Cerita Pakar UGM Eks Tim Penyusun Draf Naskah Akademik UU Keistimewaan DIY

Cerita Pakar UGM Eks Tim Penyusun Draf Naskah Akademik UU Keistimewaan DIY

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Senin, 04 Des 2023 19:01 WIB
Tugu Pal Putih Jogja, Selasa (19/9/2023). Tugu Jogja ini masuk dalam kawasan Sumbu Filosofi Jogja yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Ilustrasi Keistimewaan DIY. (Foto: Tugu Pal Putih Jogja, Selasa (19/9/2023) - Adji G Rinepta/detikJogja)
Jogja -

Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ade Armando menyinggung soal politik dinasti di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang kemudian menjadi polemik. Diketahui, Gubernur DIY tidak melalui pemilihan tapi dengan penetapan sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.

"Armando yang mengatakan, benar ada dinasti di Yogyakarta tetapi dinasti yang ada di Yogyakarta dinasti yang diamanahkan oleh undang-undang bukan penyiasatan undang-undang dan aturan main," kata dosen Fisipol UGM, Bayu Dardias saat dihubungi detikJogja, Senin (4/12/2023).

Bayu merupakan salah satu dosen UGM yang menyusun naskah akademik rancangan UU Keistimewaan DIY. Namun, dia bersama tim UGM hanya menyusun naskah akademik UU Keistimewaan versi tahun 2006.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi versi yang terakhir ini bukan saya yang buat, itu versi Pemda dengan Kemendagri, namun yang terakhir ini tidak ada naskah akademiknya. Kalau saya yang versi 2006 yang kemudian berhenti di 2009 yang kemudian mereka mengajukan file baru," jelasnya.

Dalam draf naskah akademik UU Keistimewaan versi 2006, tim UGM yang terdiri dari Bayu, Pratikno, Cornelis Lay, Bambang Purwoko, Ari Dwipayana, Purwo Santoso, Ketut, mengusulkan agar mekanisme pengisian jabatan Gubernur DIY melalui pemilihan.

ADVERTISEMENT

"Kan ada beberapa draf. Saya ikut yang versi 2006 yang waktu itu kita simpel sih kewenangannya cuma di pemilihan saja," ujar Bayu.

"Kalau di versi UGM tetap pemilihan Gubernur, nah Sultan itu posisinya kayak kalau di nasional semacam head of state gitulah, untuk kandidat yang mau berlaga di gubernur (Pilgub) itu harus dapat restu dari Sultan. Kita coba menghindari posisi politik Sultan sebagai Gubernur karena kalau misalnya ada kasus kita mengantisipasi yang terburuk ya," imbuhnya.

Namun, sebagai gantinya posisi Sultan meski tidak berada di pemerintahan, dia mendapatkan fasilitas setara menteri.

"Itu ditinggikan gitulah fasilitasnya setara menteri tetapi tidak terlibat dalam urusan pemerintahan," bebernya.

Akan tetapi, pembahasan draft UU Keistimewaan itu sempat berhenti di tahun 2009 karena berakhirnya masa jabatan DPR RI. Baru di periode DPR RI selanjutnya, pembahasan UU Keistimewaan kembali dilanjutkan. Salah satu Wakil Ketua Pansus kala itu adalah Ganjar Pranowo.

"Benar itu Ade Armando, salah satu wakil ketua pansusnya memang Ganjar, dan dia berperan betul untuk melakukan lobi-lobi," ujarnya.

Bayu melanjutkan, dulu Partai Demokrat yang paling keras menentang adanya penetapan Gubernur DIY. Hanya saja kemudian terjadi demonstrasi besar-besaran.

"Waktu itu dia (Demokrat) tetap maunya pemilihan karena pernah ada kata-kata SBY Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden kala itu yang bilang tidak ada monarki di sistem republik. Kemudian ada demonstrasi besar dari masyarakat Jogja, dan waktu puncaknya saya kira itu kepala desa mengancam akan mengundurkan diri seluruh DIY," katanya.

Lambat laun pemerintah kemudian mulai melunak dan UU Keistimewaan DIY disahkan. Selain pengisian jabatan Gubernur DIY melalui penetapan, ada beberapa kewenangan lain.

"Kemudian pemerintah pusat mulai melunak dan kewenangan keistimewaannya (Keistimewaan DIY) kemungkinannya melebar tidak hanya di gubernur tetapi di empat kewenangan lain, ada tanah, tata ruang, kebudayaan, sama kelembagaan," pungkasnya.




(apu/rih)

Hide Ads