilometer Jogja, Rabu (1/5).
Jangankan rumah tinggal permanen, menurutnya buruh di Jogja juga kesulitan untuk menyewa kos atau rumah kontrakan. Ini karena harga sewa perbulan masih tergolong tinggi. Sementara untuk acuan upah minimum di kisaran Rp 2,2 juta.
"Sangat tidak mungkin untuk mendapatkan tempat kontrakan atau kos di tengah kota dimana banyak tempat industri. Buruh semakin tidak punya daya tawar dan daya posisi untuk mendorong kesejahteraannya sendiri karena harus bayar kontrakan yang semakin menjadi," katanya.
(apu/apu)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
Cerita Warga Jogja Korban TPPO di Kamboja, Dipaksa Tipu WNI Rp 300 Juta/Bulan
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi