Sambat Sulit Beli Rumah, Massa Buruh Tuntut Upah Layak Rp 5 Juta per Bulan

Sambat Sulit Beli Rumah, Massa Buruh Tuntut Upah Layak Rp 5 Juta per Bulan

Dwi Agus - detikJogja
Rabu, 01 Mei 2024 14:23 WIB
Massa aksi buruh di Jogja menggelar unjuk rasa May Day di kawasan Titik Nol Kilometer Jogja, Rabu (1/5/2024).
Foto: Massa aksi buruh di Jogja menggelar unjuk rasa May Day di kawasan Titik Nol Kilometer Jogja, Rabu (1/5/2024). (Dwi Agus/detikJogja)
Jogja -

Massa dari Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar aksi di Titik Nol Km Kota Jogja pada Hari Buruh ini. Dalam orasinya, mereka meminta pemenuhan kebutuhan hidup layak, mulai dari naiknya upah minimum kerja, turunnya harga kebutuhan pokok, terjangkaunya harga rumah tinggal, maupun tuntutan mencabut Undang-Undang Cipta Kerja.

Salah seorang koordinator aksi, Dina, menuturkan harga properti di Jogja sudah tidak wajar. Dengan skema upah minimum kerja (UMK) saat ini, para buruh kesulitan memiliki hunian. Ditambah lagi kenaikan harga properti setiap tahunnya.

"Upah minimumnya rendah tapi harga tanah mahal dan harga tanah di Jogja itu paling enggak per tahun naiknya bisa dari 5 sampai 10 persen," jelas perempuan yang juga pengurus Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) saat ditemui di kawasan Titik Nol Kilometer Jogja, Rabu (1/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jangankan rumah tinggal permanen, menurutnya buruh di Jogja juga kesulitan untuk menyewa kos atau rumah kontrakan. Ini karena harga sewa per bulan masih tergolong tinggi. Sementara untuk acuan upah minimum di kisaran Rp 2,2 juta.

"Sangat tidak mungkin untuk mendapatkan tempat kontrakan atau kos di tengah kota di mana banyak tempat industri. Buruh semakin tidak punya daya tawar dan daya posisi untuk mendorong kesejahteraannya sendiri karena harus bayar kontrakan yang semakin menjadi," katanya.

ADVERTISEMENT

Terkait kebutuhan hidup layak (KHL), nominal upah masih jauh. Dina memaparkan setidaknya butuh menerima upah Rp 4 juta hingga Rp 5 juta. Sementara untuk saat ini besaran upahan minimum di DIY berada di kisaran Rp 2,2 juta.

Massa aksi buruh di Jogja menggelar unjuk rasa May Day di kawasan Titik Nol Kilometer Jogja, Rabu (1/5/2024).Massa aksi buruh di Jogja menggelar unjuk rasa May Day di kawasan Titik Nol Kilometer Jogja, Rabu (1/5/2024). Foto: Dwi Agus/detikJogja

"Sebenarnya upah minimum yang seharusnya atau layak di Jogja itu adalah Rp 4 juta sampai Rp 5 juta tapi faktanya di lapangan yang kita alami sekarang upah minimum di Jogja itu masih di kisaran Rp 2,2 juta rata-rata, dan ini masih jauh sekali dan kami melihat ini sebenarnya skema yang lebih jauh untuk membuat pekerja makin rentan," jelas Dina.

"Ini masih jauh sekali dan kami melihat ini sebenarnya skema yang lebih jauh untuk membuat pekerja makin rentan dan makin mengandalkan tenaganya dan gaji yang tidak seberapa untuk terus-menerus gitu," ujarnya.

Dalam kesempatan ini, pihaknya juga menyoroti buruh pekerja lepas. Kelompok pekerja ini sangat rentan karena tidak terikat dengan sebuah perusahaan. Namun dituntut kerja maksimal dengan modal dan peralatan miliki pribadi.

Dina juga menuturkan para pekerja lepas tidak mendapatkan jaminan sosial. Kondisi ini sangatlah rentan dan tak ideal bagi para buruh. Ditambah beban kerja yang tak berbeda dengan pegawai status tetap.

"Ketiadaan kantor atau tempat kerja membuat mereka bekerja di mana saja dan harus menggunakan alat produksinya sendiri seperti laptop atau HP atau motor dan seringkali itu tidak didukung oleh tempat kerjanya," katanya.

Dina menuturkan tuntutan para buruh tetaplah sama setiap tahunnya. Dalam aksi Hari Buruh kali ini, massa MPBI DIY mendorong adanya kenaikan upah minimum kerja. Selain itu juga turunkan harga bahan pokok dan cabut undang-undang cipta kerja.

Kepada Pemerintah saat ini maupun yang akan datang, Dina mendorong adanya perubahan kebijakan. Khususnya yang langsung berdampak pada buruh atau pekerja. Sehingga kesejahteraan hidup dapat terwujud.

"Kami tuntut meskipun sebenarnya dari awal juga pemerintah enggak akan pernah memberikan posisi ini dan justru malah mengandalkan mekanisme-mekanisme seperti konotasi atau pertumbuhan ekonomi untuk menentukan gaji," keluhnya.




(apu/cln)

Hide Ads